Demonstran Sri Lanka Menentang Jam Malam pasca Blokade Media Sosial

TRANSINDONESIA.co | Pasukan bersenjata di Sri Lanka menghadapi konfrontasi intensif dengan kerumunan demonstrasi yang memprotes krisis ekonomi yang memburuk hari Minggu (4/2), setelah pemblokiran media sosial gagal menghentikan demonstrasi anti-pemerintah pada hari lainnya.

Negara Asia Selatan itu mengalami kekurangan bahan makanan, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya yang parah — ketika inflasi mencapai rekor dan terjadi pemadaman listrik yang melumpuhkan — ini merupakan keterpurukkan paling memprihatinkan sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948.

Sri Lanka menghadapi kewajiban membayar utang yang besar dengan cadangan devisa yang menipis, dan kesulitan membayar impor yang telah menyebabkan kekurangan pasokan kebutuhan dasar.

Dalam antrean panjang, sejumlah warga berusaha mendapatkan BBM dan setiap hari listrik padam selama beberapa jam karena tidak cukup bahan bakar untuk mengoperasikan pembangkit listrik dan musim kekeringan mengurangi kapasitas pembangkit listrik tenaga air.

Presiden Gotabaya Rajapaksa memberlakukan keadaan darurat pada Jumat lalu, sehari setelah masa berusaha menyerbu kediamannya di ibukota Kolombo, dan jam malam nasional diberlakukan hingga Senin pagi.

Samagi Jana Balawegaya (SJB), aliansi oposisi utama Sri Lanka mengecam pembatasan media sosial yang bertujuan meredam kemarahan publik yang semakin meningkat, sekaligus mengatakan sudah waktunya bagi pemerintah untuk mengundurkan diri.

“Presiden Rajapaksa lebih baik menyadari bahwa pendapat publik berubah dan menentang pemerintahan otokratisnya,” kata anggota parlemen SJB Harsha de Silva kepada AFP.

Pasukan yang bersenjatakan senapan serbu otomatis bergerak untuk menghentikan sebuah protes oleh anggota parlemen oposisi bersama ratusan pendukung ketika mereka berusaha berjalan menuju Independence Square ibukota negara tersebut.

Jalan yang dibarikade beberapa ratus meter dari rumah pemimpin oposisi Sajith Premadasa dan massa terlibat dalam ketegangan dengan pasukan keamanan selama hampir dua jam sebelum mereka berhasil dibubarkan.

Eran Wickramaratne, anggota parlemen SLB lainnya mengecam deklarasi keadaan darurat dan juga kehadiran sejumlah pasukan di jalan-jalan kota.

“Kami tidak bisa membiarkan pengambilalihan militer,” Eran mengatakan lebih lajut. “Mereka harus mengetahui bahwa kita masih merupakan sebuah (negara) demokrasi”.[voa]

Share
Leave a comment