Dari Omnibus Law ke Omnibus “Happy” Law

TRANSINDONESIA.CO – By: Muhammad Joni

Pantarhei! Every think flows. Semua berubah kecuali perubahan itu sendiri. Pas seperti air sungai deras mengalir. Bening air di hulu jangan dibuat keruh tiba di hilir. Legislasi RUU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law yang mengamandemen jamak  Undang-undang (UU) dalam satu UU, tak terbantah sebagai riil perubahan politik hukum yang tidak biasa. Omnibus Law bukan metode legislasi UU yang mudah. Namun soal hukum yang paling runyam  sekali pun, bisa  renyah dengan tamsil yang akurat.

Omnibus Law itu bagaikan air sungai yang deras mengalir. Yang hendak menerobos sekat. Yang menyingkirkan ragam aral menyumbat. Melempangkan aturan formil yang berkelok dan zigzag, yang acap saling menegasikan.Metode Omnibus Law menyingkirkan hukum yang tidak efektif.

RUU Cipta Kerja itu menelusuri badan sungai, mengenangi hamparan lahan kering, menelusup  lekuk dan celah tanah yang kurang nutrisi dan gizi alami. Luapannya meluas. Jangkauannya menjauh. Derasnya bertenaga. Walau waspada pada cuaca, jangan pula airnya menghantam ekosistem danau  kecil yang damai dan panoramanya permai –yang menjadi tumpuan harapan penduduk lokal  mencari ikan untuk kebutuhan pangan. Yang kandungan airnya tidak keruh, bebas dari serangan runtuhan  pohon dan potongan kayu akibat perambahan  liar di hulu. Tetapi air yang jernih mengalir terkelola rapih. Analog air mutlaq, yakni air yang suci lagi menyucikan dalam pelajaran bab air dan istinjak –saat saya madrasah ibtidaiyah.

Siapakah  menikmati maslahat jernihnya RUU Cipta Kerjayang  dirancang mengubah 79 UU,  dan mengamanatkan 516 peraturan delegasi, yakni 493 Peraturan Pemerintah (PP), 19 Peraturan Presiden (Perpres), 4 peraturan daerah, jika merujuk keterangan PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan).

Akankah mengurangi drastis jumlah dan diet Peraturan Menteri? Yang tercatat  berjumlah 680 (tahun 2019), 1381 (tahun 2018), 1531 (tahun 2017), 1732 (tahun 2016), 1706 (tahun 2015), 1744 (tahun 2014),…., 524 (tahun 2009) –mengutip artikel Helmi Chandra SY, ‘Penataan Peraturan Menteri sebagai Upaya Reformasi Regulasi di Indonesia’ dalam Prosiding bertitel ‘Menggagas Arah Kebijakan Reformasi Regulasi di Indonesia’.

Pembaca yang bersemangat. Omnibus Law aktual sebagai  keadaan perubahan hukum (law in change). Kua-tiori, hukum yang aktual bergerak dari Law in Book yang mustinya menjadi Law in Action. Walau keduanya tak selalu kongruen pun berhampiran sehingga lazim dilakukan  perubahan, walau masih dilakukan amandemen yang parsial dan sektoral.

Penting dipastikan, jangan sampai RUU Cipta Kerja hanya tambal sulam skala besar  yang berlabel  Omnibus Law karena  gagal menjawab UU sebagai suatu sistem menyeluruh (a whole system). Bukan hanya mengakur-akurkan norma, namun konsistensi asas/prinsip dan menjamin  hak-hak konstitusional. Bukankah konstitusi adalah the law of making laws.

Perubahan sosial dengan menggunakan perubahan hukum, apalagi dalam derajat “sapu jagat” dengan aliran  debit air yang besar bertitelkan Omnibus Law, patut menjadi sorotan kuat masyarakat. Sekali lagi, patut menjadi diskursus mencerdaskan dalam negara hukum yang demokratis. Tepat bahkan wajib menyuburkan partisipasi publik yang disebut Habermas dan Hannah Arrent dengan ruang publik (public sphere; offentlichkeit). Apalagi jika demi cipta  kerja yang analog hak konstitusional atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Yang analog hak konstitusional atas kesejahteraan lahir batin, hak konstiusional bertempat tinggal, hak konstitusional atas hak asasi manusia (HAM).

Apalagi RUU Cipta Kerja itu  adalah katup dan kenop perubahan skala omniun yang jika  disahkan menjadi  UU, pasti  berdenyut kencang pada “jantung” kepentingan publik. Yang berdampak langsung pada  penggunanya: rakyat! Ya.., rakyat yang notabene pemilik kedaulatan (constituent power), vide Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Dari materi muatan RUU Cipta Kerja perlu dijamin agar tidak  melulu mengabdi Ease of Doing Business (EoDB).Bukankah ingredientkonstitusi menjadi pisau analisa sekaligus  rujukan utama RUU Cipta Kerja untuk melindungi constituent power, yang prosesnya prioritas dan bermetode Omnibus Law.Opini ini menawarkan   pisau analisis “trias politica baru”: negara (state), pasar (market) dan rakyat/ masyarakat (peoples/civil society).

