Premanisme: Memalukan atau Kebanggaan?

TRANSINDONESIA.CO – Viralnya film tentang parkir dan keluar masuk di Tanah Abang membuat miris dan malu ibu kota kebanggaan bangsa. Ternyata masih ada premanisme di sana.

Nampaknya sepele, namun hal tersebut menunjukkan puncak gunung es yang merefleksikan adanya sesuatu power yang lebih besar di belakangnya. Segala sesuatu tidk tiba tiba. Hubungan sebab akibat masih berlaku, lampu menyala karena ada listriknya demikian halnya premanisme.

Premanisme merupakan cara cara preman yang kontra produktif, berdampak buruk dan mendapat label atau citra negatif.

Makna premanisme mungkin beragam, namun setidaknya ada hal yang sama adalah kekerasan atau ancaman kelerasan yang membuat kliennya terpaksa atau mau tidak mau menuruti kehendaknya. Bisa juga dikatakan mendapatkan hasil dari memeras atau terima suap atau bermain dengan hal hal yang ilegal.

Bagi hidup dan kehidupan sosial, preman biasanya dipelihara atau diberi ruang untuk tetap ada dan hidup karena digunakan untuk mendukung status quo atau para kaum di zona nyaman. Kaum kaum karbitan akan ketakutan dan enggan atau malas diajak waras. Mereka sarat dengan model koordinator pungli meraup keuntungan dengan memghisap keringat orang lain.

Preman ada, kalau tidak dipelihara atau ada kerja sama atau mungkin kekuatan yang normatif atau yang legal tidak lagi mampu mengontrolnya. Preman di pinghir jalan sebatas recehan namun mengerikan, dampaknya membuat tiadanya rasa aman. Premanisme dalm birokrasi lebih mengerikan lagi semua kebijakan dan anggaran bisa disedotnya habis-habisan rakyat kembali menjadi korban.

Biang premanisme adalah adanya core value, hutang budi atau tiadanya prestasi dan tatkala sudah merambah dalam birokrasi maka pendekatan personal inilah yang dibangga-banggakan. Buluh bekti glondong pangareng areng sungkeman atau upeti sistem setor dan banyak lagi terus meraja lela. Kekerasan fisik dan simbolik ada di mana mana.

Preman jalanan refleksi preman birokrasi? Bisa jadi demikian. Memalukan atau kebanggaan monggo menjadi bahan untuk kita renungkan diteruskan atau dihentikan?

[Chryshnanda Dwilaksana]

Share
Leave a comment