Ayat Perumahan Rakyat [4]: Harkat dan Identitas

TRANSINDONESIA.CO – Bertempat tinggal adalah takdir manusia. Karenanya manusia selain makhluk sosial dan makhluk ekonomi, juga makhluk bermukim. Rumah sebagai bentuk fisik tempat tinggal tak hanya atap, lantai dan dinding, namun perlu lingkungan yang sehat dan layak huni.

Sebagai kebutuhan dasar manusia, pangan, sandang dan papan, maka negara wajib hadir menyahuti itu.

Tulisan “Ayat Perumahan Rakyat” ini akan memuat 10 serial mengulas ikhwal alasan pentingnya perumahan rakyat.

Skala masalah perumahan rakyat yang luas dan kompleks tentu tak bisa diulas sempurna, namun 10 seri tulisan ini menyajikan sebagian dari kompleksitas isu perumahan rakyat. Ibarat undang-undang, seri tulisan ini hanya satu ayat saja “Ayat Perumahan Rakyat” yang diulas oleh penulis Muhammad Joni, secara lugas dan berani kepasa majelis pembaca TransIndonesia.co.

Manusia gerobak di Jakarta.[Dok]
Manusia gerobak di Jakarta.[Dok]
Harkat dan Identitas

Jamaah pembaca yang budiman. Jika anda warga yang menetap di permukiman atau alamat tertentu, tentu pernah didata atau dicatatkan otoritas pemerintah kota. Mengisi kolom nama, dan acap diikuti kolom alamat tempat tinggal.

Disadari atau tidak, telah terkonsepsi bahwa nama (orang) senanantiasa terkait satu kesatuan dengan tempat tinggal. Nama  sebagai identitas dan tempat tinggal sebagai tempat berlindung membina keluarga, terbukti  saling bertemali tak terpisahkan. Rumah tempat menetap satu tarikan nafas dengan identitas orang. Rumah adalah identitas.

Secara filosofis pengakuan hunian tempat tinggal bertemali dengan  identitas diakui dalam konsideran UU Nomor 1 Tahun 2011 yang memakai frasa “berjatidiri”.

Mengacu itu, tidak semestinya  warga  dibiarkan menjadi tuna wisma (homeless), tanpa  tempat tinggal,  penghuni tetap kolong jembatan,  bahkan  fenomena “manusia gerobak” yang tinggal di kota bergerak mencari nafkah sebagai pemulug dan tinggal degan gerobaknya.  Fenomena “manusia gerobak”  itu krisis identitas dan menciderai harkat, yang menurut pendekatan sosial diidentifikasi sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).

Mengapa identitas? Tanpa tempat tinggal, maka  tidak ada pengakuan atas identitas orang pada otoritas kota, misalnya atas jeminan sosial, data kependudukan,  dan pelayanan publik lain. Selanjutnya menurunkan harkat sebagai manusia.

Fakta dan kondisi di atas menjadi alasan mengapa isu perumahan rakyat bukan hanya kekuranga rumah (backlog) namun bertemali dengan  isu rumah tidak layak huni, dan kawasan permukiman kumuh. Variannya bisa beragam di lapangan, seperti halnya fenomena “manusia gerobak”, kawasan padat penduduk, dan sebagainya.

Joko Widodo saat menyapa orang pinggiran yang tinggal dipinggir kali kini sudah tergusur.[Mdk]
Joko Widodo saat menyapa orang pinggiran yang tinggal dipinggir kali kini sudah tergusur.[Mdk]
Apa kabar Kota?

Siapa bilang Jakarta bukan kota metropolitan? Akankah Jakarta sudah layak dihuni untuk semua warga? Walaupun rumah adalah kebutuhan dasar, namun menempati rumah tidak hanya sekadar menghuni rumah, akan tetapi  rumah yang layak dihuni dan manusiawi. Notoir feiten, ternyata Metropolitan Jakarta masih bertemali dengan kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni.

Pada  Hari Habitat tahun 2012, saya menulis ihwal  tema  “Kota Besar Kumuh!”, bahwa  habitat adalah tempat terdekat manusia. Terkuaknya kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni itu, merupakan bagian tidak terpisahkan permasalah perumahan dan permukiman yang masih  membelenggu kota-kota besar.

Bagaimana keadaan kota dengan kekumuhan?  Menurut data, 23% warga kota tinggal di permukiman kumuh.  Kawasan Asia adalah penyumbang terbesar penduduk kumuh, yakni 504,2 juta jiwa. Di Indonesia, luas kawasan kumuh nasional 57.800 hektar, dengan pertambahan kantong-kantong permukiman kumuh di perkotaan.

Hasil penelitan  United Nations Development Programme (UNDP), mengindikasikan terjadinya perluasan permukiman kumuh mencapai 1,37%  setiap tahunnya.  Tahun 2009  luas  permukiman kumuh 57.800 Ha, meningkat dari 54.000 Ha di tahun 2004 (Majalah “Inforum”, Kementerian Perumahan Rakyat, Edisi 1/2010, hal. 7).

Diperkirakan penduduk di permukiman kumuh meningkat mencapai 889 juta jiwa pada tahun 2020. (Majalah HUD Mag, Edisi 4, 2013,  “Permukiman Terkumuh Dunia”, hal.74).

