Ketua MER-C Ungkap Tantangan Kirim Tim Medis ke Gaza

TRANSINDONESIA.co | Ketua Presidium Lembaga Medis dan Kemanusiaan (MER-C) Sarbini Abdul Murad mengungkap tantangan mengirim tim medis ke Gaza, Palestina di tengah serangan dan blokade ketat Israel.

Tim beranggotakan 11 orang itu berhasil tiba di Gaza pada Senin, 18 Maret 2024, dengan kerja sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk bisa masuk dari Kairo, Mesir.

Sebelum bekerja sama dalam mengirimkan tim medis, WHO melibatkan MER-C dalam beberapa pelatihan Emergency Medical Team (EMT) atau tim kegawatdaruratan medis di Jakarta. “Itu awal pertemuan kita dengan WHO,” kata Sarbini kepada Tempo usai konferensi pers di Jakarta Pusat pada Selasa, 19 Maret 2024.

Pertemuan tersebut berujung pada ide berangkat bersama ke Gaza, setelah MER-C bercerita kepada pihak WHO bahwa mereka mempunyai misi medis di Gaza dan pernah membangun rumah sakit di sana. Rumah sakit yang dimaksud adalah Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Beit Lahia, Gaza utara, yang dibangun dengan donasi dari masyarakat Indonesia.

WHO kemudian melibatkan MER-C dalam upaya berangkat ke Gaza, kata Sarbini. Keberangkatan mereka dibarengi oleh perwakilan negara-negara lain seperti Malaysia, Norwegia dan Jerman. “Awalnya kita tidak dilibatkan, baru dua bulan terakhir dilibatkan oleh WHO,” ujarnya.

Meski baru berhasil mengirimkan tim medis hingga mencapai Gaza, Sarbini mengatakan MER-C telah berupaya melakukan hal itu sejak awal serangan Israel di Gaza pada Oktober 2023. Dengan bantuan WHO sebagai badan internasional, dia menduga koordinasi dengan pihak Israel untuk memasuki Gaza lebih mudah.

MER-C pun mengatakan telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dalam hal ini. “Selalu kita koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri,” katanya kepada wartawan saat konferensi pers.

Kepada Tempo, ia mengungkap bagian paling sulit dalam mengupayakan tim medis mencapai Gaza adalah aspek diplomasi. “Diplomasi aja sebenarnya, izin dari Israel itu. Indonesia tidak ada hubungan diplomatik (dengan Israel),” katanya.

Tim medis MER-C mesti menunggu satu bulan dalam transit di Kairo untuk mendapat izin memasuki Gaza. Hal itu dikarenakan Israel membatasi akses masuk, sehingga yang ingin menyeberang harus melalui proses verifikasi ketat. Dengan bantuan WHO, MER-C berhasil melintas proses itu.

Meski demikian, Sarbini mengaku pihak MER-C tidak tahu-menahu soal pelobian yang dilakukan untuk menggolkan upaya masuknya tim medis ke Gaza, termasuk apakah harus bekerja sama dengan pihak Israel.

Perihal kerja sama dengan Israel sempat marak dibicarakan, ketika media Jewish Insider menerbitkan artikel pada awal Maret yang mengklaim pemerintah Indonesia melobi pihak Israel untuk upaya evakuasi WNI dari Gaza.

Media asing itu juga menulis bahwa saluran kerja sama tersebut “membiarkan pintu terbuka” bagi kemungkinan normalisasi hubungan Israel-Indonesia yang kata mereka sempat tertunda.

Pihak MER-C mengaku tidak banyak tahu soal hal itu, meski tidak menepis kemungkinan apa pun. “Mungkin iya,” kata Sarbini, menjawab apakah upaya evakuasi tahun lalu melibatkan pelobian dengan Israel. Dia menambahkan bahwa tidak mungkin orang-orang keluar dan masuk Gaza tanpa izin Israel. “Jadi itu namanya terpaksa tektokan.”

Mereka yang ingin keluar dari Gaza di tengah pertempuran yang sedang berlangsung harus tercantum namanya terlebih dahulu dalam sebuah daftar. Tidak terkecuali delapan dari sepuluh orang WNI yang menetap di Gaza dan dievakuasi pemerintah tahun lalu.

Sepengetahuan Sarbini, daftar tersebut harus diketahui oleh pihak Mesir, Palestina, dan Israel. Kementerian Luar Negeri, ketika membantah klaim pemerintah bekerja sama dengan Israel dengan mengirimkan daftar nama WNI, mengatakan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menggunakan kedekatannya dengan Menlu Qatar dan Mesir untuk mengevakuasi WNI.

Mewakili MER-C, Sarbini ogah berkomentar tentang hal itu. “Yang penting kan relawan selamat. Kita yakin bahwa Indonesia tidak ada upaya untuk berhubungan diplomatik,” ujarnya.

Di Gaza, tim medis MER-C terdiri dari dua orang spesialis bedah dan delapan perawat yang ahli di bidang anestesi hingga bedah. Satu dari 11 orang tersebut bertugas menangani masalah logistik.

Mereka berangkat dari Indonesia ke Mesir secara bertahap sekitar dua hingga tiga pekan lalu, kata Sarbini – antara akhir Februari hingga awal Maret. Menanti izin dari Israel untuk menyeberang ke Gaza, para petugas medis menunggu dalam rentang waktu bervariasi, dari satu hingga tiga minggu di sebuah tempat tinggal sewa di Kairo. Bahkan, seorang petugas medis sempat pulang ke Indonesia dari Mesir karena masa berlaku visanya habis.

Kedatangan tim medis di Gaza disambut oleh pejabat Kementerian Kesehatan Gaza beserta dua orang relawan nonmedis MER-C yang ada di Gaza, yaitu Fikri Rofiul Haq dan Reza Aldilla Kurniawan.

Sesuai arahan WHO dan Kementerian Kesehatan Gaza, mereka akan bertugas menangani krisis rumah sakit di Gaza selatan selama minimal dua pekan hingga satu bulan dengan sistem bergantian. Menetap di Rafah, menurut Sarbini mereka tidak diberi izin untuk masuk ke Gaza tengah maupun utara, yang sedang diserang habis-habisan oleh Israel.

Dengan masuknya 11 tenaga medis, maka total relawan MER-C yang berada di Gaza saat ini naik menjadi 13 orang. [tmp]

Share
Leave a comment