Ridha pada Apa yang Terjadi

TRANSINDONSIA.co | Sahabatku, salah satu kiat agar kita mampu menghadapi persoalan hidup adalah ridha  pada apa yang terjadi. Ridha terhadap apa yang akhirnya terjadi atau ridha pada hasil yang akhirnya kita terima setelah usaha yang kita lakukan.

Mengapa kita harus ridha? Karena kalau tidak ridha pun kejadian yang sudah terjadi tetap terjadi, hasil yang sudah kita terima tetap kita terima. Contoh sederhananya, kita sedang berjalan tiba-tiba sebuah bola mengenai kening kita cukup keras. Sikap terbaik menghadapi kenyataan seperti ini adalah ridha, karena toh bola sudah mengenai kening kita. “Tanda terima” berupa benjolan bekas lemparan bola sudah ada di kening kita. Jika ada rasa sakit, maka biarkan saja sejenak rasa sakit yang sebentar itu. Tidak perlu menggerutu atau mengutuk keadaan. Lebih baik beristighfar.

Rasulullah SAW bersabda, “Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya, serta ( Nabi ) Muhammad sebagai Rasulnya.” (HR. Muslim)

Sebagaimana isi hadits ini, bersikap ridha akan mendatang kan rasa tentram di dalam batin kita. Sebenarnya, penderitaan yang kita rasakan saat menggerutu dan mengutuk kejadian buruk bukan karena peristiwanya, melainkan karena sikap kita yang tidak ridha pada peristiwa tersebut.

Contoh lainnya yang sering terjadi adalah mengejek atau mencibir keadaan diri sendiri. Ada orang yang mengejek dirinya sendiri hanya karena hidungnya tidak mancung, kulitnya gelap, posturnya pendek, atau terlahir dari keluarga yang tidak kaya raya. Orang-orang seperti ini akhirnya merasakan penderitaan. Penderitaan mereka bukan disebabkan oleh kenyataan, melainkan oleh sikap mereka sendiri terhadap kenyataan. Maka, tidak heran jika orang seperti ini mengalami stres.

Seperti kisah seorang wanita yang sudah melewati usia 30 tahun, kemudian ia pontang panting menghindari gejala penuaan dengan cara operasi plastik. Biaya yang mahal dikejarnya tapi keriput di wajah tetap saja muncul. Dia pun stres. Ini contoh orang yang tidak ridha menghadapi kenyataan dan menyikapinya secara berlebihan. Ia tidak ridha menghadapi kenyataan bahwa muda dan tua adalah sunnatullah yang akan dialami manusia.

Saudaraku, ridha bukanlah pasrah begitu saja. Ridha adalah keterampilan kita untuk realistis menerima kenyataan. Hati menerima, pikiran dan fisik berikhtiar memperbaiki diri sehingga bisa menemui kenyataan yang lebih baik lagi. Jika sakit gigi, bersikaplah ridha dengan menerima bahwa itu ujian dari Allah, sembari kaki melangkah ke dokter gigi sebagai bentuk ikhtiar mengobati dan merawat gigi karena itu adalah titipan Allah Swt. Boleh jadi sakit gigi karena kelalaian kita merawat titipan Allah tersebut.

Oleh karena itu, peristiwa apa pun yang terjadi di dalam hidup kita, marilah kita hadapi dengan ridha: terima dengan lapang dada tanpa berkeluh kesah dan yakini bahwa segala yang terjadi ada dalam kekuasaan Allah Swt. Tidak ada kejadian apa pun yang luput dari pengetahuan dan kekuasaan-Nya. Sekalipun peristiwa tersebut tidak sesuai dengan harapan kita, bahkan cenderung pahit untuk diterima. Ridha adalah sikap terbaik agar ujian tersebut berbuah berkah bagi kita.

Bersikap ridha itu seperti menanak nasi tapi terlalu banyak air sehingga beras yang kita tanak malah menjadi bubur. Menghadapi kenyataan seperti ini maka sikap terbaik kita bukanlah menggerutu atau marah-marah, melainkan bersikaplah ridha sembari mencari daun seledri, kacang kedelai, dan suwiran daging ayam, lalu ditambahi kecap dan kerupuk. Maka, jadilah bubur ayam spesial.

Ridha akan membuat hidup kita lebih nyaman dan lapang. Bukankah kita ingin Allah SWT ridha kepada kita? Jalannya adalah bersikap ridha pada apa pun keputusan-Nya. Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang  ridha ( pada ketentuan Allah ), maka Allah akan ridha kepadanya.” (HR. Tirmidzi).

KH. Abdullah Gymnastiar

Share
Leave a comment