Kekerasan dalam Pendidikan

"Pada Pendidikanlah tergantung masa depan bangsa"

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Kepala Sespim Lemdiklat Polri Irjen Pol Prof. Chrysnanda Dwilaksana.

Kekerasan dalam lembaga pendidikan nampaknya menghasilkan sikap dan perilaku baik disiplin bahkan cerdas, namun sejatinya justru merusak jiwa, mental, sikap bahkan perilakunya. Kesemua itu membunuh karakter dan menjadikan penakut, terus saja menjadi ekor tanpa berani menjadi kepala apalagi menjadi dirinya sendiri.

Kekerasan di dalam lembaga pendidikan ada beberapa kategori:

1. Kekerasan fisik
Segala bentuk kekerasan yang berhubungan langsung dengan fisik seperti : menampar, memukul, menendang dsb
2. Kekerasan emosi
Kekerasan dengan tindakan emosional, membentak bentak, memelototi, pasang muka yang membuat tidak nyaman dalam berinteraksi, dengan bahasa ketus dsb.
3. Kekerasan administrasi
Kekerasan yang dilakukan secara administrasi membuat terjadinya diskriminasi, manipulasi nilai, transaksional dalam penilaian, membocorkan soal ujian, memberikan pekerjaan yang berlebihan yang didasari administratif yang nampaknya benar dsb
4. Kekerasan sosial
Kekerasan yang dilakukan dalam kelompok yang menganggap teman atau kelompok lain lebih rendah, mendiskreditkan, mengolok olok di muka orang banyak, membuli hingga melabel dan menyebarkan keburukan dalam berbagai ujaran kebencian
5. Kekerasan. simbolik
Kekerasan yang mengintimidasi dengan sindiran, atau kata kata bersayap, perumpamaan perumpamaan yang menyebabkan terjadinya penyuapan bahkan pemerasan.

Kekerasan dalam pendidikan menimbulkan trauma dan efek luas yang setidaknya dapat dikategorikan sbb :
1. Terjadi balas dendam walau bukan kepada pelaku kekerasan kepada dirinya.
2. Sikap arogan, lemah bahkan hilangnya empati kepada sesama maupun lingkungannya.
3. Sikap tendensius bahkan bisa juga menjajah orang lain yang lebih lemah yang semestinya dilindungi.
4. Jiwa sosialnya melemah atau hilang dan menganggap sesuatu menjadi pasar, dibuatnya transaksional.
5. Nilai nilai inti atau core valuenya antara yang ideal dengan yang aktual berbeda bahkan bertentangan.
6. Kebanggaan kebanggaan semu terus dilakukan dengan kemunafikan, tipu daya, yang penuh dengan kepura puraan.
7. Lemah dalam banyak hal untuk transparan dan sulit dimintakan pertanggungjawabkan.
8. Membangun klik ( clique ) dengan berbagai pendekatan personal yang mengabaikan kompetensi
9. Stratifikasi dan ekologi sosial menjadi tidak sehat, yang dicari atau ditunjukkan hanya pada kesalahan kesalahan, keburukan, mengeluh dsb tanpa mampu melihat kebaikan yang ada.
10. Mental yang sakit selalu ingin dipahami, dilayani, diutamakan, dihormati, pendendam, dsb

Kesepuluh point di atas ini merupakan tabiat dampak kekerasan dalam pendidikan. Sadar atau tidak mengakui atau tidak ini semakin lama semakin membuat lembaga pendidikan telah melakukan silent suicide (bunuh diri secara perlahan). Suasana belajar mengajar menjadi momok yang membuat malas dan matinya spirit untuk menumbuhkembangkan kompetensi diri. Apa yang dilakukan sebatas memenuhi kalender pendidikan. Para guru merasa sebagai dewa pemegang kebenaran, sabdo pandito ratu. Tidak peduli apa dampaknya, yang penting sudah melaksanakan tugas. Tugas pokok diganti dengan pokoknya tugas.

Inipun berefek kepada para peserta didik. Sekolah sebatas mendapat ijasah tanpa harus bersusah payah, berpikir, belajar dan berlatih. Semua diserahkan orang lain yang dianggap mampu membantu. Mental transaksional muncul jg dalam mencari nilai dan ranking. Kebanggaannya justru pada kedunguannya. Menukar otak dengan selembar ijasah tanpa menunjukkan kualitasnya sebagai pemikir dan hasil didik yang tercerahkan. Tidak mampu menunjukan adanya transformasi. Semua beku kaku penuh dengan topeng bopeng kebohongan, kecurangan, ketidak jujuran, ketidakbenaran. Karena keadilan tidak ada dalam ekologi pendidikan.

Mengatasi kekerasan dalam lembaga pendidikan tidak semudah membalik tangan, karena mereka sudah berada di zona nyaman bertahun tahun. Mati matian akan terus dilakukan untuk mempertahankan kenyamanan dan berbagai previledgenya.

Membangun pendidikan yang berbasis moralitas, tegas dan humanis dalam konteks welas asih setidaknya dapat dibangun dengan :
1. Menata lingkungan menjadi asri dan ada kerinduan untuk selalu berada di ekologi pendidikan
2. Membangun dan menerapkan keutamaan pendidikan
3. Proses belajar mengajar dalam suatu dialog peradaban
4. Membuat suasana belajar menjadi ruang ruang pencerahan yang membagikan kebahagiaan
5. Kejujuran, kebenaran dan keadilan menjadi habitu baru atas pikiran perkataan dan perbuatan
6. Proses belajar mengajar terstimuli dengan motivasi tinggi dengan kesadaran, tanggungjawab dan disiplin
7. Para guru menjadi mentor dan pendamping yang berupaya membangkitkan kompetensi peserta didik semaksimal mungkin untuk menjadi jati dirinya
8. Menghilangkan atau setidaknya meminimalisir kekerasan kekerasan dalam lembaga pendidikan
9. Menumbuhkembangkan kreatifitas dan inovasinya dalam olah jiwa, olah rasa dan olah raga
10. Menjadikan lembaga pendidikan ikon bagi kemanusiaan, peradaban dan patriotisme

Mungkin masih banyak hal lagi yang bisa dikembangkan karena semakin di minimalisir kekerasan akan mencari model model baru. Kaum di zona nyaman akan membuli hingga melawan mati matian. Namun tatkala kaum yang sadar cinta dan bangga dan bertanggung jawab atas pendidikan, peserta didik dan peduli akan hasil didik mau bergerak melawan tidak sebatas sebagai silent majority maka perubahan pendidikan cepat atau lambat akan mampu dilakukan.

Kalau tidak sekarang kapan lagi kalau bukan dari kita kita ini siapa lagi.

Pada pendidikan lah  tergantung masa depan bangsa.

Tatkala pendidikan belum menjadi acuan atau basis pembangunan karakter maka pilar kedaulatan bangsa perlahan akan runtuh.**

Lembah Someah Maribaya 110423

Share
Leave a comment