Pakar: Tuntutan Pidana terhadap Trump sebagai Ujian bagi Demokrasi AS

TRANSINDONESIA.co | Donald Trump sering menyemangati para pendukungnya dengan meneriakkan “lock her up!” (“Penjarakan dia!”) pada rapat-rapat umum. Pernyataan itu mengacu pada lawan politiknya, Hillary Clinton, yang dikatakan seharusnya masuk penjara karena menggunakan server email pribadi.

Tetapi justru Trump sendiri yang sekarang mendapati dirinya didakwa oleh dewan juri New York atas pembayaran uang tutup mulut sebesar $130.000 kepada seorang aktris film porno pada minggu-minggu sebelum pemilu 2016.

Trump membantah melakukan kesalahan dan menuduh jaksa wilayah Manhattan yang mengajukan dakwaan, Alvin Bragg, seorang Demokrat, melakukan “perburuan penyihir” (“investigasi yang mengada-ada) bermotif politik untuk menggagalkan upayanya kembali mengikuti pemilihan presiden pada tahun 2024.

Presiden Joe Biden menolak berkomentar ketika ditanya apakah dia khawatir tentang kemungkinan adanya protes setelah dakwaan itu. “Tidak, saya tidak akan berbicara tentang dakwaan terhadap Trump,” tukasnya.

Di New York, sekelompok kecil massa mengatakan Trump harus menghadapi pengadilan yang adil atas tuduhan yang disetujui dewan juri untuk diajukan terhadapnya.

Di West Palm Beach, Florida, dekat tempat tinggal Trump, para pendukung muncul untuk membelanya. Trump telah menyerukan protes besar-besaran jika dia dikenai dakwaan. Seorang pakar mengatakan kepada VOA bahwa seluruh dunia akan mengarahkan mata untuk melihat apakah protes itu akan berlangsung secara damai atau apakah kekerasan politik meletus seperti yang terjadi pada 6 Januari 2021, ketika para pendukung Trump menerobos masuk ke gedung kongres, Capitol.

Michael Kimmage adalah profesor sejarah di Catholic University of America. Dia berbicara dengan VOA melalui tautan Zoom.

“Saya pikir ini akan menjadi semacam tolok ukur bagi negara lain untuk melihat apakah semangat 6 Januari telah berakhir atau apakah masih ada potensi kerusuhan sipil di AS terkait dengan pertanyaan Presiden Trump dan Presiden Biden ini dan transisi kekuasaan dari satu ke yang lain dan jenis status Presiden Trump saat ini,” ujarnya.

Sejumlah tokoh Republik bergabung dengan Trump dengan mengecam dakwaan tersebut sebagai bermotif politik, termasuk mantan wakil presiden Mike Pence dan Gubernur Florida Ron DeSantis. Keduanya dipandang berpotensi menjadi pesaing Trump untuk nominasi presiden dari Partai Republik.

Sikap demikian meresahkan seorang pakar, yang berbicara dengan VOA melalui tautan Zoom.

Cecile Shea dari Chicago Council on Global Affairs mengatakan, “Saya sangat kecewa karena ada pemimpin Republik, tidak semuanya, tetapi sebagian dari mereka, yang mengecam dakwaan ini, yang bahkan belum mereka baca, karena masih disegel.”

Hingga saat ini, mantan presiden AS yang hampir dikenai dakwaan adalah Richard Nixon. Menghadapi kemungkinan pemakzulan, dia mengundurkan diri dan meninggalkan Gedung Putih pada tahun 1974.

Nixon tidak menghadapi tuntutan pidana karena dia diampuni oleh penggantinya, Gerald Ford.

“Oleh karena itu, saya akan mengundurkan diri dari kursi kepresidenan efektif pada siang hari besok,” kata Nixon.

Tetapi sejumlah negara demokratis lainnya telah menyelidiki, menuntut, dan dalam banyak kasus, menghukum dan memenjarakan mantan pemimpin, termasuk Korea Selatan, Italia, dan Prancis.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat ini juga diadili atas tuduhan korupsi.

Cecile Shea mengatakan kepada VOA bahwa dia prihatin atas masalah hukum Trump yang berpotensi meluas karena apa yang digambarkannya sebagai “hampir seperti kultus kepribadian” di antara para pendukungnya. Dia mencatat iklim politik di Amerika jauh lebih emosional dan terpolarisasi saat ini daripada ketika Nixon meninggalkan jabatannya hampir 50 tahun yang lalu. [voa]

Share
Leave a comment