“ART POLICING” PEMOLISIAN DENGAN PENDEKATAN SENI BUDAYA

TRANSINDONESIA.co | Image Polisi bekerja secara umum, pemolisiannya merupakan penjabaran tindakan : preemtif preventif maupun dengan represif sebagai penegak hukum. Kewenangan upaya paksa yang menonjol, terlebih lagi sering di filmkan sebagai sosok yang antagonis dengan upaya paksa seperti: menangkap pelaku kejahatan, mengungkap perkara, mengatur arus lalu lintas, memberhentikan, menggeledah seseorang yang dicurigai sebagai penjahat atau berkaitan denan kejahatan dan sebagainya.

Model pemolisian seperti itu akan lebih mengedepankan pengunaan kewenangan upaya paksa dan memerangi kejahatan. Kebutuhan keamanan dan rasan aman warga masyarakat sering kali ditandai dengan cara-cara reaktif, konvensional, walaupun di satu sisi mampu membangun citra polisi yang positif, namun di sisi lain dapat pula secara kuratif atau temporer.

Dari berbagai hasil kajian tentang model pemolisian yang ditulis para Pakar Kepolisian seperti pada buku comnunity policing karangan David Bayley (New York, Praeger,1988) dan Police for the future (penerjemah: Kunarto, Jakarta: Cipta Manunggal, 1994) dikatakan bahwa model pemolisian yang reaktif dan mengedepankan penegakkan hukum serta memerangi kejahatan tidak menjamin polisi mampu memberikan pelayanan keamanan dan membuat rasa aman warga yang dilayaninya. Bahkan secara ekstrim dikatakan bahwa polisi tidak melakukan pencegahan (Police for the future, Jakarta: Cipta Manunggal, 1994).
Tugas polisi hakekatnya adalah untuk memanusiakan manusia atau semakin manusiawinya manusia. Mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial dan bagi peradaban.

Di era digital tugas Polisi semakin berkembang dan dinamis mengikuti dinamika perubahan masyarakat yang dilayaninya. Pemolisian yang dilaksanakan oleh Polisi tak sebatas yang aktual tetapi juga secara virtual dalam tugas-tugas sosial bahkan kemanusiaan. Dengan demikian keberadaan Polisi diharapkan dapat menjadi bagian dari masyarakat yang dilayaninya yang diterima dan didukung oleh masyarakat. Polisi menjadi petugas yang profesional yang mampu melindungi, mengayomi, melayani yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Menjaga dan membangun keteraturan sosial, serta mendorong produktifitas sehingga mampu mendukung upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. sejalan dengan pemikiran tersebut, Polisi dapat dikatakan sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban, serta pejuang kemanusiaan. Pekerjaan tersebut memang tidak mudah dan memerlukan suatu kemampuan untuk memahami corak masyarakat dan kebudayaan. Pemolisiannya mampu memanusiakan manusia “Melayani dengan hati”.
Melayani dengan hati inilah core dari pemolisian karena dalam kehidupan sosial kemasyarakatan ada nilai-nilai, etika, norma, moral, seni, dan budaya yang hidup tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat. Upaya Polisi dalam pemolisiannya untuk mendekatkan dan mendapat kepercayaan masyarakat yang dilayaninya dapat dilakukan dengan seni dan budaya. Keduanya menjadi roh dalam kehidupan sosial masyarakat yang keberadaannya bertingkat tingkat berdasarkan strata sosialnya.

Seni merupakan bagian dari hidup dan kehidupan untuk menghibur dan sebagai solusi sosial/ pelipur lara. Seni yang merakyat akan di contoh bahkan diikuti dan menjadi tradisi seperti : (1) dangdut, (2) kesenian tradisional (kliwonan, bukak giling, ledhek, jaipongan,jathilan, cokek, ludruk, sintren, lenong, gambang kromong, dan sebagainya), (3) seni lukis (damar kurung, wayang kardus, lukisan sokaraja, lukisan kaca, dan sebagainya), (4) kerajinan (mainan-mainan anak-anak tradisional), dan (5) berbagai lagu khas daerah (jula-juli, langgam, campur sari, dan sebagainya).

