Maaf Maafan di Hari Lebaran Tradisi Basa-Basi?

TRANSINDONESIA.CO – Setiap moment perayaan Idul Fitri atau Lebaran ada momen saling maaf-memaafkan. Ada yang beranggapan, maaf-maafan pas Lebaran itu tidak lebih dari sekedar basa basi dan miskin makna, garing banget katanya.

“Ucapan yang cuma copas-copasan, kemudian di broadcast secara massif, di media social dan berbagai aplikasi group” ucap gadis milenial di sampingku yang usianya kurang lebih dua puluhan.

Sambil menelan ludah aku mendengar ucapan itu, dan teringat jaman masih kirim-kiriman kartu Lebaran. Akupun berkata padanya, “Begini dek.., adek belum merasakan kali ya..?, era tahun 90 an ke sana, yang masih jamannya pakai kartu lebaran”.

“Itu orang kalau dapet kartu lebaran sueneng banget hatinya. Jaman sekarang saja apa-apa serba mudah, serba digital jadi rasanya, emang nggak special  gitu..Jadi ketika teknologi memudahkan kita, rasa-rasanya memang seperti tanpa makna pesan-pesan yang disampaikan, Alhamdulillah kita bisa menikmati teknologi yang lebih baik hari ini” kataku.

Sambil memegang smartphone dan memelototi display, gadis milenial itu menimpali, “Okelah kalau itu masalah teknologi, terus emangnya memaafkan bisa dijadwal? Emangnya psikis ada tombol switch on-off kapan dia memaafkan dan kapan nggak? Kalau hari biasa dia padam, kalau lebaran langsung nyala?”

“Hari ini event lebaran, lantas otomatis orang langsung memaafkan diriku? maafkan maaf lahir batin, mitos macam apa itu” ucapnya berapi-api.

Aku memperhatikan gadis itu. Emang sekarang jaman aneh orang ngomong dengan lawan bicara tapi masih pegang dan memelototi smartphone. Apakah begini ya etika jaman sekarang. Aku pun berkata, “Dek .., jaman dulu di dalam kartu lebaran  kadang sudah ada kata-katanya ada ucapan “Minal faidzin wal faidzin, maafkan maaf lahir batin”.
“Sepertui syair tembang karya Ismail Marzuki, yang susunan kata-katanya memang kelihatan pas. Dan itu menjadi lazim diucapkan semua orang, akhiran ‘in’ ketemu akhiran ‘in’. “Kalau di lihat dari sudut pandang agama Islam, yang aku pahami gak ada ucapan “Minal faidzin wal faidzin, maafkan maaf lahir batin” tetapi ucapan “Taqabbalallahu Minna wa Minkum Shiyamana wa Shiyamakum”.

Secara bahasa, arti taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum adalah semoga Allah menerima puasa kita dan setiap tahun semoga kita senantiasa dalam kebaikan. Kalimat ini digunakan sebagai kalimat harapan dan doa agar selalu dalam kebaikan di setiap saat. Ucapan itu dijadikan sarana silaturahim juga.

Kali ini si gadis menoleh ke arahku, seperti gak mau kalah dia berkata,  “Tapi, kalau tujuannya cuma ingin menjalin silaturahmi, bilang aja langsung. Gimana kuliahnya kek, selamat lebaran kek, saya mau transfer THR kek. Gak perlu diembel-embeli dengan mohon maaf lahir batin. Apanya yang mau dimaafkan? Sebagian besar, ketemu aja belum pernah. Kenal secara personal aja kagak. Kreatiflah dalam berbasa-basi”.

Susah juga ya, memahami pola pikir anak zaman now he..he..he. Akupun bertanya pada si gadis milenial, “Dek lihat itu baliho yang segede gaban di perempatan itu, ada tulisan “mohon maaf lahir batin”. Adek kenal nggak secara personal orang itu?”

“Ya nggak lah” jawabnya.

“Nah itu adalah kata-kata yang menjadi tranding, menjadi budaya, buktinya jadi bahasa iklan saat lebaran. Nggak perlu kenal secara personal untuk menyapa. Kalau menyapa kamu anggap basa-basi, terus bagaimana kalau kamu mengucapkan selamat hari agama terhadap agama lain?, Bukankah itu juga sekedar basa-basi? Apakah keimanan mu terganggu gara-gara kamu berbasa-basi mengucapakan selamat? hal itu bukankah berbasa- basi untuk saling menghormati dan toleransi?  terus ada tim kreatifnya nggak untuk membuat kata-kata di baliho itu?”

“Ya Pasti lah..” ucapnya sambil menunduk.

“Artinya basa-basi itu memakai tim kreatif” kataku.

“Tapi kan orang-orang yang beneran punya salah, apalagi orang yang salahnya paling gede, yang paling diharapkan permintaan maafnya… Gak ada yang berani minta maaf ke aku, tuh”  ucapnya lirih.

Laaah… malah curhat dia hahaha…

“Dek itu kan urusan pribadi kamu, kenapa kamu ajak khalayak umum mengikuti prasangka kamu. Kenapa budaya saling memaafkan kamu anggap tercela sedangkan masalah ada di adek” kataku.

“Iya juga sich” jawabnya.

Dek aku hanya sekedar mengingatkan, kemarin adek puasa nggak?

“Puasa kak” jawabnya.

Begini.. .sebenarnya apa tujuan berpuasa? Karena perintah berpuasa adalah perintah bagi orang yang beriman, maka penjelasannya memakai sudut pandang agama Islam. Dengan jelas disebutkan bahwa tujuan berpuasa adalah untuk menjadi insan yang bertaqwa. Adek tahu ciri-ciri orang bertaqwa?

“Belum begitu ngerti sich kak” katanya.

Coba nanti adek buka baca Al-Qur’an Ali Imron: 134, disitu ada ciri-ciri orang yang bertaqwa  yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.

Maaf yang diberikan kepada siapapun walaupun orang tersebut tidaklah layak untuk mendapatkan maaf dari kita. Ini pastinya berat untuk kita apalagi jikalau orang itu sering sekali berbuat kesalahan atau kesalahannya sangat berat.
Apakah budaya saling memaafkan itu akan tetap lestari? *

[Aris Yulianto]

Share
Leave a comment