Pendidikan Kesenian dan Peradaban Bangsa

TRANSINDONESIA.CO | Pendidikan kesenian pada sekolah sekolah di semua lini sering dijadikan pelengkap. Yang diutamakan Matematika, atau IPA. Mohon maaf bukan mendiskreditkan Matematika dan IPA tidak penting. Belum lagi pengajaran seni pun diajar oleh guru yang bukan di bidangnya.

Mohon maaf kalau sedikit skeptif walaupun ada yang sudah menyadari bahwa kesenian merupakan dasar bagi peradaban. Namun kebanyakan seni diajarkan dengan menghafal, ini sama saja pelajaran olah raga, berenang misalnya hanya teori dan latihan kering saja tanpa pernah masuk ke kolam renang. Pasti ada yang membantah dalam kesenian menggambar ada prakteknya. Benar memang ada, namun apakah pengembangan imajinasi anak didik dibangun? Mari kita bertanya pada diri kita masing masing untuk menggambar pemandangan? Apa yang ada di benak kita atau imajinasi kita apa? Gunung dua jalan lurus kiri kanan sawah pohon kelapa dan ada burung terbang yg digambar angka 3 menghadap ke bawah.

Dalam seni musik yg mampu mengerti tangga nada berapa persen? Belum di bidang sastra tari drama dan sebagainya. Di bidang seni rupa misalnya, anak anak tahu siapa Affandi sebagai pelukis terkenal Indonesia, namun apakah mereka memahami keunggulan keunikan karakteristik dan hal hal lain tentang Affandi dan karya karyanya? Seandainya bisa menjawab kembali menghafal atau mengulang kembali kata si A si B, dst. Apa yang ada dalam imajinasinya sendiri hampir nol atau bahkan tidak ada sama sekali. Yang berkaitan dengan sastra misalnya, pelajaran kesusastraan sama juga menghafal sastrawan sastrawan dan judul karyanya.

Anak anak tahu Marah Rusli dengan salah asuhannya, lagi lagi apa hebatnya apa indahnya tentu tidak diajarkan. Apalagi ditanya yang kekinian hampir lepas semua. Lihat saja di buku buku kesenian adakah tercatat nama nama besar seperti Nashar, Trisno Sumarjo, Oesman Effendi, Zaini, Rusli? S Sudjojono pun mungkin tidak banyak yang tahu termasuk guru gurunya.

Pahlawan peradaban hampir hampir tidak dikenal atau mungkin juga tidak ada upaya mengenalkan. Pendidikan kesenian belum mampu mengajarkan anak anak menjadi siapa hanya terus berkutat dengan apa. Imajinasi seringkali di matikan. Bahasa juga lagi lagi dianggap hafalan. RM Mm
angunwijaya mengkritik: “Belajar dengan menghafal identik dengan cara belajar binatang sirkus”. Analogi dan perumpamaan hampir hampir tidak dipahami. Belum lagi lembaga pendidikan mengandalkan dengan uang nilai atau rangking dan sogok menyogok bagai jamur di musim hujan tumbuh berkembang pesat. Di sekolah sekolah tinggipun seni hilang maka tatkala untuk mengkonstruksikan konsep dan teori lemah sekali.

Kemampuan mengabstraksikan atau menemukan hakekat atau intinya juga demikian. Lihat saja gedung kesenian dan musium musium hampir tidak ada yang dikatakan sebagai representasi atas bangsa berbudaya bangsa yang berbhineka. Rata rata menggunakan warisan kolonial Belanda. Bukan salah, namun citra dan roh peradaban bangsa yang kaya sebagai super power budaya kok rasanya hambar. Ada, namun tanpa rasa. Ya bisa saja sebagai pelepas lapar dan dahaga namun jiwa bangsa besar yang sarat seni budaya rasa rasanya perlu mengkaji kembali pendidikan seni dan budaya di semua lini.

Pada tingkat tinggi pada negara negara maju dan modern “cultural studies” menjadi unggulan. Mereka membuat galeri atau musium sebagai pusat studi seni budaya. Para penguasa, pengusaha dan akademisi sadar betul pilar pilar peradaban bangsanya. Mampu menduniakan seniman senimannya. Karya-karyanya pun menjadi bagian pelajaran pengajaran mata pelajaran seni budaya yang mendunia. Ini memang PR berat yang bukan saling tuding menyalahkan atau klaim klaim pembenaran namun memang ketandusan pada bidang kesenian perlu dibangkitkan.

Hasilnya bukan sekarang namun bisa puluhan tahun ke depan. Kita dapat berkaca pada Jepang walaupun teknologi tinggi namun cita rasa seni dan tradisinya pun di beri ruang sejajar. Bahkan yang dikembangkan di hiruk pikuknya era digital revolusi industri 4.0, lagi lagi Jepang mengajak kita semua membangun society 5.0. Jepang menyadari manusia aset utama bangsa, agar tidak terjajah atau menjadi budak teknologi maka harkat dan martabat manusia dengan kemanusiaannya diangkat kembali.

Menuju Indonesia Emas, kita menyiapkan SDM unggul yang tidak hanya cerdas namun juga berhati nurani sadar dan mencintai seni budaya. Pendidikan kesenian merawat kebhinekaan.**

Jakarta 31 Maret 2021

Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment