Rumongso Biso, Ora Biso Rumongso

TRANSINDONESIA.co | Pepatah Jawa mengatakan: Rumongso Biso, ananging Ora Biso Rumongso. Merasa bisa, serba tahu dan merasa paling benar tetapi tidak bisa berkaca diri, kalau kebisaannya hanyalah mencari kesalahan dan menyalah nyalahkan.

Jegal menjegal berebut kuasa dan kekuasaan seakan dilegalkan, trik dan intrik dengan hembusan isu kebencian dan fitnah, menjadi aroma khas politik dan perpolitikan dianggap kebanggaan perebutan kekuasaan maupun kursi jabatan. Pemanfaatan media sosial, cetak maupun elektronik, menjadi sarana ampuh kaum licik dan lihai di bidang jegal-menjegal. Kaum-kaum ini memang otak, otot, dan hatinya dikerahkan untuk memperkeruh dan mengadu domba. Kaum yang menabur benih-benih kebencian, memprovokasi, dan memanfaatkan kesusahan banyak orang demi diri dan kroni-kroninya. Susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah, itulah motto dan prinsip hidupnya.

Kaum ini selalu rumongso biso, merasa sebagai pahlawan walau kesiangan, penuh kemunafikan, serta memperjuangkan kesesatan. Jabatan dan kekuasaan memang sebagai power roh dan jiwanya untuk menguasai sumber daya dan pendistribusiannya. Gaya kolonial, gaya-gaya dewa uang yang bertabur harta serta kemewahan, di atas kesusahan dan penderitaan banyak orang.
Ketika berkuasa, dia bagaikan dewa yang merajai dengan uang. Kaum ini hilang kepekaan dan kepeduliannya pada kemanusiaan dan kehidupan. Bagai raja midas yang gila emas, bagai Don Kisot yang penuh khayalan ketakutan kehilangan jabatan beserta privilage-nya. Kaum ini mendeklarasikan diri sebagai sang penjaga dan penyelamat, walau semua itu hanya tipuan belaka. Semua dikemas melalui apa saja yang bisa dibelinya.

Tatkala ada kuasa merasa menjadi dewa tatkala tiada kuasa atau mendapatkan perlawanan bagai orang hilang jiwanya. Kewarasannya karena ingin ada kuasa. Kendali diri hilang kepandaianya, power-nya dikuasai kebencian yang dibungkus pembenaran. Kartunis Jan Praba menganalogikan sebagai pion atau lampu menyala karena sudah listriknya. Prof Marcus menganalogikan kisah pastor Tom Jacob yang saat menaiki angkutan umum, penumpang lainnya berkata :” Londo Asu tenan iki ora tahu adus” ( belanda anjing ini tidak pernah mandi ). Pada saat pastor Tom Jacobs akan turun dengan sikap serius mengatakan : ” nyuwun sewu asune bade liwat” ( mohon maaf anjingnya akan lewat ).

Kaum orq biso rumongso memiliki keanehan keyakinan yang memandang orang lain bodoh, tidak pantas, layak difitnah dan dihakimi. Kepura-puraannya bagai musang berbulu domba. Jalan gelap yang dicarinya, kebanggaan semu yang dipujanya.

Jegal menjegal dalam kekuasaan dan penguasaan sumberdaya tak jarang dibumbui primordialisme untuk mencari legitimasi dan solidaritas, segala cara dihalalkan untuk menjegal lawan lawannya. Di sinilah kaum yang hanyut dalam primordialisme seakan kehilangan akal budinya, yang hanya mengedepankan emosional dan spiritual.
Seakan teriakannya berkata : ndi Celeng e ?
Entah salah apa, entah salahnya di mana pokoke salah. Kok tiba tiba ada yang mengatakan tulisanmu menyinggung perasaan. Menjaga kewarasan dan daya nalar tidak harus ngegas dengan hinaan dan kata kata kasar. Mengkritik, yang dikritik mau merubah, ini bagai para karikaturis, sastrawan, pelawak, bahkan kaum terpelajar yang membuat quoete, lucu lucuan menertawakan pameran ketololan. Memang tidak harus baperan, nesu lalu terus mengothak athik gathuk mencari kesalahan dan menyalah nyalahkan. menyerang, menyindir, memprovokasi, mengadili suatu kejumawaan. Rumongso biso bisa menjadi intropeksi diri. Keras dalam prinsip santun dalam penypaian. Kata kata Jack Ma :” kalau kamu belum kaya dan terkenal, kata kata mutiaramu bagaikan kentut. Kalau kamu kaya dan terkenal kentutmu menginspirasi “. Ada suatu kisah di gerbong kereta kelas super ekonomi jaman dulu yang panas dan suk sukan. Tiba tiba ada yang teriak ” iki mesti entut e celeng, ambune koyo kabel kobong, sangit tengik”. Tiba tiba ada yang menyahut dengan suara lembut :” oalah entut, entut ….kon ndang minggat mentu jendelo kok ndadak mampir nang irunge asu”.

Kritis dan keras dalam prinsip untuk mewaraskan juga diperlukan namun bukan seperti celometan.

” Ndi Celeng e” dapat dianalogikan dalam suatu karya rupa :
1. Asu gede menang kerah e (hukum rimba, siapa kuat dia menang )
2. Ojo nyusu celeng (jangan berguru pada celeng )
3. Celeng degleng ( babi hutan lupa diri )
4. Koplak jaya ( yang gila dianggap baik dan benar )
5. Paok paok an ( pamer ketololan)
6. Sangite kabel kobong (bau menyengat bagai kabel terbakar)
7. Kaum dolop ngendhas ngendhasi ( kaum provokatif )
8. Micek mbudek ( tidak buta tetapi pura pura buta, tidak tulibtetapi pura pura tuli )
10. Jumawa sok sok an
Dsb.

Wong kang nyebahi iku ora mung nggateli ananging ugo nggatheli, amargo ora tahu biso ndelok apik ing liyan, sing ono mung nyelathu, ngendhas ngendhasi, rumongso biso ananging ora biso rumongso. Yen diwales banjur keloro loro rumongso paling sengsoro. Urip e kebak pikiran elek, srei, meri ora ono lelabuhane anane mung njaluk dipahami. Chrysnanda Dwilaksana

Jalan Merdeka Bandung 040823

Share
Leave a comment