RUU Kesehatan: Tidak Memadai, Install Ulang Pasal Perlindungan Tenaga Medis dan Kesehatan

TRANSINDONESIA.co | Pemerintah lewat Menteri Kesehatan mengajukan  3.020 DIM (Daftar Inventaris Masalah) RUU Kesehatan kepada Komisi IX DPR RI, 5 April 2023 lalu.  Pengaturan perlindungan tenaga medis dan kesehatan tidak lebih maju dari UU yang hendak digantikan RUU Kesehatan.  Aturannya masih sama saja, masih “pindah buku” UU  saja. Mustinya,  dengan  UU baru  perlindungan hukum tenaga medis dan kesehatan, standarnya semakin tinggi.

Andaipun pembaruan hukum dengan RUU Kesehatan bisa menjadi pemborosan jika  hanya penulisan ulang konsep norma UU yang sudah ada.  Misalnya Pasal 328 RUU Kesehatan, konsep normanya sama seperti Pasal 66 ayat (3) UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (UU Praktek Kedokteran). Bunyinya sama, hanya cara penulisan pasal digabungkan.

Pasal 328 RUU Kesehatan itu tidak ada kemajuan hukumnya karena hanya akuisisi  konsep norma Pasal 66 ayat (3) UU Praktek Kedokteran yang berbunyi sama: “Pengaduan… tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan”.

Dalam DIM 2101 yang diajukan pemerintah, Pasal 328 RUU Kesehatan ini statusnya ‘DIHAPUS’. Pemerintah keliru langkah. Menghapus Pasal 328  bukan kado kemajuan, namun tidak bekerja ekstra menaikkan standar perlindungan tenaga medis atau kesehatan.

Justru pemerintah ambil posisi mengubah substansi Pasal 328 RUU Kesehatan, yang  dimaksudkan hanya diperlakukan pelanggaran norma hukum, bukan norma etika dan dorma disiplin. Sebab dalam praktek, seringkali laporan pidana terhadap tenaga medis bukan pelanggaran norma hukum, namun hanya norma disiplin bahkan norma etika saja.

Terhadap tenaga medis (dokter dan dokter gigi) terikat dengan 3 (tiga) norma sekaligus dan harus berhasil dibedakan, yakni  norma etika, disiplin, hukum sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor 14/PUU-XII/2014, pertimbangan hukum Angka 3.14.

Menghapus DIM 2101 itu wujud tidak jelasnya  politik hukum perlindungan tenaga medis dan kesehatan. Ada “jebakan batmen” dengan dihapuskannya Pasal 328 RUU Kesehatan, sebab  turut terikut pula hapusnya norma pengaduan sengketa disiplin kedokteran melalui majelis kehormatan kedokteran yang saat ini masih yurisdiksi absolut Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

Alih-alih diperkuat, malah kelembagaan peradilan disiplin MKDKI dihapuskan dalam batang tubuh RUU Kesehatan. Keliru jika RUU Kesehatan menghapus ataupun menurunkan  (downgrade) kapasitas kelembagaan seperti KKI, MKDKI, bahkan Organisasi Profesi –yang merupakan tulang punggung sistem kesehatan nasional.

Mustinya pemerintah merekonstruksi Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran, bukan  menghapuskan Pasal 328 RUU Kesehatan. Perlu  rekonstruksi norma hukum  bahwa pengaduan pidana dan pemidanaan adalah upaya terakhir (the last resort; ultium remidium) –yang bersifat mandatory  setelah lebih dahulu melewati mekanisme MKDKI.

Secara bersamaan  mustinya DIM 2101 versi  pemerintah menghapuskan frasa “menggugat kerugian perdata ke pengadilan”.  Karena  hal itu sudah diatur dengan  Pasal 326 RUU Kesehatan. Apalagi dalam  DIM 2099 versi pemerintah,  Pasal 326 RUU Kesehatan  itu disepakati pemerintah dengan  status DIM: ‘TETAP”.

Soal lain tak kalah krusial adalah penggunaan frasa “setiap orang” dalam Pasal 328 RUU Kesehatan yang hasil akuisisi Pasal 66 ayat (3) UU Praktek Kedokteran. Penggunaan frasa “setiap orang” seakan meniadakan prinsip bahwa hubungan antara pasien dengan tenaga medis itu dalam kerangka hubungan kepercayaan profesi medis.

Tenaga medis itu profesi membantu (helping profesion) dan terikat sumpah Hipokrates yang universal: menyelamatkan dan menyehatkan pasien.
Rumusan Pasal 328 RUU Kesehatan –yang dinormakan hanya kepada subyek tenaga medis dan tenaga kesehatan— terkesan hendak  melepaskan norma hukum  dari konteks nilai fundamental profesi medis  sebagai helping profesion,  dan berwenang melakukan tindakan medis dengan kompetensi medis yang dianugerahkan Negara  melalui Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Norma tanpa nilai adalah hampa. Hukum tanpa keadilan adalah hanya seperangkat kuasa.

Jika pemerintah dan DPR bermaksud melindungi tenaga medis –yang “mewakili” Negara dalam pelayanan kesehatan dari amanat konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, maka buatlah kemajuan  perlindungan hukum  tenaga medis dan kesehatan.

Caranya, dengan mengubah Pasal 328 RUU Kesehatan yakni  menegaskan  ranah pengaduan pidana dan pemidanaan sebagai upaya terakhir (the last resort). Prinsip the last resort  itu  bersifat universal dalam  khazanah ilmu hukum pidana, yang telah bergeser jauh dari pidana dan pemidanaan (penal sanction) kepada prinsip restorative justice.

Keadilan restoratif itu bahkan sudah diserap ke dalam KUHP baru. Juga,  sudah diberlakukan  dengan  UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Perlu install ulang terhadap norma, prinsip, bahkan filosofi perlindungan hukum tenaga medis dan kesehatan dalam RUU Kesehatan. Investasi mahal RUU Kesehatan dan 3.020 DIM yang diajukan, musti dibayar lunas dengan  kemajuan peradaban hukum kesehatan.  Jika tidak, kebanggaan apa  hendak diraih jika Negara –sebagai “principal”– gagal melindungi “agent”-nya melaksanakan tanggungjawab konstitusional layanan kesehatan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.*

Jakarta, 14 April 2023

Muhammad Joni, S.H., M.H. (Advokat Pro Kesehatan Rakyat)

Share
Leave a comment