Apa skenario mengatasinya?  Berdasarkan “Rancangan Skenario Pembangunan PKP Tahun 2015-2019” yang diterbitkan Kementerian Perumahan Rakyat, diperoleh berbagai upaya untuk mengatasi kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni.

Upaya yang dilakukan adalah program pencegahan dan peningkatan kualitas rumah tidak layak huni (RTLH) serta Kumuh. Pemerintah Propinsi melakukan   koordinasi, pengawasan dan pengendalian dalam pencegahan kumuh. Sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota: Peningkatan kualitas melalui pemugaran, peremajaan dan permukiman kembali.

Pada era pemerintahan Presiden Ir. Joko Widodo, pemerintah melalui kebijakan Slum Alleviation Policy and Action Plan mencanangkan Program Penanganan Permukiman Kumuh Nasional 2015-2019 dengan mengalokasikan Rp.384 triliun.

Dana besar itu diperoleh dari komposisi 20% APBN, sisanya dari APBD, dana tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) dan masyarakat. Targetnya “menolpersenkan” permukiman kumuh dan memaksimalkan fungsi air minum dan sanitasi layak. (Bisnis Indonesia, “Permukiman Kumuh – Penanganan Butuh Rp384 triliun”,    23 Desember 2014, hal.26).

Pemerintah  sudah memulai. Diwartakan, Pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 6 triliun untuk menangani permukiman kumuh tahun 2015 untuk membenahi 6000 Ha kawasan kumuh. Guna  mengejar pencapaian target 0 persen kawasan kumuh di Tanah Air pada 2019.

Pemerintah lewat  data Direktorat Jenderal Cipta Karya menunjuk data  masih tersisa 12 persen kawasan kumuh di seluruh Indonesia atau hanya sekitar 38.487 hektare yang belum tertangani. Namun Pemerintah mesti mendata ulang sebaran kawasan kumuh,  baik data spasial, maupun  numerik untuk memastikan intervensi kumuh dalam  target nol persen.

Anggaran yang  dialokasi anggaran   untuk penanganan permukiman kumuh saja  sebesar Rp 1-1,5 miliar per hektare. Tidak  termasuk akses terhadap air minum, sanitasi, drainase, dan keteraturan bangunan, yang juga menjadi indikator lain untuk menilai kekumuhan.

Masalah  kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni tidak terlepas dengan pola penguasaan tanah. Bisa jadi penguasaan tidak tanpa legalitas, dimiliki namun belum didaftarkan (sertifikasi), atau memiliki dan menguasai luas lahan yang sempit dan tidak beraturan.

Sehingga tidak terlepas dari kebijakan  pemerintah mengenai  penataan ruang dan pola penguasan tanah dalam mengatasi  kekumuhan kawasan permukiman.  Disinilah tingkat kesulitan membenahi kawasan permukiman kumuh di perkotaan.

Lebih dari itu, perlu kepastian adanya integrasi dan sinkronisasi antara program mengentasan kawasan kumuh dengan perogram perumahan rakyat itu sendiri, yang tidak hanya mempertimbangkan infrastruktur fisik.

Secara konseptual penanganan permukiman kumuh tidak hanya  mengiringnya pindah ke penempatan  baru yang  mencerabut warga  dari identitas,  lingkungan sosial, budaya dan tentu saja lingkungan pekerjaan.

Warga yang tinggal di kawasan kumuh dan tidak layak huni, solusinya tidak melulun dan tunggal hanya  dipindahkan penempatannya pada permukiman baru sama sekali, bahkan dengan kultur yang baru sama sekali.

Merancang perbaikan kawasan atau “bedah kampung” dengan konsolidasi tanah (land consolidation) alternatif yang lebih menguntungkan warga, dan sekaligus menghindari “penyaringan”  sistematis mereka dari lingkungannya sendiri. Tepat jika  dilakukan bedah kamung, yang tidak mengusir warga dari lingkungan sosial, are kegiatan ekonomi, penguasaan tanah dan ruangnya.

Jika demikian maka mengatasi kawasan kumuh tidak hanya membawa warga ke perumahan formal dan menafikan potensi keswadayaan mereka. Tentunya tidak dibiarkan tanpa perencanaan, asistensi  dan  suvervisi  agar tidak seakan hanya program “bantuan sosial” pengentasan kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni.

Tepat jika HUD Institute mendorong lebih kuat  pembangunan rumah swadaya atau rumah swakarsa berbasis komunitas sebagaimana  (Kompas, “Bantuan Perumahan Swadaya Dilanjutkan”, Selasa, 26 Januari 2016, hal. 18).

Semestinya program rumah swadaya itu dikaitkan dengan dan berbasis  komunitas. Yakni,  melibatkan komunitas dalam perencanaan dan penyelenggaraan serta pengendaliannya.  Komunitas bisa berperan utama meremajakan permukiman kumuh.

Ayat Perumahan Rakyat yang hendak dikemukan pada seri ke-4 ini, bahwa  rumah sebagai hunian tempat tinggal bertemali dengan  identitas, hal mana diakui  dalam konsideran UU Nomor 1 Tahun 2011.

Menyediakan rumah tempat tinggal adalah untuk membangun manusia Indonesia yang  “berjatidiri”. Meneguhkan identitas dan sekaligus mengangkat harkat manusia Indonesia.

Oleh: Muhammad Joni [Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute]

Share
Leave a comment