‘Satu Tubuh’, IDI dan Kolegium Kedokteran

TRANSINDONESIA.CO – Dokter  memiliki kewenangan medis (medical authority) bertindak atas tubuh manusia. Namun tidak bertindak sembarang karena dokter memiliki kompetensi  kedokteran (medical competency), dengan disiplin ilmu (body of knowledge), terikat etik kedokteran dan sumpah dokter.

Dokter berwenang memberikan perintah (standing order) kepada tenaga kesehatan lain, karenannya dokter disebut captain of the team dalam penelenggaran layanan kesehatan.

Demi menjaga kemuliaan profesi, dokter terikat 3 norma sekaligus: norma etik, norma disiplin dan norma hukum (vide  pendapat MK dalam Putusan Nomor 14/PUU-XII/2014, angka 3.14). Untuk siapa? Semua dokter, baik dokter umum (general practitioners/GP) maupun dokter spesialis/sub spesialis. Sebab UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Prakdok”) menormakan  dokter adalah  dokter umum dan  dokter spesialis. Yang berhimpun dalam “satu tubuh” Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Ilustrasi

Karenanya perhimpunan dokter spesialis berada dalam IDI. Seluruh perhimpunan dokter spesialis  dalam pengembangan pelayanan keprofesian dikoordinir  majelis yakni  MPPK (Mejelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian) yang berada dalam tubuh IDI. Dalam tubuh IDI itulah, MPPK termasuk struktur kepemimpinan tingkat pusat. Bukan bawahan Pengurus Besar (PB) IDI.

Apa posisi profesional IDI? Merujuk Pasal 1 angka 12 UU Prakdok, menormakan Organisasi Profesi adalah IDI. Pembuat Undang-undang tegas menyebutkan IDI adalah Organisasi Profesi, bahkan dengan memberikan sejumlah kewenangan dan wewenang menjalankannya.  Jadi, maksud asli (original intens) pembuat Undang-undang organisasi profesi dokter hanya IDI.

Norma itu bersesuaian (conformity) dengan Mukaddimah Anggara Dasar (AD) IDI dan Pasal 6 AD IDI, bahwa IDI adalah Organisasi Profesi. Jelas bisa dibedakan dnegn nalar bahwa IDI bukan organisasi kemasyarakatan (Ormas).

Merujuk Pasal 14 ayat (1)  AD IDI,  struktur kepemimpinan IDI tingkat pusat terdiri atas PB IDI, MKKI (Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia), MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran), MPPK (Mejelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian). IDI mengakui  pemisahan/pembagian kepemimpinan antara PB IDI, MKKI, MKEK, MPPK. Mengikuti ajaran “trias politica” dalam hukum tata negara, kiranya bisa disebut sementara dengan “quarta politica” untuk ontologi struktur kepemimpinan/kekuasaan IDI.

Dari analisis struktur kepemimpinan, PB IDI bukan atasan MKKI, MKEK dan MPPK. Demikian pula MKKI, MKEK dan MPPK bukan subordinat PB IDI, namun  memiliki wewenang dan bertanggungjawab pada bidang tugas masing-masing. Tidak bisa intervensi. Struktur sedemikian adalah aspirasi dan pilihan rasional yang berasal dari bawah/praksis lapangan, memiliki justifikasi sosio-profesional, karena dibahas/dikaji, diuji/dievaluasi dan disahkan melalui Muktamar IDI setiap 3 tahun.

Dengan posisi dan kewenangan MKKI mengordinasikan kolegium-kolegium kedokteran membuktikan profesi dokter dan praktik kedokteran tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan profesi kedokteran itu sendiri. Sudah diakui dan standar universal jika profesi terikat dengan pendidikan profesi. Bahkan kode etik dan pengawasan profesi.

Mustahil kompetensi profesi dipisahkan dari atau tanpa pendidikan profesi. Kolegium-kolegium kedokteran inheren atau bagian tidak terpisahkan dari profesi dokter. Tepat, MKKI menjadi inti dari Organisasi Profesi cq IDI.

Nihil alasan dan kehilangan obyek jika hendak meminta  Organisasi Profesi cq IDI dimaknai juga kolegium kedokteran ataupun MKKI. Karena, ontologi struktur kepemimpinan IDI  memang persis demikian, sudah inheren dan  sudah malah berjalan prima. Seperti tamsil menyatunya putih dan hitam mata. Seperti kepala pada tubuh manusia. [Muhammad Joni, SH,MH, Kuasa Hukum PB IDI, Advokat Law Office Joni & Tanamas]

Share
Leave a comment