Café, Ruang Eksis Masyarakat Kota

TRANSINDONESIA.CO – Sejak dahulu trend cafe sudah menjadi gaya hidup kalangan tertentu, dan kembali booming di tahun 2000-an di tanah air, cafe menjadi tempat tongkrongan dan ruang eksis bagi masyarakat perkotaan khususnya.

Dikalangan anak-anak muda dan mahasiswa cafe menjadi tempat favorit saat ini, bagi mereka menjadikan cafe sebagai tempat positif tidak sebatas untuk nongkrong tetapi juga sebagai tempat bertukar pikiran bahkan menjadi ruang membahas pelajaran maupun diskusi. Bahkan kalangan pebisnis sampai politisi tidak ketinggalan menggunakan ruang café.

Tetapi tidak banyak yang tahu asal usul kata cafe yang akrab ditelinga itu kini menjamur diseluruh perkotaan sampai pedesaan.

Secara etimologis kata ‘Cafe’ berasal dari bahasa Arab yakni ‘Qahwah’, yang berarti kekuatan. Karena memang kopi dapat memberikan energi bagi penikmatnya,

Dalam bahasa Turki menjadi ‘Kahveh’, sedangkan bahasa Belanda dan Prancis menjadi ‘Kafe’, yang  kemudian diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi ‘Kopi’.

Di abad ke-13, umat Muslim menjadikan minuman kopi sebagai penambah energi saat ibadah dimalam hari. Membuat Bangsa Arab mengimpor kopi dari Benua Afrika, hingga kopi menjadi minuman populer dan masuk benua Eropa.

Oleh bangsa Belanda, salah satu negara di Eropa justru berpikir bisnis dengan membudidayakan kopi dan membawa biji kopi ke Pulau Jawa di tahun 1690.   Oleh Belanda berhasil mekultivasi secara besar-besaran di tanah Nusantara yang subur dan pertumbuhan kopi menjadi lebih baik termasuk aromanya karena tanah Indoensia sangat cocok dengan tanaman kopi.

Multatuli dalam novelnya di tahun 1860 menulis, sejarah kopi masuk Nusantara adalah sejarah kesedihan, sistem tanam paksa merupakan penghisapan warga Hindia Belanda.

Kafe Qahwah.{Fya}
Kafe Qahwah.{Fya}

Penikmat minuman kopi mengalami metamorfosis dalam perubahan sosial, mereka membutuhkan ruang-ruang santai untuk menikmatinya dari obrolan ringan antar sahabat, obrolan bisnis para pengusaha sampai obrolan antar elite politik yang bisa menghasilkan kebijakan.

Abad 20, filsuf Perancis Jean-Paul Sartre, menghabiskan waktunya di kafe untuk menulis filsafat eksistensialisme.

Hasan Al-Banna pendiri organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir tidak hanya berdakwah di masjid-masjid tetapi juga memanfaatkan kafe sebagai ruang dakwahnya.

Kafe tidak sekedar kedai yang menjual minuman dan kudapan tetapi lebih dari itu, menjadi ruang untuk ‘eksis’.

Harga yang dibayar bukanlah sekedar nilai dari makanan dan minuman, melainkan lokasi dan suasananya menjadi inspirasi tiap orang yang berada di kafe.

Namun sebaliknya, kafe juga bisa menjadi tempat pembunuhan, dimana warga Jakarta dikejutkan ketika kafe menjadi tempat yang mengerikan karena tewasnya Wayan Mirna Salihin saat menyeruput kopi di kafe yang telah dimasukan racun jenis sianida oleh rekannya Jessica Kumala Wongso.

Citra kafe sebagai tempat bersantai dijadikan bagian dari modus kejahatan tentu sangt disesalkan.

Dari Fakta-fakta diatas apapun bentuknya, pencerahan, dakwah, kejahatan,  masyarakat kota memerlukan ‘ruang virtual’ untuk eksis dan merupakan ekspresi gaya hidup modern saat ini.

Aris Yulianto [Pemerhati Gaya Hidup]

Share
Leave a comment