Ekonom Khawatirkan Motor Penggerak Ekonomi 2020

TRANSINDONESIA.CO – Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menilai, pergeseran fokus pemerintah terkait motor penggerak pertumbuhan ekonomi tahun depan merupakan pergerakan yang mengkhawatirkan. Pemerintah akan berharap banyak pada konsumsi dan investasi pada tahun depan, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang condong pada ekspor dan investasi.

Kecemasan Pulungan didasari atas tiga hal. Pertama, ekspor masih menjadi sumber utama penerimaan negara melalui ekspor komoditas seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) dan batubara. “Porsi keduanya rata-rata sekitar 25 persen dari nilai ekspor nonmigas,” ujarnya ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Sabtu (17/8).

Faktor kedua, Pulungan menambahkan, ekspor menjadi sumber utama devisa untuk pembiayaan transaksi luar negeri, yakni pembayaran utang swasta, pemerintah dan impor. Ketiga, defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan akan terus membengkak. Sebab, tidak ada terobosan menggenjot ekspor.

Terlepas dari itu, Pulungan menilai, kebijakan pemerintah untuk menggeser motor pertumbuhan ekonomi dikarenakan faktor eksternal. Pemerintah masih melihat ekonomi global sebagai tantangan besar terhadap pertumbuhan ekonomi tahun depan khususnya, karena perang dagang yang belum berakhir.

“Dampak ekonomi global memang cukup terasa bagi Indonesia. Terutama pada neraca dagang dan trasaksi berjalan,” ujar Pulungan.

Tapi Pergeseran motor pertumbuhan ekonomi tersebut disebutkan Pulungan sebagai bentuk ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi gejolak global. Banyak pekerjaan rumah yang tidak tuntas. Misalnya, dominasi struktur ekspor komoditas hingga struktur pasar ekspor ke negara-negara tradisional.

Pulungan menekankan, sudah seharusnya investasi didorong ke industri-industri berorientasi ekspor, sehingga memiliki nilai tambah yang besar bagi ekonomi. Hal ini sangat sulit mengingat Penanaman Modal Asing (PMA) cenderung bergerak ke sektor-sektor tersier. Tren tersebut sejalan dengan boomingnya investasi pada jasa, terutama berhubungan dengan teknologi dan keuangan.

Di sisi lain, Pulungan menjelaskan, industri Indonesia masih sangat bergantung pada impor bahan baku. “Dampaknya, produk kita relatif lebih mahal dibandingkan barang yang sama di luar negeri,” katanya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan asumsi ekonomi makro pada 2020 di hadapan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat  (DPR), Jumat (16/8) siang. Asumsi tersebut mencakup pertumbuhan ekonomi dan inflasi, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP), target lifting minyak dan gas bumi.

Dalam asumsi makro tersebut, Jokowi menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 ditargetkan berada pada tingkat 5,3 persen. Konsumsi dan investasi diharapkan dapat menjadi dua motor penggerak utamanya. “Inflasi akan tetap dijaga rendah pada tingkat 3,1 persen untuk mendukung daya beli masyarakat,” ujarnya.[ROL]

Share
Leave a comment