Polisi dalam pemolisiannya yang berbasis pada pendekatan seni budaya, polisi dapat mengikis model yang antagonis yang dapat menjadi protagonis. Polisi dalam pemolisiannya menjadi bagian dari kehidupan warga masyarakat yang dilayaninya, yang mampu dan diharapkan menjadi penyejuk hati dan pelipur lara. Polisi dalam pemolisiannya, berbasis seni budaya mampu untuk membangun budaya tertib walau dalam kondisi apa adanya dan tidak mengada-ada, bahkan dalam kondisi berdesak-desakan sambil kerudungan sarungpun rasa berbahagia dan berbangga hati dapat di hayati.

Art policing juga dapat menjadi wadah/ ruang bagi Polisi dan masyarakat untuk bersama-sama menangani konflik yang dapat diterima semua pihak. Hubungan seni budaya dengan pemolisian bukanlah seperti minyak dengan air melainkan bagian yang menyatu dan saling mempengaruhi. Pemolisian yang dalam implementasinya berbasis seni dan budaya akan lebih memanusiakan manusia.

Disamping itu juga mendorong upaya untuk membangun peradaban, dan menjaga kehidupan. Bagaimana bisa memanusiakan manusia kalau tidak memahami hal-hal yang humanis? Bagaimana mau membangun peradaban kalau polisinya juga tidak memahami kebudayaan? Bagaimana bisa menjaga kehidupan kalau tidak memahami makna dan isi kehidupan masyarakat yang dilayaninya? Dengan pemahaman seni dan budaya ini pekerjaan-pekerjaan polisi akan semakin humanis. Polisi akan lebih peka dan peduli terhadap hidup dan kehidupan manusia.

Upaya-upaya dalam Polmas (Community Policing) sebagai model pemolisian yang kontemporer menjadi acuan art policing pada tindakan pencegahan, proaktif dan problem solving yang kesemuanya memerlukan komunikasi dan pemahaman akan corak masyarakat dan kebudayaanya.

Tindakan mencegah bukan hanya dengan menampilkan model petugas berseragam dengan bersenjata lengkap di pos atau di daerah rawan. Mencegah adalah tindakan berpikir baik secara manajemen maupun operasional untuk menemukan akar masalah dan solusinya sekaligus.
Implementasi art policing dapat mengacu model community policing yang dapat berbasis wilayah atau area juga dilakukan pada kelompok-kelompok kategorial atau komunitas maupun yang berbasis dampak masalah. Pada kelompok ini polisi bisa masuk dan memahami mereka dari aspek seni dan budaya. Melalui art policing, ungkapan dan simbol-simbol kebudayaan, bahkan uneg-uneg masyarakat dapat dipahami dan di tindak lanjuti oleh Polisi. seringkali digunakan sebagai sebagai sarana propaganda atau dapat ditunggangi dengan berbagai kepentingan, menjadi simbol perlawanan atau bahkan sebagai bentuk civil disobidience (pembangkangan sipil). Sebagai contoh, ludruk adalah kesenian rakyat yang menghibur para pejuang sekaligus simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda. Pemain ludruk hampir semuanya laki-laki. Untuk memerankan tokoh perempuan, mereka rela berganti kostum walau dengan suara yang tetapi menggelegar dan berat. Tokoh Sakerah, pahlawan pujaan mereka, memang sederhana hidupnya walaupun diwarnai dengan minum-minum keras, senang dengan penari-penari tandak (samirah). Akan tetapi, ia dicintai sebagai tokok masyarakat karena membela kejujuran dan kebenaran. Ia tak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda karena menyengsarakan rakyat. Jangan sampai simbol-simbol tadi menjadi bahan ledekan atau perlawanan terhadap aparat yang kejam atau yang tidak humanis karena dianggap menyengsarakan rakyat. Dalam cerita disimbolkan, saat Sakerah dikhianati oleh bangsanya sendiri dan ditangkap Belanda hingga di gantung di alun-alun, dia berteriak, ”Biar satu Sakerah mati. Nanti akan tumbuh sakerah-sakerah yang lain.”

