Sidang AIPA ke-42, Indonesia Usulkan Resolusi Krisis Myanmar

TRANSINDONESIA.CO | Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon memandang peristiwa pengambilalihan paksa Pemerintahan Myanmar oleh militer sebagai langkah mundur dalam demokrasi dan dapat mengganggu stabilitas kawasan. Karenanya, BKSAP melalui fungsi diplomasi parlemen mendukung segala upaya untuk mewujudkan penyelesaian konflik di Myanmar secara damai.

Dalam menyikapi kudeta Myanmar, delegasi Indonesia dipimpin Fadli Zon mengusulkan draf Resolution on Parliamentary Support on the Situation in Myanmar sebagai dukungan bagi berkembangnya demokrasi, rule of law, dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) di kawasan dalam Sidang Umum (SIUM) AIPA ke-42.

“Kita mengusulkan draft resolusi tentang situasi di Myanmar yang sejalan juga dengan 5 konsensus para pemimpin ASEAN yang diadopsi pada bulan April lalu,” kata Fadli di sela-sela Sidang Umum ke-42 ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) yang diselenggarakan secara virtual dari Brunei Darussalam, Selasa (24/8/2021).

Adapun lima poin Konsensus ASEAN untuk perdamaian di Myanmar yakni, pertama, kekerasan harus segera dihentikan dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya. Kedua, dialog konstruktif antara semua pihak terkait mulai mencari solusi damai untuk kepentingan rakyat. Ketiga, utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi. Keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan. Dan kelima, utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.

Fadli menuturkan, penyelesaian krisis di Myanmar merupakan kepentingan bersama bagi semua negara anggota ASEAN. Langkah prioritas yang perlu dilakukan adalah memulihkan demokrasi, menjaga perdamaian, stabilitas serta kesejahteraan kawasan. “Bersama BKSAP DPR RI, saya juga mendukung penuh pemerintah Indonesia sebagai peacemaker, problem solver dan bridge builder dalam menyelesaikan krisis Myanmar,” ujarnya.

Namun, Fadli menyadari tantangan menyelesaikan konflik juga menghambat perdamaian di Myanmar. Dimana adanya ketidaksamaan pandangan dalam memandang kasus Myanmar, serta prinsip non interference oleh negara ASEAN. “Tadi, negara Laos dan Vietnam menolak untuk mendiskusikan ini sehingga terjadi perdebatan yang cukup hangat di Komite Bidang Politik yang selalu dalihnya itu adalah konsensus,” terang Fadli.

Terkait situasi Myanmar, Fadli berharap negara-negara ASEAN lebih progresif  dan dinamis dalam memaknai prinsip non-interference. “Menurut saya, sulit mengambil keputusan jika selalu diarahkan kepada konsensus, termasuk untuk hal-hal yang sebenarnya sangat suportif dan baik bagi kepentingan negara-negara ASEAN sendiri,” pungkas politisi Partai Gerindra itu.

Sidang Umum AIPA ke-42 diselenggarakan pada 23-25 Agustus 2021 oleh Brunei Darussalam sebagai tuan rumah. Forum bertajuk ‘Forging Parliamentary Cooperation in Digital Inclusion towards ASEAN Community 2025’ ini membahas dan mengesahkan draf-draf resolusi di bidang politik, ekonomi, sosial, serta isu-isu tentang perempuan di Kawasan regional.

AIPA merupakan organisasi parlemen regional yang menghimpun parlemen negara-negara ASEAN. Saat ini AIPA beranggotakan 10 parlemen yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.[sfn]

Share
Leave a comment