“Awas, Anda Bisa Terbang Membaca Ini”

TRANSINDONESIA.co | Kita hanya perlu ke tepi. Dan,  siapkan sedikit santuy untuk sekali taps menyentuh. Iyaa.. menyentuh sekali untuk terkoneksi. Lantas hasil sentuhan anda pun dibawa “terbang” kepada sistem ITE canggih dan kekuatan yang super “wuih”.

Tak perlu sangar, memaki,  dan jahil mengutak atiknya. Dia mudah, tidak payah. Biarkan “semesta raya” sang ITE bekerja dengan caranya. Agar setetes aksi kita “larut dalam samudra” sistem –yang adigung. Yang dia terus menatap tabiat. Yang tak rampung-rampung mencatat. Yang tak kasat mata dan tanpa skala. Yang tak bersua raga.

Ada yang bisa diukur dengan ukuran skala. Juga,  ada yang tanpa skala. Seperti realitas debu terbang, dan angin yang “diperintahkan” menerbangkan.  Adegan saya yang sekali menyentuh itu adalah satuan: Skala –yang gerak fisik biasa dan kasat mata.

Sedikit santuy adalah kesadaran (consciousness) –yang ruhaniawi dan tak kasat mata. Pergi ke tepi adalah proses menjadi terkoneksi. Kita bukan hanya kita. Namun kita yang terkoneksi dengan di luar kita: semesta kuasa yang agung.

Begitulah pelajaran analogi kesenian instalasi Anjungan Tertib Layanan (saya sebut saja “ATL”), ketika mengunjungi dan masuk ke serambi kantor baru mahkamah administrasi negeri ini.

Di luar turun hujan dan ada kresek-kresek suara angin.  Masuk ke sana saya melakukan 3 aksi ini: pergi ke tepi, sedikit  santuy, dan sekali menyentuh.

Pun hanya 3 saja, itu banyak membantu saya memahami penjelasan buku Greeg Braden: “The Divine Matrix-Menyingkap Rahasia Alam Semesta” (2019).

Ada Sekala, yang bagaikan adegan “sekali menyentuh” pada fitur ATL namun ada Niskala yang bagaikan aksi santuy.  Aksi pergi ke tepi yang memicunya. Tak harus menunggu turun hujan dan ditakuti angin, baru kita merasa perlu menepi. Menepi yang sangat sipi. Yang membuat “jatuh” melayang ke samudera adigung. Terbang. Bersyukur dan Ikhlas, Never Die.

Kawans:

“Mari ke tepi. Kita mungkin jatuh. …Dan mereka pun terbang” –dari puisi Christoper Logoe–  yang dikutip pak Gregg Braden sebelum memulai bab  pendahuluan.

Saya pun  jatuh “terbang” ke “samudra”, membaca ini:

“Aku punya setetes  pengetahuan  dalam jiwaku. Biarkan ia larut dalam samudra-Mu”.

Itu penggalan syair sufi Jalaluddin Rumi, yang dipajang buku Braden sehalaman.

Ketiganya –Braden, Logoe dan Rumi–  membuat saya santuy a.k.a  sadar dan ambil banyak iktibar. Dan,  pergi menepi hendak melahap buku The Divine Matrix –yang dipinjam dari sang sulung M. Haikal  Firzuni, SH, Ketum HMI Jakarta Barat. Sudahkah bersyukur dan ikhlas: santuy menepi dan jatuh terbang ke samudra, boys? Pembaca, Anda coba menepi, santuy, dan terbang membaca ini?  Tabik. (Muhammad Joni)

Share
Leave a comment