Strategi Amerika Gagal di Laut China Selatan

TRANSINDONESIA.CO – Menjelang keputusan pengadilan internasional soal klaim kepemilikan Beijng di Laut China Selatan, sejumlah pejabat teras Amerika Serikat sesumbar akan membangun koalisi internasional untuk menghukum China jika negara tersebut tidak mematuhi hasil pengadilan.

Namun hanya dua pekan setelah keputusan tersebut diumumkan pada 12 Juli di Den Haag, strategi tersebut tampaknya menemui kegagalan. Hasil Pengadilan Arbitrase Permanen itu bahkan terancam tidak berguna.

Pada awal tahun ini, Amerika Serikat sering kali mendesak negara-negara Asia-Pasifik dan Uni Eropa untuk mendukung keputusan pengadilan di Den Haag dan membuatnya mengikat secara hukum.

Filipina dan AS melakukan latihan militer bersama di dekat kepulauan yang disengketakan di Laut China selatan, April 2015.(Ap)
Filipina dan AS melakukan latihan militer bersama di dekat kepulauan yang disengketakan di Laut China selatan, April 2015.(Ap)

“Kita harus nyaring menyuarakannya bersama-sama, bahwa ini adalah perkara hukum internasional. Ini adalah hal penting yang mengikat semua pihak,” kata Amy Searight pada Februari lalu saat masih menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan Amerika Serikat untuk wilayah Asia Tenggara dan Selatan.

Lalu pada April, wakil Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan reputasi China akan hancur berantakan jika tidak mematuhi hasil di Den Haag.

Amerika Serikat sendiri secara terbuka mendukung langkah Filipina untuk mengajukan ke pengadilan arbitrase soal sengketa Laut China Selatan–salah satu jalur perdagangan paling sibuk di dunia yang 85 persen wilayahnya diklaim oleh Beijing.

Namun setelah kemenangan Filipina dalam kasus tersebut, hanya enam negara yang bergabung dengan Washington untuk menyuarakan status mengikat keputusan pengadilan.

Bahkan beberapa negara yang juga turut bersengketa dengan China tidak pernah terang-terangan mendukung langkah Amerika Serikat.

China juga memperoleh kemenangan diplomatik pada awal pekan ini, saat negara-negara ASEAN membatalakan penyebutan keputusan di Den Haag dalam pernyataan bersama mereka. Pembatalan itu disebabkan oleh Kamboja, sekutu dekat China, yang mengajukan keberatan.

Lalu pada 15 Juli, Uni Eropa menyatakan bahwa mereka telah menimbang keputusan di Den Haag, namun tampaknya sengaja menghindari penyebutan langsung China maupun desakan untuk membuatnya mengikat secara hukum.

Pada Rabu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry menegaskan bahwa absennya penyebutan keputusan di Den Haag dalam komunike ASEAN tidak mengurangi pentingnya hal tersebut.

Bagi Kerry, “tidak mungkin” hasil pengadilan internasional menjadi tidak relevan karena mengikat secara hukum.

Namun sejumlah analis justru menyatakan sebaliknya karena kegagalan Washington menekan sekutunya untuk mendukung ketetapan Den Haag.

“Kasus ini berisiko hanya menjadi catatan kaki karena tidak mempunyai dampak sekuat yang diharapkan komunitas internasional,” kata Greg Poling, pakar Laut China Selatan di lembaga CSIS.

“Dan komunitas internasional sudah memilih untuk tetap diam. Mereka seperti menyatakan ‘kami tidak peduli. Kami tidak ingin menuntut China mematuhinya’,” kata dia.

Sementara itu Dean Cheng, pakar China di lembaga Heritage Foundation, menduga Washington terlalu hati-hati untuk bersikap keras terhadap Beijing–sekutu dalam perdagangan namun rival dalam politik–hanya beberapa bulan menjelang berakhirnya masa kepresidenan Barack Obama.

“Di satu sisi, China mengerahkan semua sumber daya di Laut China Selatan, baik secara fisik, politik, maupun diplomatik. Sementara di sisi lain, Amerika Serikat menahan diri mengimbanginya,” kata Cheng.[Ant/Fen]

Share
Leave a comment