Pendidikan atau pembelajaran pemahaman seni dan budaya kepada calon polisi merupakan upaya transformasi pembinaan dan pengasuhan dalam bidang seni dan budaya akan mengasah hati, pikiran, perkataan dan perbuatannya sebagai petugas polisi . Polisi sering disibukan oleh hal-hal rutin dan seremonial. Pejabat-pejabatnya pun pada berbagai strata sering mengatakan tidak ada waktu, tidak bisa belajar lagi, tidak sempat menulis, dan sebagainya. Sikap ini sebenarnya merupakan refleksi dari budaya organisasi yang memerlukan adanya transformasi menjadi institusi pembelajar.

Tatkala model pemolisiannya konvensional dapat di mungkinkan jauh dari cita rasa humanis dan antagonis. Dengan pola pemolisian yang demikian, maka sebenarnya polisi akan membangun gap antara polisi dengan masyarakat yang dilayaninya semakin jauh.

Seni dan budaya merupakan passion untuk membuka dan mengasah hati nurani, empati, kepedulian, bahkan solidaritas sosial yang humanis.
Polisi dalam pemolisiannya merupakan suatu seni dalam menata keteraturan sosial. Dengan demikian polisi dalam mengimplementasikan pemolisiannya adalah sebagai seniman. Polisi sebagai petugas mampu menjadi sosok pekerja yang terus berkarya untuk semakin manusiawinya manusia. Polisi dan pemolisiannya merupakan bagian dari peradaban karena mendukung masyarakatnya bertahan hidup, tumbuh dan berkembang.
Seni dan budaya hidup, tumbuh dan berkembang merupakan peradaban yang merupakan bagian dari politik. Konteks ini dapat dimaknai bahwa dalam menguasai dan modernisasi seni dan budaya merupakan bagian penting dan mendasar dalam menunjang pembangunan peradaban. Di negara-negara maju, karya seni diapresiasi setinggi-tingginya, dimaknai, dikemas, dibahas dimana-mana, di publikasikan dan dimarketingkan bahkan politikusnya pun aktif berkesenian atau mengikuti berbagai kegiatan kebudayaan.

Art policing dapat di implementasikan dengan memanfaatkan ruang-ruang publik untuk memamerkan, mengekspresikan program-programnya atau produk-produk kebijakannya.
Art policing diharapkan dapat menjadi ikon dan pilar persahabatan dan kedekatan dengan masyarakat. Naluri artistik dan estetik polisi dalam pemolisiannya akan lebih mantap di dalam menata keteraturan sosial.
“Sudahlah apa yang sudah ada ikuti saja, daripada kita disalahkan jangan sampai IMB (Inisatif Membawa Bencana). Polisi itu tidak perlu nyeni. Seni itu bukan ranah kepolisian. Polisi ya polisi titik, tidak perlu ini dan itu, apalagi kok pakai yang seni-seni, tidak perlu itu.”
Sering kita mendengar ungkapan semacam itu, sedihlah hati kita ini, apalagi terucap dari orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi yang berpendidikan dan berpengalaman di dalam maupun di luar negeri.

Polisi merupakan institusi yang dibangun dengan model semi militer. Disiplin, hirarki, penghormatan, loyalitas, kesetiakawanan, baris berbaris, pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan penampilan dan kekuatan fisik, penggunaan upaya paksa, penggunaan senjata api dan bahan peledak, spirit kepahlawanan menjadi pilar-pilar karakternya. Kepolisian sering juga kaku dan seram dengan petugas-petugas yang bertampang angker. Membuat orang yang dipanggil polisi akan sering menjadi “greng”(ada rasa bagaimana …atau bahkan ada rasa ketakutan). Anak-anak kecil yang rewel pun sering diancam atau ditakut-takuti orang tuanya : “awas ada polisi”. Polisi masih hidup saja sudah diasumsikan sebagai hantu bagaimana kalau sudah mati bisa-bisa diasumsikan sebagi hantu belau.

Share
Leave a comment