Mantan Tahanan Guantanamo: Saya Masih Tinggal di Guantanamo 2.0

TRANSINDONESIA.co | Sudah 20 tahun sejak tahanan pertama dalam perang AS melawan terorisme tiba di fasilitas penahanan militer AS di Teluk Guantanamo, Kuba. Setidaknya 800 orang telah ditahan di sana selama dua dekade terakhir, sebagian besar di antaranya tanpa pernah didakwa.

Koresponden VOA untuk Pentagon Carla Babb berbincang dengan mantan tahanan Guantanamo, Mansoor Adayfi, yang mengabdikan hidupnya untuk menutup penjara tersebut.

“Hari ini saya hanya punya ini untuk Presiden Biden: tolong tutup Guantanamo. Anda tahu, tempat itu adalah noda dalam sejarah Amerika, nilai-nilai Amerika, kebijakan Amerika.”

Demikian kata Mansoor Adayfi, warga negara Yaman, mantan tahanan di Guantanamo. Ia mengatakan dirinya pergi ke Afghanistan ketika masih berumur 18 tahun untuk meneliti kelompok paramiliter Islam bagi salah satu institute Islam di Yaman. Yang terjadi berikutnya: ia tidak pernah kembali ke negaranya.

“Ketika saya tiba di Afghanistan, beberapa bulan setelah terjadinya peristiwa 9/11, saat itu saya diculik oleh salah satu panglima perang, dijual dari satu pihak ke pihak lain hingga dijual ke orang Amerika sebagai al-Qaida,” lanjutnya.

Ia mengatakan pihak Amerika mencari seorang pemimpin al-Qaida asal Mesir berusia paruh baya yang juga orang dalam peristiwa 9/11.

Adafyi mengatakan, setelah berulang kali disiksa dan diinterogasi, ia terpaksa berpura-pura mengaku sebagai sosok tersebut.

Ia berulang tahun yang ke-19 ketika dipenjara di sebuah situs hitam dan menjadi salah satu tahanan pertama yang dikirim ke fasilitas penahanan Teluk Guantanamo, yang dibuka oleh Presiden AS George W. Bush pada 2002 untuk menahan dan menginterogasi para tersangka kombatan musuh.

Bush mengatakan, “Orang-orang ini perlu dipindahkan ke lingkungan di mana mereka dapat ditahan diam-diam, diinterogasi oleh para ahli, dan bila perlu, dituntut atas tindakan terorisme.”

Adayfi menceritakan pengalamannya dibawa ke Guantanamo.

“Kami tiba dalam kondisi dibelenggu, kepala ditutupi kain, sambil mengenakan seragam berwarna oranye, dan mereka menggembar-gemborkan kami ke seluruh dunia sebagai teroris terjahat dari yang terjahat. Jadi pada dasarnya, saat Anda sampai, mereka menggunting pakaian Anda, melempar Anda ke lantai, menyiram Anda dan menyikat Anda dengan sapu.”

Selain aksi bulan-bulanan itu, Adafyi mengatakan, penyiksaan tidak berhenti.

“Ketika petugas interogasi menyiksa, menelanjangi dan memukuli saya, saya mengatakan padanya bahwa ialah yang teroris. Saya bilang Andalah yang teroris. Andalah yang berperilaku seperti teroris sekarang.”

AS kemudian membatalkan tuduhan bahwa dirinya pemimpin al-Qaida Mesir. Namun tuduhan itu membuatnya kehilangan 14 tahun masa hidupnya. Ia menghabiskan masa-masa dua puluhan tahun di balik pagar kawat berduri Guantanamo.

Kini, masih ada 39 tahanan di Guantanamo dan hanya selusin yang telah didakwa atau divonis karena kejahatan perang.

Tapi selusin orang itu dianggap sangat berbahaya – sampai-sampai baik Presiden Obama maupun Biden belum bisa menutup penjara itu seutuhnya meski telah berjanji.

Juru bicara Pentagon John Kirby menuturkan, “Pemerintah tetap berniat menutup fasilitas penahanan di Teluk Guantanamo, tidak ada yang berubah terkait hal itu.”

Akan tetapi para pegiat menuntut aksi nyata dari janji-janji itu. Mereka meminta pemerintah mengadili dalang peristiwa 9/11 Khalid Sheikh Mohammad dan berhenti menahan yang lain tanpa kejelasan waktu.

Andy Worthington, penulis buku The Guantanamo Files, mengatakan, “Bagi para korban 9/11, ini sudah 20 tahun. Apa menurut Anda adil bagi mereka untuk menunggu 30, 40 tahun, hingga akhirnya meninggal karena usia tua di Guantanamo, tanpa ada tindakan apapun yang menyerupai keadilan?”

Thomas Wilner, pengacara dari Shearman & Sterling, menuturkan, “Perang sudah selesai. Tak ada lagi pembenaran hukum untuk menahan mereka.”

Yaman saat ini tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi. Itu sebabnya Adayfi tidak dikirim pulang. Ia kini tinggal di Serbia di bawah pembatasan keamanan yang ketat – tempat yang tidak ingin ia tuju, di mana dirinya masih merasa terkungkung.

Kembali, Adayfi, “Ketika Anda tidak kenal anggota legislatif, tidak punya jaringan, Anda tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga Anda. Dengan stigma (mantan tahanan) Guantanamo, orang-orang takut berbicara kepada Anda. Anda tidak bisa menikah. Pada dasarnya, ini seperti Guantanamo versi dua.”

Ia mengaku, menulis membantunya menghadapi trauma, dan ia berharap buku barunya – yang ia tulis semenjak masih terbelenggu ke lantai ruang kelas di Guantanamo – dapat membantu orang-orang memahami alasan kenapa ia berharap penjara itu ditutup untuk selamanya. [rd/jm]

Sumber: Voaindonesia

Share
Leave a comment