Hak atas Rempang, bukan Rampang

TRANSINDONESIA.co | Saya terduduk, tatkala menengok dari jauh situasi Rempang terkini. Patik berdialog dengan “media”; dan bayang “cermin” sang kuasa penciptanya. Peristiwa dialog itu terjadi bukan di ruangan megah bernama rasio,  yang selalu berkawanan dengan perkakas logika.

Bukan suara perkakas musik apalagi mesin perang, “media” yang itu tadi adalah relung hati –yang bagai sumur tanpa dasar; laksana bayang cermin pada cermin dari cermin dalam cermin. Mengikuti filsuf Zeno, dalam ruang ada ruang. Yang bersuara tanpa swara, tiada aksara; namun transmisikan makna dari makna dalam makna.

Swara relung hati yang tetiba itu,  acap diminta tabah berjuang melawan isme-isme pendangkalan, agar tetap bergema dari berisik pengusik. Melawan godaan “piala” kepongahan, ajakan pada kebendaan juncto apatis yang nir-kepedulian sesama.

Pun, mungkin saja “piala” itu berasal dari ruangan yang berisi rak-rak “kitab” substansi akademi(si) maupun kiat-skills profesional(is), yang berjejal menguasai kapasitas kognitif di volume kepala jamak manusia.

Akankah itu pertunjukan sosial anak manusia (bukan hanya puak Melayu) dalam lelaju berekonomi? Aksioma dalam praktik bernegara? Yang tak hanya menjadi ironi Rempang, paling terkini; namun dirasai paling tragedi, di lini masa pekan-pekan nanti.

Lalu kita hendak menikmati pertunjukan klasik model apa lagi, tarung antara swara hati pro rakyat versus godaan “hujan” investasi yang diklaim memikat? Antara hukum dengan yang cuma h.u.k.u.m ? Antara great law dengan Great law? Apa hendak dikatakan puak lawyer juncto jurist, yang elan profesinya berkelindan dengan 3 aras ini: hukum, keadilan, kebenaran.

Tentu ada basis legal reasoning dan konstruksi hukumnya, yang tentu bukan melulu mengambil alih ciptaan nalar hukum dari puak legalis-positivis belaka. Ada lebih jamak, megar, dan bugar pikiran hukum bijak tentang hak. Ada  asal usul hak, pun ragam hukum dari tiorisasi lapisan hukum. Ada hak atas asal usul,  yang tak lapuk dek hujan aseli dan “hujan” investasi. Pun demikian pada tanah, air dan udara Rempang.

**

Sengkarut Tanah Rempang (sebut ringkas: STR) yang berimplilasi Amok Rakyat (AR), patik patut mengajak majelis kita iki membangun legal reasoning dan konstruksi hukum. Itu dipakai sebagai perkakas  menjelaskan kausalitas antara STR dengan AR. Untuk apa? Ya.., ikhtiar menyumbangkan jawaban elok dan tangguh serta berupaya cendikia, guna memberi solusi hukum berkeadilan. Yang digali dari “sumur” keadilan –yang tak dangkal akan sumber penjelasan lengkap akan hak atas asal usul puak Rempang, dari dulu-dulu dan zaman kini.

Pasti ada rezim keadilan hukum yang tumbuh subur dari khazanah kearifan Melayu Rempang,  yang  membuat pulau Batam  bertuah bertabur cuan, dan menjadi negeri yang dengan etik tangan terbuka dan hati mesra kepada visi  bhinneka tunggal ika, kepada sesiapa yang mendatanginya. Migran urban,  investor jiran, perantau remaja, ataupun pencari kerja seraburan yang putus sekolah. Melayu didatangi. Melayu merangkul hangat. Lekat kepada saudara serantau pun senusantara, ialah sifat dari hati berkilat dan  adab berlaku adil  bermuamalat. Di wongke: itu tamsil menjadi melayu. Diajak masuk menjadi bagian bangsa –yang bertamadun dan berasal usul.

Cermatilah. Instalasi sosial yang dipertunjukkan dari keberadaan pulau Batam kini,  yang tersambung jembatan dengan Rempang dan Galang, menjadi Barelang. Bahkan lebih banyak pulau-pulau lain, yang tak kosong tamadun Melayu  yang inklusif. Sangat insaniawi dan nusantarawi.  Itu bukan hanya  infrastruktur fisik yang menyambungkan antar pulau, namun keterkaitan nirfisik dan keterpaduan medium hati, medium negeri, dan medium hukum, medium keadilan; bahwa betapa ada asal usul yang adil dan sahih jika tanah Rempang yang sohor kini,   dihak-i  masyarakat adat dan ulayatnya.

