Ndleyo

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Kata ndleyo sekarang ini jarang didengar bahkan banyak dikalangan anak-anak muda sudah tidak lagi memahmi makan kata ndleyo.

Ndleyo dapat dimaknai sebagai bentuk penyimpangan yang sengaja dilakukan oleh para aparat pemegang kekuasaan.

Makna sengaja melakukan penyimpangan inilah yang sebenarnya menjadi suatu kata kunci bagi sulit untuk memperbaiki dan sulit membangun dan hampir-hampir dapat dipastikan memberi bom waktu untuk dimasa depan.

Bisa dibayangkan kalau penjaga rumah malah menggerogoti atau mencuri di rumah yang dijaganya.

Pagar makan tanaman. Aparat-aparat itu sebenarnya adalah untuk melayani rakyatnya. Memotivasi, memberdayakan bahkan semestinya bisa menjadi marketer bagi produk rakyat.

Perhatikan saja, apa jasa dari para aparat bagi rakyatnya? Hampir semua pelayanan-pelayanan kepada publik berkualitas rendah.

Apalagi pelayanan-pelayanan yang sifatnya gratis, dapat dipastikan kumuh, panas, berbelit-belit dan tidak jelas.

Disinilah kata ndleyo menandai bahwa suatu ketidak warasan, atau suatu ketololan yang dipamerkan dan ditumbuh kembangkan.

Menyedihkan memang bagai pejabaat yang lali ora kathokn, kothar kather pamer aurat yang semestinya tidak di ler dimana-mana.

Penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan oleh para aparat sering dianggap sebagai hal yang biasa, dan wajar bahkan dijadikan kebanggaan.

Orang-orang yang ndleyo ini yang disukai oleh ndoro-ndoro jancukan. Mereka dianggap orang-orang paling loyal dan top markotop karena mampu memberikan buluh bekti glondong pangareng areng kepada ndoro-ndoro yang menjadi patron atau god father.

Ndleyo ini suatu kegilaan dalam birokrasi, yang sebenarnya produk dari diskresi birokrasi. Kebijakan-kebijakan yang bersifat lisan dan diluar sebagai yang seharusnya dianggap sebagai hak prerogatif pimpinnan.

Hal seperti itu menunjukan birokrasi yang patrimonial. Betapa ajaibnya bila dalam suatu negeri yang aparatnya malah menjadi tukang palak rakyatnya, dimana, rakyatnya tidak lagi bisa berbuat apa-apa dan terus menjadi korban.(CDL-Jkt310315)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment