Penjualan Properti Kawasan Industri Diprediksi Turun

TRANSINDONESIA.CO – Konsultan properti, Colliers International memperkirakan penjualan lahan industri di Jakarta dan sekitarnya masih akan mengalami perlambatan pada tahun ini.

Kendati pertumbuhan ekonomi diprediksi membaik, tetapi masih banyak catatan dari investor terkait faktor eksternal sebelum menanamkan modalnya di kawasan industri.

Associate Director Research Colliers, Ferry Salanto menjabarkan kalau salah satu permasalahan paling umum yang dihadapi oleh investor di kawasan industri adalah upah minimum. Ia mengatakan, rata-rata upah minimum kawasan industri sangat tinggi dibandingkan wilayah lainnya dan itu diyakini bisa membuat investor enggan menanamkan modal di kawasan bisnis itu.

Kawasan industri.(Dok)
Kawasan industri.(Dok)

“Investor itu kan butuh kepastian aturan, apalagi upah. Memang kenaikan upah minimum sudah pasti karena ada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, tapi kan upahnya sudah terlanjur besar jadi hal itu yang kadang dipertimbangkan investor,” ujar Ferry di Jakarta, kemaren.

Selain masalah upah, Ferry mengatakan banyak investor yang enggan membangun di kawasan industri karena masih dihantui pergerakan nilai tukar Rupiah yang sampai saat ini masih belum tentu. Pasalnya, hal itu juga berpengaruh ke dalam transaksi pembelian lahan kawasan industri yang harganya selama ini menggunakan acuan dolar Amerika Serikat.

Namun, lanjutnya, harga dalam dolar AS ini kemudian dikonversi ke dalam rupiah pada saat transaksi demi mematuhi Surat Edaran Bank Indonesia (BI) Nomor 17/11/DKSP pada 1 Juni 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai informasi, rata-rata harga lahan industri tertinggi di kawasan Jakarta dan sekitarnya pada tahun lalu berada di Bekasi dengan angka US$ 254,10 per meter persegi. Sedangkan rata-rata harga lahan industri terendah ada di Serang dengan nilai US$ 138 per meter persegi.

“Jadi pengembang kawasan industri seperti itu, mereka me-quote harga jual dalam Dolar AS lalu menjualnya ke dalam Rupiah begitu transaksi. Namun nilai tukarnya kan juga berfluktuatif, jadi kalau mereka (investor) beli di saat Dolar tinggi, maka ongkos investasi mereka jadi lebih besar,” ujarnya.

Kendati demikian, ia masih optimis keadaan akan membaik setelah banyak insentif fiskal maupun perizinan yang dikucurkan bagi kawasan industri lewat PP Nomor 142 tahun 2015 tentang Kawasan Industri. Tetapi, ia tak yakin insentif itu akan membuat penjualan lahan industri di Jakarta dan sekitarnya meningkat di tahun ini karena dampaknya tak bisa dirasakan secara cepat.

“Kalau saya pikir mungkin penjualan akan lebih baik dibanding tahun 2015, tapi hanya sedikit. Kalaupun penjualan bisa mencapai dua kali lipat, itu sepertinya akan terjadi di akhir tahun. Karena memang trennya begitu, penjualan lahan industri meningkat di akhir tahun,” katanya.

Pada tahun lalu, Colliers International mencatat penjualan lahan industri di Jakarta dan sekitarnya sebesar 347,51 hektare atau menurun 79 persen lebih rendah dibanding tahun lalu dengan angka 440,2 hektare. Penjualan itu sebagian besar digunakan untuk sektor makanan dan minuman (31,39 persen) dan otomotif (26,56 persen).(Cnn/Lin)

Share
Leave a comment