Kua akademis dan juridis,   hak atas asal usul itu otentit. Kuat dalam jejak historis-antropologis.  Bahkan memiliki akar eksistensi dan biji  justifikasi secara geopolitik;  yang  buahnya adalah Melayu yang disegani bangsa jiran  dalam skala ratusan bahkan ribuan tahun, bisa saja lebih. Itu jika kita paham makna bahwa Melayu itu bangsa yang berbangsa pula, bukan etnisitas belaka.  Yang tidak sontak diciptakan dari pengaruh kuasa formal, bukan diciptakan dari beleids dan  SK saja, yang diagungkan positifisme dalam berhukum.

Namun,  terbukanya Barelang itu patut jadi bukti yang menjelaskan sikap inklusif, ko-eksistensi, egaliter, saling harga menghargai hak atas asal usul –yang berlangsung dari milenium ke milenium. Bukan hanya dari SK ke SK paduka dalam kurun dua,  tiga atau empat puluhan tahun sahaja.

Tersebab itu, tidak memadai dan dangkal (bahkan tidak berkeadilan), jika mendengar suara  paduka yang membedah Rempang  dangan netra yang rabun jauh data sejarah. Yang sangat mungkin tesuruk dalam narasi dangkal, yang pasti
akan memasuki ruangan berhukum yang melulu memfasisilitasi tumbuhnya legal reasoning bias, dan masuk dalam kungkungan hukum positif: positifis a.k.a legalis yang beku. Enggan kepada antiresis bahwa di dalam hukum ada hukum yang lain; dan hidup. Eksis menjadi Living Law. Ingat! Living Law itu diakui. Periksa asas KUHP nasional 2023.

Mencerna situasi Rempang dengan jurus legalistik pasti gagal menjelaskan dengan jernih dan dalam perihal bagaimana konstruksi hukum STR. Yang jika paham legalistik itu dilanjutkan secara totok, maka akan mentok. Bahkan cenderung membangkitkan konflik laten dalam hukum maupun melampui hukum dalam lika liku berinvestasi.

Itu artinya investasi yang rabun pada hak atas asal usul bangsa Melayu akan  menciptakan  permasalahan lain-lain yang krusial. Ketika jahat kepada keadilan pun hak atas asal usul, sekam tua  bisa tersulut menjadi api amok,  pun terbitnya silang sengkarut perkara hukum turunan, seperti geruduk kantor paduka  dan entah apa. Diduga, itu akibat gesekan sosial, gap ekonomi bahkan akses kekuasaan  politik lokal yang mengeruduk soal paling vital bangsa manapun: hak atas asal usul. Hak otentik dan universal yang bertumpu dan tersimpul sebagai tema besar yang bersifat populis namun universal: bahwa keadilan adalah hak segala bangsa. Merdeka dari penjajahan adalah mediumnya.

Tanpa keadilan, hukum bukan hukum namun kekuasaan. Amok dan gesekan klasik antara peoples-feat-civil society dengan state-feat-capital;  sahih dan jernih jika dibaca kaum akademi dan fakultas hati sebagai konstruksi hukum mengenai keadilan sosial.  Aksinya adalah, tulen mempersoalkan senjangnya keadilan; fair to justice; dan itu perjuangan yang mulia, historis, isu universal; pun menarik perhatian publik nasional dan internasional.

Karena itu, keliru jika mengambil posisi yang positifistik, yang makin parah jika terus dipertahankan dengan kaku, totok, pokok e ; yang menjurus otoriterian  isme.  Syukur jika itu telah tiada.

Terlebih lagi jika instrumen hukum dan regulasi yang menganut positifisme itu dicipta-reka dengan tendensi/ indikasi kriminal:  koruptif, tidak good governance, dan jauh dari partisipasi bermakna.

Lantas apa tawaran legal reasoning dan konstruksi hukum menjelaskan konteks STR dan AR?

Yang pasti bukan kekerasan, semburan gas air mata yang melanggar HAM orang tua, dewasa dan anak-anak di bangku sekolah.  Dan,  jangan pula memutilasi konstitusi keadilan. Jaga negeri, kawal konstitusi. Rembuk bijak atasi amok. Dari bening hati, bangkitkan negeri. Bukan puisi, opini personal anak Langkat ini hanya swara yang mendudukkan hak atas Rempang. Bukan tegak kecak pinggang; merampang. Tabik.

[Advokat Muhammad Joni, Ketua MKI, Sekjen PP IKA USU].

Share
Leave a comment