Urgensi Percepatan UU Pengelolaan Ruang Udara Nasional

TRANSINDONESIA.CO | Undang-undang yang mengatur Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PURN) menjadi sangat mendesak untuk diadakan. Diharapkan dengan lahirnya undang-undang itu, sinergisitas antara pemangku kepentingan dalam mengatur pengelolaan ruang udara nasional bisa lebih maksimal.

Hal itu yang tersirat dari segenap narasumber yang memberikan paparannya dalam sebuah Seminar yang diselenggarakan oleh Pasis Sekkau Angkatan-109 di Gedung Pramanasala, Ksatrian Sekkau, Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (2/6/2021).

Salah satunya adalah ‘kebutuhan’ TNI AU sebagai pihak yang ikut mengawasi Kedaulatan Negara di wilayah udara.

• Pengaturan pelanggaran wilayah udara (aerial Intrusion) yang belum diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 tahun 2009.
• Kebutuhan TNI AU selaku penyidik pelanggaran udara (hukum publik).
• Pengaturan Ruang Udara.
• Pengaturan Ketentuan Pidana pada pelanggaran yang berkaitan dengan wilayah udara.

Wakil Ketua Komisi I DPR Dr. Abdul Kharis Almasyhari / F-PKS menyiratkan, agar bisa memberi efek jera bagi para pelanggar kedaulatan udara kita, dari sisi undang-undang, kita harus jelas.

“Karena semua negara, harus menghormati kedaulatan sebuah negara. Mereka (negara lain) tahu bahwa kita masih belum punya undang-undang yang mengatur hal itu. Sekali-dua kali mereka coba, karena tahu belum ada undang-undangnya atau paling-paling  hanya ada sanksi administratif yang memakan proses lama”.

Lebih lanjut Abdul Kharis menambahkan, efek detterence (penggentaran) sangat diperlukan dan mereka mengkalkulasi dengan anggaran pertahanan Indonesia hanya 0,8 dari PDB, Indonesia bisa apa.

Wakil Ketua Komisi I asal PKS itu pun tak bisa menyembunyikan keherannya atas lambannya pengajuan RUU PRUN ini, ”Katanya, sudah dipersiapkan sejak 2010, namun kenapa belum selesai-selesai juga.

“Sedangkan di kami, UU yang mandeg 1 tahun lebih saja sudah diributin banyak orang”. Abdul Haris mengharapkan agar Januari 2022 rancangan UU PRUN itu bisa diterima oleh DPR dan Maret bisa dibahas.

Tapi implementasi penetapan UU PRUN tidak semata pada produk undang-undangnya semata, juga pada penyediaan alutsista untuk menghalau mereka.

“Banyak masyarakat beranggapan, ngapain sih dipikirin lha wong cuma dilewatin di atasnya, kita nggak dirugikan koq. Yah tapi sekali dua kali bolehlah, kalau sering nantinya negara kita nggo jakjakan (nggak dihargai sama sekali oleh) mereka” Kita kasih peluang orang luar berbuat semaunya sendiri di rumah kita.

Mungkin biaya untuk menghalau mereka besar, namun demi kedaulatan sebuah negara itu wajib kita lakukan, lanjut Abdul Haris.

Senada dengan Abdul Haris, Pangkohanudnas Marsda TNI Ir. Novyan Samyoga,M.M, dalam paparannya pun menambahkan yang dihadapi oleh Kohanudnas RI antara lain dalam Pengendalian Ruang Udara, sebagian wilayah udara masih  dikendalikan negara lain/flight information region FIR (Singapura dan Malaysia). Belum dilaksanakannya reposisi Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai sarana identifikasi diri pesawat asing dalam Sishanudnas.
Seakan mengamini dengan tema dalam seminar ini, Pangkohanudnas menegaskan, ”Dalam Regulasi, ada kekosongan hukum terkait pengelolaan ruang udara dari aspek pertahanan negara dan koordinasi penggunaan ruang udara oleh sipil dan militer”.

Lebih lanjut Novyan Samyoga menambahkan, kemampuan Kohanudnas untuk mendeteksi, menghalau dan mencegah pelanggaran Wilayah Udara belum optimal. Seandainya ADIZ dideklarasikan pun maka kemampuan Kohanudnas untuk menegakkan ketentuan tidak dapat dilaksanakan. Akibatnya munculnya keberanian pelanggaran wilayah udara oleh beberapa negara. Sehingga pengendalian wilayah udara pun tidak bisa maksimal.

Contoh saja, ketika terjadi pelanggaran udara di wilayah Natuna FIR maka ATC Indonesia tidak bisa berkomunikasi dengan pesawat asing yang melalui rute tersebut, harus berkordinasi dengan pihak Singapura. Dalam pergerakannya, pesawat TNI-AU harus senantiasa berkordinasi dan dikendalikan oleh ATC Singapura. Ditambah lagi penggunaan ALKI sebagai wilayah latihan pesawat tempur merupakan pelanggaran atas hak lintas ALKI.

Upaya Kemhan dalam menggolkan rancanan UU PRUN ini pun tidak main-main, Marsma TNI Muhammad Idris,S.H.,M.H, Karo Turdang Setjen Kemhan menegaskan bahwa UU PRUN itu nantinya akan menghasilkan Badan Koordinasi Pengelolaan Ruang udara yang mengatur keterpaduan penggunaan ruang udara, pengaturan volume dan waktu penggunaan ruang udara, kesatuan tujuan(unity of objective), kesatuan upaya (unity of effort).

Dibagian lain, Prof Hikmahanto Juwana,SH.,LL.M.,PH.D menguraikan bahwa UU Penerbangan dan PP 4/2018 yang mengatur tentang Penerbangan tidak ada aturan yang mengatur sanksi yang berujung pada pidana, sedangkan PP4/2018 hanya mengatur tentang sanksi administratif. Sehingga dengan posisi Indonesia yang sangat strategis bukan tidak mungkin suatu ketika pelanggaran memasuki kedaulatan wilayah udara Indonesia  oleh pesawat sipil asing didasarkan atas niat jahat. Oleh karena itu harus ada UU khusus yang mengatur itu atau mengamandemen UU Penerbangan yang ada.

Terkait tentang permasalahan Natuna FIR,  Kasubdit Penyidik PNS Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Rudi Ricardo mengatakan, ”Upaya untuk bisa mengelola sendiri kawasan Natuna FIR itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Saat ini beberapa langkah diplomasi sedang dilakukan agar nantinya sesuai dengan harapan UU No 1/2009 tentang Penerbangan yang mengamanatkan bahwa 15 tahun setelah diundangkan, pengelolalan wilayah kedaulatan udara nasional harus dilakukan mutlak oleh Indonesia”.

Persoalan pengelolaan wilayah udara bukan soal kedaulatan semata, namun terkait dengan unsur keselamatan penerbangan di dalamnya. Lebih lanjut Prof Hikmahanto menambahkan, “Selain bilateral Indonesia dan Singapura. Persoalan kepercayaan mengelola Natuna FIR juga harus mendapatkan ratifikasi ICAO sebagai representasi kepentingan penerbangan sipil internasional”.[miz]

Share
Leave a comment