Untuk  memeriksa kemana arah bandul kuasa negara (state) hendak bergerak? Lebih condong kepada  kemudahan berusaha alias market driven atau peoples rights? Bagaimana harmoni RUU Cipta Kerja menyeimbangkannya.
Opini ini menggunakan  analisis hukum kritis yang berupaya meredakan syak wasangka pada perubahan. Yang berupaya memeriksa  pasal-pasal RUU Cipta Kerja utamanya paragraf  perumahan rakyat dalam hal  misalnya perlindungan konsumen perumahan/properti, perluasan  tugas dan wewenang, serta kewajiban pemerintah/pemerintah daerah (pemda) perihal  perumahan rakyat sebagai dirijen segenap pelaku kepentingan. Mengokohkan Government’s Lead.
Sampailah pada klarifikasi kritis RUU Cipta Kerja paragraf 9 bertitel Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang mencakup hanya 4 (empat) UU saja: UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP),  UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun), dan UU No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumberdaya Air yang masih “wangi” dan “kinclong”?

Mengapa kluster PUPR hanya 4 UU yang di-Omnibus Law-kan? Tepatkah diagnosis paragraf  9  PUPR hanya pada 4 UU itu? Bagaimana UU Pemda, UU Bangunan Gedung?
Soal kritis lain, mengapa menghapuskan  pasal syarat keterbangunan 20% melakukan perjanjian pendahuluan Pasal 42 ayat 2 huruf e UU PKP,  maupun perjanjian pendahuluan versi Pasal 43 ayat (2) huruf d UU Rusun? Mengapa pasal 54 ikhwal kewajiban pemerintah dan pemda memberikan bantuan dan kemudahan, tidak hendak diperluas?

Mengapa tidak menyinkronkan UU PKP dan UU Rusun dengan UU Pemda –yang masih menegasikan pemda dari urusan konkuren pembangunan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)?

Mengapa menghapus pasal 30 UU Rusun yang  mewajibkan pengesahan pemda tentang pertelaan yang menunjukkan batas jelas setiap satuan rusun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama?

Mengapa tidak menjawab putusan MK yang membatalkan ketentuan Pasal  22 ayat (3) UU PKP yang mengatur luas lantai rumah tunggal dan rumah deret?

Mengapa menghapuskan  persyaratan teknis, administratif, tata ruang, dan ekologis dalam perencanaan dan perancangan rumah yang eksplisist dalam pasal 26 UU PKP?

Mengapa menghapuskan persyaratan Prasarana, Sarana dan Utilitas umum (PSU) dalam Pasal 29 UU PKP, yang diganti yang berarti di-downgrade hanya Standar (NSPK) yang belum didefenisikan normanya?

Pun, dari perubahan pasal 26 dan pasal 29 itu justru memberi ciri Omnibus Law sebagai RUU yang menurunkan derajat materi muatan UU PKP menjadi  norma PP saja. Juga, adanya ciri dan tendensi sentralisasi wewenang pemerintah pusat  yang semula Perda dan Peraturan Menteri (Permen) menjadi PP. Semula overload Permen yang hanya beleid-regel menjadi overload PP  –yang urusan, tugas dan wewenangnya belum tentu melekat pada Kementerian.

Akankah ciri dan tendensi ini bermuara RUU Kepresidenan? Tidakkah kondisi ini akan menyisihkan urusan konkuren Pemerintah pusat cq. Kementerian/Lembaga dalam UU Pemda? Pun postulat saya,  Standar(NSPK) itu mensyaratkan clean and good governance, dan kompetensi profesi dalam derjat yang tinggi.

Pun, mengapa tiada pasal baru mengoptimalisasi pembiayaan perumahan yang masih melulu berbasis perbankan. Jika hendak menjawab defisit perumahan MBR dalam skala nasional, mengapa  aturan hunian berimbang tidak satu hamparan  dalam  Pasal 36 UU PKP tidak diubah juncto di-Omnibus Law-kan sebagai strategi nasional dan tidak dibatasi hanya pada satu kabupaten ataupun kabupaten/kota yang berbatasan saja?

Mengapa tidak menambah pasal baru yang  memperkuat perlindungan konsumen/MBR yang meruyak sebagai kasus-kasus konflik konsumen perumahan/ properti,  yang tak jarang sampai ke meja Menteri?  Cermati pasal  40 UU PKP  yang menormakan public developer  namun  belum efektif hingga kini, mengapa pasal itu tidak di-Omnibus Law-kan?

Asumsi patik, ada jamak kekeliruan diagnosa ikhwal paragraf perumahan rakyat sehingga belum menjawab kekosongan hukum. Idealnya,  RUU Cipta Kerja menjawab segenap soal aktual dan meningkatkan standar capaian kesejahteraan perumahan rakyat, tak hanya penyediaan perumahan.

Selain kepastian dan keadilan, tujuan hukum adalah kemanfaatan: kebahagian sebesar-besarnya bagi orang sebanyaknya. Rujukannya? Hak konstitusional dalam UUD 1945:  hak bertempat tinggal (Pasal 28H ayat 1), perlindungan HAM yang menjadi tanggungjawab negara terutama pemerintah (Pasal 28I ayat 4), dalam bingkai negara demokrasi konstitusional(Pasal 1 ayat 2). Untuk kebahagian rakyat yang merupakan constituent power. Mengurangi apalagi menihilkannya bagaikan tubuh yang melunglai-terkulai. Ibarat smart phone yang padam kehabisan tenaga.

Ikhtiar konstitusional itu patut didorong bak tenaga air mengalir yang mineralnya mengemburkan lahan bagi kemaslahatan.
Bagaikan air mutlaq yang suci dan menyucikan.Ijinkan  paragraf  penutup  opini ini membayangkan omnibus law cipta bahagia bagi sebanyak-banyak rakyat menuju Indonesia Emas. Dari  Omnibus Law kepada  Omnibus “Happy” Law. Tabik.

Muhammad Joni, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Managing Partner Joni & Tanamas Law Office

Share
Leave a comment