Hernando de Soto dan Sejuta Rumah (2): Tanah Rakyat untuk Perumahan Rakyat?

TRANSINDONESIA.CO – Tema pokok pemikiran Hernando de Soto menemukan kapital mati milik warga yang tersisih dari sistem pembiayaan. Bahkan, dalam sistem perumahan rakyat. Aset tanah dan bangunan milik warga masyarakat justru acap kali dibiarkan.  Acapkali hanya penyedia tanah pertama namun tidak diajak serta masuk ke dalam sistem perumahan rakyat. Padahal mereka memiliki komponen utama: tanah!

Patut direnungkan, penyediaan perumahan   secara formal melalui pasar perumahan formal,   acapkali   menyisihkan   pemilik   tanah   dan   menegasikannya   dari   derap   system perumahan rakyat.

Selagi rumah masih bertapak di bumi, maka penyediaan tanah merupakan hal yangmutlak  bagi   pembangunan perumahan   rakyat  maupun  properti komersial.    Di   titik inilah sangat signifikan posisi warga masyarakat pemilik tanah, yang mestinya digiring bisa masuk ke dalam sistem penyediaan perumahan rakyat.

Penulis, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni.[Ist]
Penulis, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni.[Ist]
Ihwal hukum tanah,  pasti bertemali Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).  Hukum yang mengatur pertanahan, bertumpu pada “aturan pokok” yang diagungkan sebagai pemutus hegemoni hukum agraria (agrarish wet) produk kolonial Hindia Belanda.

Apa ihwal yang membedakan  UUPA  dengan Agrarish Wet buatan Belanda?

Hal   penting   UUPA  yang   membedakan   dengan   prinsip   penguasaan   tanah   zaman penjajahan   adalah   konsep   Hak   Menguasai   Negara   (HMN).     Dengan   HMN   memberi wewenang mengatur (regulate; bestemming), dan menyelanggarakan (execution).

Mengatur   apa?   Mengatur   ihwal   peruntukan/penggunaan   (use),   persediaan (reservation), pemeliharaan (maintenance), hubungan hukum orang dengan tanah, perbuatan hukum mengenai tanah. Pada asasnya Negara bukan pemilik tanah. Prinsip itu  berasal  dari Pasal 33  ayat (3) UUD 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara …”.

Jika merujuk   Pasal 14 ayat (1) UUPA,   terdapat perintah membuat rencana umum persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah,  yakni: (1) untuk keperluan negara, (2) untuk keperluan   peribatan,   (3)   untuk   keperluan   pusat-pusat   kehidupan   masyarakat,   sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan, (4)  untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian,   peternakan,   dan  perikanan   dan   yang   sejalan   itu,   (5)  untuk   keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.

Jika ditelaah secara  yuridis formal  ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUPA, tidak eksplisit menyebut   persediaan,   peruntukan,   dan   penggunaan   tanah   untuk     perumahan   dan permukiman. Oleh karena itu, beralasan jika harmonisasi  norma  yang menambahkan persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah  untuk perumahan dan permukiman. Dasarnya Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Hal  ini  untuk  mengisi/melengkapi  ketentuan  Pasal  14  ayat  (1) UUPA yang hanya menyebut   “keperluan   negara”,       mestinya   dimaknai   termasuk   keperluan   negara   untuk perumahan rakyat (public housing).

Gagasan   pembentukan   kelembagaan   bank   tanah   sebagai   institusi   penyedia   tanah untuk perumahan rakyat, harus melegalisasi  persediaan tanah untuk perumahan rakyat. Karena   itu   sangat   beralasan   jika   menambahkan     frasa   “wajib”   bagi     negara menyediakan tanah untuk perumahan rakyat dalam ketentuan Pasal 105 ayat (1) UU PKP.

Agar   konsisten   dengan   frasa   “wajib”   dalam   Pasal   54   ayat   (1)   UU   PKP   yang   berbunyi “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan  rumah bagi MBR”. Lebih tegas lagi,  Pasal 54 ayat (2) UU PKP mewajibkan  pemerintah dan/atau pemda memberi   bantuan  dan  kemudahan.   Digenapkan ayat   (3)  yang   menerakan   secara  limitative kemudahan dan/atau bantuan bagi MBR, termasuk:  (f) penyediaan tanah.

Pengaturan lebih lanjut mengenai penyediaan tanah untuk PKP diatur dalam Bab IX Penyediaan Tanah. Tak hanya menguasai tanah,  bank tanah  bisa  menjalankan fungsi  penghimpun tanah (land   keeper),   pengaman   tanah   (land   warantee),   pengendali   penguasaan   tanah   (land purchaser), pengelola tanah (land management), penilai tanah (land appraisal),   penyalur tanah (land distributor), dan tentunya pengendali harga tanah. Untuk keperluan itu, sumber tanah bisa dari tanah terlantar, tanah aset pemerintah dan pemda,   tanah   fasos/fasum   atau   PSU,   tanah   ex-kewajiban   redistribusi   pengembang perumahan, tanah aset BUMN/BUMD, tanah sitaan, ataupun dengan pengadaan tanah.

Pemerintah   menyadari   3   sebab       mahalnya   tanah.    Pertama,   keterbatasan   dan mahalnya harga lahan menyebabkan harga rumah makin tak terjangkau bagi MBR. Kedua, pembangunan rumah bagi MBR yang sesuai dengan batas harga pemerintah berlokasi jauh dari perkotaan dan tempat kerja. Ketiga, belum ada intervensi pemerintah untuk penyediaan tanah bagi pembangunan perumahan dan mengendalikan harga lahan.

Terkait partisipasi PSR, patut menggiatkan jurus konsolidasi tanah berbasis komunitas dan   mempertimbangkan   tanah-tanah   milik   komunitas   sebagai   sumber     persediaan   tanah perumahan rakyat. Yang dikelola dan dilembagakan berbasis komunitas. Tanah-tanah warga dan   komunitas   masih   bisa   digerakkan   sebagai   modal   utama   perumahan   rakyat.

Dengan mengajak mereka masuk ke dalam sistem perumahan rakyat, dan tak melulu menyerahkan aset tanah itu ke dalam sistem perumahan formal yang mengandalkan pengembang.

Perlu memberdayakan rakyat agar  tetap bertemali  dengan tanahnya namun produktif bagi perumahan rakyat.  Menghidupkan kapital tanah rakyat untuk perumahan rakyat. Tidak membiarkan warga pemilik tanah tercerabut dari asetnya. Seperti pemilik tanah yang menjual tanah pertaniannya dan ironi menjadi buruh tani.

Oleh: Muhammad Joni [Ketua Masyakat Konstitusi Indonesia, Sekum Housing and Urban Development  Institute,  Managing Partner Law Office Joni&Tanamas]

Share
Leave a comment