Kota Baru “Tak Bertuan” Milik Siapa? [Bag-3]

TRANSINDONESIA.CO – Redefenisi Fungsi Sosial Tanah ; Kota baru mandiri membutuhkan ijin-ijin dari  Pemerintah/Pemda, itu soal mustahak.

Namun, kehadiran Pemerinah/Pemda tidak berakhir dengan hanya menerbitkan ijin-ijin, seperti membangun properti atau realestate lainnya. Mengapa? Karena ada anasir publik dalam suatau kota. Ada anasir tanah dalam membangun kota, dimana tanah mempunyai fungsi sosial.

Kota baru mandiri yang dibangun pengembang swasta,  yang terdiri  atas ragam benda properti dan produk realestate lain, apakah perlakuannya hanya dalam lingkup relasi perdata saja?  Akankah pemasaran dan penjualan properti, apakah itu rumah tapak (landed house), apartemen dan gedung perkantoran vertikal menjulang, commercial bussines district (CBD) dan varian lain,  hanya dianggap relasi perdata biasa. Hanya konsensualitas pengembang dengan pembeli.

Muhammad Joni

Tentu saja tidak. Jika posisi strategis tanah, air dan ruang angkasa, dalam takrif UUPA masih dianut, dimana ada fungsi sosial di dalamnya, maka kepentingan publik dan perlindungan publik musti menjadi anasir penting. Artinya, tugas dan kehadiran Pemerintah dan Pemda tak hanya sekadar memeriksa, menilai dan meloloskan serta mengontrol ijin-ijin yang diberikan membangun kota baru.

Maksudnya? Pemerintah musti memastikan kepentingan publik dan fungsi sosial kota baru dibawah tanggungjawab Pemerintah dan/atau Pemda. Kepentingan publik, termasuk kepentingan masyarakat atau komunitas tempat berada dan sekitar tanah hendak dibangun kota baru.

Acapkali, pembangunan kota baru yang mengubah bentang alam menjadi molek sehingga seakan kota dibangun hanya pemolekan, penyamanan,  dan pemoderenan kawasan dengan label semisal green city ataupun beautifull metropolitan city,  namun abai dengan jurus membangun kota baru  yang  inheren meningkatkan kesejahteraan komunitas pemilik asal tanah, sebut saja misalnya empowerment city.  Justru yang acapkali terjadi adalah penyingkiran struktural warga setempat pemilik asal tanah dengan serbuan warga penghuni baru akibat  pembangunan kota baru mandiri sebagai picunya. Lihatlah fenomena “kampung terjepit” yang masih berhampiran dengan kawasan perumahan skala besar dan kota baru.

Siapakah warga baru penghuni kota baru? Mari periksa. Kuat dugaan,  penghuni baru kota baru itu aselinya hanya konsumen, baik personal  yang memang mencari hunian, maupun  korporasi yang membutuhkan tempat usaha dan perniagaan atau lokus industrinya. Atau paling-paling investor atau spekulan yang “beternak”  properti dengan  harapan  menangguk eskalasi harga properti pasar sekunder.

[Muhammad Joni,SH,MH: Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]

Share
Leave a comment