MBUH: Rasa Asa Nyata Seni ala Borobuduran

TRANSINDONESIA.CO – Tahun 2010, awal membangun Kampoeng Semar yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari Candi Borobudur, dibangun tanpa konsep yang jelas hanya mengikuti rasa saja. Awal mula keinginan dan upaya mengharap berkah, dimulai dari dialog dengan almarhum Danang Prastowo untuk menemukan tempat tempat yang memiliki aura dan membuat suatu tanda.

Tanda apa? kami juga tidak tahu, hanya kami berdua berupaya membagi antara fisik dan roh atau jiwa. Keduanya akan menyatu dalam suatu bentuk yang kami berdua sama sama juga tidak tahu.

Apa yang ada di dalam rasa, seolah memberi arah untuk mendirikan rumah Joglo dan limasan hingga untuk menanam pohon menempatkan patung patung memberi nama rumah rumahnya yang serba semar.

Semua dimulai dengan seadanya dan apa adanya. Mulai dari material sampai orang orang yang membangunnya.

Perjalanan waktu ke waktu penuh dengan masalah, dari teknis hingga non teknis. Apa yang ada selalu saja sebatas dimaknai sebagai usaha mencari uang semata.  Selalu ingin cash and carry. Model panjat pinang satu mengangkat yang lain menariknya turun. Bahkan ada yang mental balung kere senang kalau sama sama rusak. Tidak elok membicarakan uang tetapi tanpa uang juga tidak bisa menjadi elok.

Menjelaskan makna dari rasa menjadi asa dan nyata memang tidak mudah. Selain memberi contoh  menunjukkan, mengajarkan, mengajak berpartisipasi, hingga berlatih sendiripun dilakukan. Hasilnya kadang tidak signifikan bahkan bisa bertentangan dan tentu saja kontra produktif.

Misalnya, pohon pohon bonsai yang mati, tanpa laporan atau kalau ditanya dengan tanpa ekspresi berkata, “mati pak”.
Bocor atap hingga kayu dimakan rayap pun juga santai santai saja. Kebersihan dan pembersihan yang terus menerus disampaikan juga masih datar datar saja. Menanamkan rasa seni rasa memiliki rasa kesadaran rasa tanggung jawab rasa disiplin ini yang memang luar biasa berat.

Berkesenian melatih berbudaya dimulai dari rasa. Disitulah tatkala rasa ada maka seperti pandangan pertama kali menggerakkan rasa jatuh ke hati layaknya orang jatuh cinta. Tatkala rasa ada maka akan menjadi asa, dan dari asa akan ada upaya menjadikan nyata.

Rasa ini memang perlahan bagai keong. Keong menjadi ikon karikatur karya Pramono Pramudjo. Keong simbol orang-orang kebanyakkan, lambat beracun, kadang sok tahu, malas dan banyak perilaku yang menyebalkan, namun di situ ada makna kejujuran ketulusan kesetiakawanan. Walaupun pemalu atau clingus minder bahkan takut karena memang kurang bergaul rasa belum semua dipahami.

Membangun berarti juga merawat dan menumbuhkembangkan tidak sebatas pada fisik namun juga roh atau jiwanya. Dari olah rasa, olah raga hingga menjadikan sesuatu sarat makna, ini perlu adanya suatu transformasi atau dialog panjang.

Sesuatu ada karena di mengerti, filsuf Gelner mengatakannya. Membuat mengerti inilah yang dimulai dari yang tangible ke arah untangible.

Mengembangkan rasa, awalnya dengan membuka sebagai tempat selfie.

Tatkala orang datang maka rasa malu pun tumbuh. Malu bila kotor, malu bila tidak asri, malu malu lainnya ini mulai ada. Dari rasa malu inilah rasa tanggung jawab ada, mulai ada kemauan untuk maju. Walaupun dilakukan secara autopilot bertahap mereka tahu akan rasa dan mulai ada asa.

Membangun seni budaya ini sama beratnya mencerdaskan dan membangun peradaban. Tatkala belum selesai dengan dirinya jangan ke luar. Karena akan pamrih, akan tidak tulus hati, akan banyak keluhan tuntutan bahkan bisa menerkam dan menyengsarakan.

Rasa menjadi asa inilah yang ditanamkan, karena untuk menjadikan nyata diperlukan adanya kemampuan untuk nyontoni, ngajari, ngancani, mbelani nek perlu mbayari.

Kemampuan menjadi pencerah, menjadi inspirator, menjadi tempat curhat, menjadi motivator bahkan memberi solusi.

Di dalam membangun seni budaya filosofi Semar yang sederhana sak anane sak isane iso kanggo urip lan nguripi. Semar dengan gayanya yang sederhana bersahaja menjadi Pamong dan menjadi penyuluh saat kegelapan.

Semar bukan siapa siapa, karena Semar semua serba samar namun Semar ada di mana mana. Ia sederhana namun dicintai dan ada di hati siapa saja. Semar tidak juga semena-mena, ia memilih cara cara sederhana manjing ajur ajer bersama dengan rakyat lainnya.

Semar dan anak anaknya penuh canda tawa, memberikan hiburan atas duka lara. Semar berupaya membuat suasana menjadi riang cerah, rasa menjadi asa dan munculah upaya mewujudkannya.

Apa yang dikatakan Semar seakan menjadi sesuatu yang penuh makna dari moral, hingga tatanan dalam membangun keteraturan. Semar juga menanamkan nilai “rukun”. Rukun agawe santosa tanpa rukun asa tidak akan menjadi nyata. Sentosa inilah suasana yang aman, nyaman, asri, seni dan selalu ngangeni.

Semar yang samar memang semua dari rasa yang tak semua dapat dijelaskan dalam rangkaian kata kata. Semar memang sarat makna, sarat sesuatu yang tak selalu mudah dipahami. Namun di situlah jawaban 4 huruf menjadi jawaban singkat jelas yaiyu mbuh. Mbuh dapat dikatakan tidak tahu tapi sebenar tahu. Jawaban mbuh memang menjengkelkan bahkan kadang memancing emosi. Namun mbuh bisa dimaknai melalui budaya untuk hidup. Ini asa yg dinyatakan yang mampu mencerahkan dan nguripi atau memberi kehidupan.

Pancaran Kampoeng Semar akan seperti apa bagi masyarakat sekitar Borobudur juga masih mbuh, semua bagai santi aji Semar yang belum semuanya terkuak. Ngelmu iku tinemu soko sarananing laku. Dari situlah langkah demi langkah bagai menuntun keong dengan rasa tulus, jujur, bersahabat, solidaritas yang peka, peduli dan berani berbela rasa kepada sesama terutama yang menderita.

Entah sampai kapan, asa menjadi  prinsipnya. Kampoeng Semar terus melangkah, maju ke depan menanamkan benih benih kebaikan agar seni budaya mampu menjadi warna dan karakter bagi Borobudur dan sekitarnya. Semoga!

Mampang Prapatan 06082020

[Chryshnanda Dwilaksana]

Share
Leave a comment