Membangun Peradaban Bangsa yang Merdeka

TRANSINDONESIA.CO – Kemerdekaan adalah hak bagi segala bangsa, ini salah satu kalimat yang tertera dalam mukadimah UUD 45. Kemerdekaan itu apa? Mengapa memperjuangkan kemerdekaan? Harta benda bahkan nyawa dikorbankan bagi terwujudnya kemerdekaan. Merdeka bukankah bebas lepas dari penjajah? Ya benar namun di balik kemerdekaan itu ada tugas tanggung jawab yang menjadi amanah agar bangsa yang merdeka tetap ada. Yaitu membangun peradaban bagi bangsa itu.

Tugas dan tanggung jawab berat setelah merdeka adalah memerangi kebodohan, memerangi korupsi, memerangi kemiskinan, memerangi premanisme, memerangi bangsanya sendiri. Peradaban suatu bangsa hampir 2 dirusak oleh bangsa itu sendiri. Berebut kuasa, saling memaksakan kehendak. Saling merasa benar sendiri. Pokok e… teriakkan yg mengeroyok yg lemah diteriakkan sebagai wujud pekok e…. Pendidikan seakan tak menjamin kecerdasan. Pendidikan tinggi hati nurani ke mana pergi? Seringkali bertanya sampai kapan bangsa ini tetap ada.

Melihat yang bejat malah terhormat, naik derajat dianggap bermartabat dan hidup berkelimpahan penuh berkat. Kuasa dan kekuasaan memang menjadi idola, menjadi kekuatan bagi yang memilikinya. Punya kuasa bagai dewa tatkala kuasa tiada mulailah meraung merengek laksana orang gila. Siapa yang mengajarkan kenistaan? Apakah orang lain? Bangsa asing? Atau kutukan? Semua itu dari diri kita sendiri yang tidak mampu menikmati. Tidak mampu mensyukuri. Ucapan dan tindakan bisa berbeda bahkan bertentangan. Ke mana lagi integritas? Di mana komitmen? Di mana rasa haru bangga dan cinta akan manusia dan kemanusiaan?

Seni budaya penjaga peradaban ? Ya. Buktinya? Nenek moyang dan leluhur leluhur kita mewariskan nilai nilai bangsa ini. Mereka sederhana saja hidup bersahaja namun mereka paham akan potensi konflik dan cara mengatasi konflik itu. Seni dan budaya mereka ajarkan. Ini sebagai keseimbangan. Mereka menurunkan dengan rasa sehingga ada transformasi. Bukan menurunkan dengan hafalan bukan dengan paksaan tetapi mengajak anak cucu mencicipi manis indah dan nikmatnya seni budaya. Mereka memberi contoh. Ajaran keteladanan mereka lakukan. Keteladanan ini menjadi panutan bagi anak cucu. Melihat mendengar merasakan memahami hingga bisa ikut melakukan apa yang orang orang tua lakukan.

Seni budaya inilah peradaban bangsa merdeka. Seni haruskah milik kaum akademisi? Seni haruskah dalam keindahan tata ruang megah nan mewah? Seni hanya di istana dan gedongan? Seni milik kaum bisnis yg banyak uang? Seni itu ada pada rasa bukan sebatas tempat rupa atau kehormatan. Seni rasa sebagai manusia yang manusiawi.

Mengalirkan air menata sawah menanam pohon, membuat pagar rupah, ke pasar bahkan tidur yang penuh syukur bisa kolong jembatan pun ada seninya. Nyanyian blero, sliring, sumbang fals sekalipun ini ada rasa. Rasa pelipur lara melepas beban atas belenggu ini itu yang memenatkan. Pelepasan inilah menjadi jalan tengah agar tetap manusiawi. Tetap menjaga kebersamaan dalam hidup dan kehidupan harmoni.

Kasar halus, baik buruk, indah jelek itu hanya rasa. Itulah sebenarnya ada cipta karsa dan karya. Tatkala mampu menyambung nyambungkan menjadi sesuatu ciptaan karya inikah seni? Tak perlu dipirkan seni atau bukan segala sesuatu yang berhubungan dengan pikiran jiwa rasa indera itulah cipta karsa dan karya. Fungsinya agar tetap manpu menjaga manusia dan kemanusiaannya. Beradab itu mampu menahan diri untuk tidak anarki. Mampu menunjukkan penyelesaian konflik dengan cara yang tetap menjunjung tinggi rasa kemanusiaan. Tetap mampu berjuang untk semakin manusiawinya manusia. Karena yang tidak manusiawi ia bukan lagi manusia.**

[Chryshnanda Dwilaksana]

Share
Leave a comment