DEDUKSI KEILMUAN #2 STAY FOOLISH STAY HUNGRY

TRANSINDONESIA.CO | Memasuki HUT NKRI ke 76 ini sangat menarik jika kita mencermati kemampuan belajar siswa di pagi ini membuat diri ini menarik nafas dalam-dalam. Betapa tidak, pelajar di Indonesia harus mendalami berbagai macam keilmuan yang terbilang banyak dan bersifat Exploitatif Qualitatif.

Banyaknya materi pembelajaran harus dilalap oleh pelajar saat ini, terlebih lagi metode pembelajaran yang dilakukan secara online jelas membuat sebagian besar siswa banyak yang keteteran karena belum memiliki modal kemandirian. Terang saja, hal ini banyak membuat orang tua mengalami uring-uringan.

Untuk bisa memiliki energy belajar seseorang harus memiliki motivasi kuat, dan ini dapat dilakukan jika seseorang merasa lapar membutuhkan asupan keilmuan. Hal inilah yang sering di katakan sebagai STAY FOOLISH. Spirit dalam belajar harus dimulai dengan adanya rasa masih bodoh dalam sebuah bidang keilmuan. Karena merasa belum tahu apa-apa akhirnya kita jadi penasaran untuk mempelajari sebuah ilmu.

Karena itu, seharusnya ada pembiasaan membangun habit bahwa kita ini selalu kekurangan ilmu. Diperlukan budaya merenungi dan mentafakuri tentang kekurangan diri. Merasa selalu masih hijau dan sedikit ilmu ini harus dibangun secara budaya dan program yang konsisten dan berkelanjutan.

Kalau kita berkaca dari negara-negara barat bangkit dari ketertinggalannya adalah diawali dengan gerakan RENAISANCE yaitu gerakan terlahir kembali. Bangsa Eropa menyadari bahwa mereka saat itu sangat tertinggal dari peradaban timur dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesadaran ini yang secara radical merubah bangsa eropa untuk melakukan gerakan secara kultural membangun budaya baru. Mereka bahu membahu membangun budaya ilmiah dalam semua lini kehidupan.

Evidence Base Methode menjadi pilar utama dalam pengembangan keilmuan. Mereka membebaskan diri dari kungkungan dogma yang selama ini telah membelenggu kebebasan berfikir. Ada yang menarik dari gerakan renaissance ini yaitu adanya komitment dan konsistensi yang tinggi sehingga gerakan budaya ini bisa berjalan dengan sukses dan berlangsung hingga hari ini.

Munculnya rasa dan kesadaran merasa lemah dan banyak salah ini sebetulnya adalah deduksi/implementasi dari ajaran agama. Hampir setiap hari kita diajarkan untuk beristighfar memohon ampun kepada Tuhan atas semua kesalahan kita. Dan salah satu kesalahan terbesar kita adalah banyak sekali kita menyampaikan sesuatu yang tidak pernah kita amalkan dan ini akan mendatangkan kemurkaan Tuhan. Dalil ini seharusnya mendorong kita untuk berjuang mencurahkan semua kemampuan kita menerapkan setiap ilmu demi ilmu yang kita dapatkan.

Bayangkan sejak kita belajar di SD sampai perguruan tinggi ada berapa banyak ilmu yang kita dapatkan? Namun fakta empirisnya berapa persen ilmu yang kita dapatkan itu telah kita deduksikan dan kita biasakan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari? Rasanya begitu banyak dosa dan kesalahan kita karena kita abai dengan ilmu yang telah kita pelajari namun pada akhirnya hanya menjadi database dalam otak kita.

Kezumudan keilmuan karena belum adanya budaya mendeduksikan keilmuan menyebabkan tidak munculnya spirit untuk menambah keilmuan-keilmuan yang dibutuhkan menghadapi problematika di lapangan. Seberat dan separah apapun problematika kita seperti sedikitnya jumlah pengusaha kita dan besarnya pengangguran tidak mampu menggerakkan kita untuk mencari keilmuan yang dapat mensolusikan problem krusial ini.

Spirit untuk mencari keilmuan baru ini banyak disebut sebagai STAY HUNGRY. Merasa selalu lapar keilmuan ini akan memberikan spirit kuat untuk terus mencari keilmuan yang relevan dengan kebutuhan operasi di lapangan. Perubahan budaya dan perilaku masyarakat tentu saja membuat secara cepat keilmuan kita sudah tertinggal dan absolut, sehingga pembaharuan keilmuan sebagai rujukan operasional mandatory harus dilakukan.

Bila kita membedah lebih dalam spirit STAY FOOLISH & STAY HUNGRY  ini dalam konteks kondisi kekinian seharusnya mendorong masyarakat untuk memiliki semangat tinggi dalam melakukan literasi. Sehingga proses learning berjalan dengan baik dalam makna yang sebenarnya. Learning harus dikembalikan kepada makna dan hakikat aslinya yaitu proses learning adalah proses untuk melatih dan membentuk konsep berfikir.

Agar budaya berfikir ini teraplikasikan dengan baik, maka diperlukan metode pembelajaran yang mendorong proses berfikir. Beberapa metode yang bila dijalankan yaitu:

1. Problem Base Learning
2. Project Base Learning
3. Resource Base Learning
4. Inquiry Base Learning

Generasi millenial yang sudah sangat fluently dengan sarana digital tentunya sangat cepat dalam melakukan digital learning, sayangnya mereka tidak diarahkan menerapkan metode learning yang tepat dan berkualitas. Aktivitas digital lebih banyak terperosok kepada aplikasi hiburan yang sangat mengasyikan.

Bisa dibayangkan manfaatnya jika kesibukan mereka dalam digital literasi diarahkan kepada sebuah problem base learning. Sudah barang tentu akan banyak temuan keilmuan yang akan dijadikan konsep dan keilmuan bagi remaja dalam menjaga kualitas hidupnya. Akan banyak sekali best practice yang dihasilkan oleh generasi muda dan sangat mungkin ditemukan inovasi-inovasi baru hasil dari proses learning ini. Belajar dari perubahan peradaban di Eropa maka dibutuhkan revolusi budaya humaniora yang akan merubah banyak behavior masyarakat.*

Penulis: DR. Daduk Merdika Mansur
[Peneliti Human Capital Development]

Share
Leave a comment