Guruku Malang Guruku Tersayang

TRANSINDONESIA.CO – Semua sepakat bahwa kemajuan dan keberlangsungan sebuah negri tergantung dari kualitas Pendidikan. Maka populer lah kisah heroik perjuangan guru saat negara Japan hancur lebur akibat ledakan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki. Kebangkitan negara Japan secara cepat karena adanya manajemen Pendidikan dan pengelolaan guru secara efektif dan produktif.

Pada tahun 70 an banyak sekali guru hebat kita yang ditugaskan mengajar di negeri jiran Malaysia dan hasilnya luar biasa negeri Melayu tersebut mengalami kemajuan budaya dan kecerdasan bangsa yang cukup signifikan. Begitu juga dengan negara Thailand dulu belajar pertanian dari Indonesia, dan sekarang Thailand telah menjadi negara yang maju pengelolaan pertaniannya.

Namun ironis dengan negeri Nusantara yang kaya akan sumberdaya alam, praktis tidak banyak perkembangan yang berarti. Saat ini value dari seorang guru lebih dianggap seperti pengajar bimbel yang hanya dibutuhkan untuk mengajar angka nilai UNBK. Capaian dari sisi kualitas seperti karakter dan mental pelajar tidak lah mendapatkan proporsi yang cukup.

Saat ini negara Indonesia baru melihat capaian kuantitas berkaitan kinerja Pendidikan Nasional. Sehingga fokus utamanya melihat hasil kinerja Pendidikan Nasional masih sebatas angka-angka. Program yang dijalankan untuk meningkatkan kinerja Pendidikan Nasional dijalankan dalam tataran capaian kuantitas tanpa dibarengi dengan kualitas yang mumpuni.

Bisa kita chek di lapangan berapa % siswa yang fasih berbahasa Inggris walaupun sudah belajar dari SD hingga SMU.

Salah seorang pemerhati Pendidikan melihat saat ini muncul persepsi bahwa pelajar saat ini moral dan etikanya sangat jauh drai harapan. Mereka sudah kurang hormat kepada gurunya, bahkan terhadap orang tuanya sendiri pelajar saat ini bukan hanya tidak hormat dan bahkan banyak yang berani melawan. Disadari atau tidak saat ini banyak orang tua yang bingung menghadapi buah hatinya karena perilaku yang jauh dari budaya ketimuran yang mana generasi muda akan sangat menghormati yang lebih tua.

Fakta-fakta banyaknya pelajar yang bermasalah yang diakibatkan mental karakter yang rendah sebagian besar diakibatkan pelajar tidak mendapatkan didikan yang maksimal selama dilingkungan rumah. Wali murid sebagian besar menyerahkan urusan Pendidikan buah hatinya kepada sekolahan.

Guru sebagai sosok pengemban amanah Pendidikan dalam kondisi yang sulit, tugas administrasi yang menumpuk serta banyaknya beban materi pelajaran yang harus diberikan sudah sangat menguras energinya.

Disisi lain banyak kondisi kemandirian dan mental karakter pelajar yang jauh dari cukup untuk bisa mengikuti pembelajaran dengan baik. Beberapa kasus diketemukan pelajar lulusan SMP masih belum bisa operasi dasar matematika sederhana. Banyak pula diketemukan pelajar kehilangan barang pribadinya yang menumpuk di sekolahan. Bahkan terkadang dijumpai wali murid yang cenderung membela dan menutupi kondisi buah hatinya karena terdorong rasa sayang yang berlebihan.

Jika zaman dulu ada pelajar yang telat maka guru sangat percaya diri memberikan sanksi untuk mendidikan, namun kini guru serba khawatir jika tindakan itu akan berujung pada proses hukum. Jika dulu ada siswa yang perilakunya tidak sopan, maka guru pada masa lalu sangat bersemangat untuk menjewer siswa tersebut karena rasa sayang agar ada perubahan sikap.

Saya ingat dulu ada siswa yang ditampar oleh guru karena tidak sopan, dan wali murid zaman dulu akan mendukung semua tindakan guru karena memang sepakat bahwa di sekolah adalah tempat untuk menempa pelajar harapan bangsa.

Namun kini dengan berganti-ganti sistem kurikulum, tugas administrasi yang menumpuk, Kekurang pedulian wali murid kepada Pendidikan buah hatinya, pengaruh budaya hedonisme dan pragmatisme telah berdampak besar pada posisi guru yang serba sulit. Banyaknya kasus penganiayaan guru oleh siswa karena teguran di sekolah semakin membuat guru merasa inferior.

Ditambah sebagian besar guru adalah guru honorer yang mana tingkat kesejahteraannya masih jauh dari kecukupan dalam mengikuti perkembangan inflasi, maka memang fakta ini menunjukan posisi guru sangat berat dalam mengemban amanahnya.

Sementara bekal yang dimiliki oleh seorang guru hanyalah ilmu kependidikan yang didapatkannya selama empat atau lima tahun pada perkuliahan dengan metode yang belum mengikuti perubahan zaman yang berkembang begitu cepat.

Guru yang seharusnya menjadi tauladan bagi para pelajar, namun faktanya para guru inipun kehilangan sosok yang akan dijadikan tauladan dalam kehidupannya, baik selama menjalani masa kuliah maupun saat sudah menjadi guru disebuah Lembaga Pendidikan.

Fakta ini bukan isapan jempol belaka, berapa banyak dari para kepala sekolah dan pengawas yang menghisap rokok di sekolahan padahal tahu bahwa sekolah adalah tempat dilarang merokok.

Begitu juga dengan para dosen yang tidak bisa memberikan suri tauladan yang maksimal kepada para mahasiswa yang nantinya akan menjadi guru.

Kondisi yang berat ini memang akan menjadi challenge tersendiri bagi Mendikbud sekarang, apakah mampu atau tidak merubah perilaku para penyelenggara Pendidikan yang akan berdampak pada kualitas proses Pendidikan.

Kecanggihan teknologi tidak akan mampu merubah karakter pelajar jika para guru dan stakehoder yang terlibat masih belum memiliki awareness dan kemampuan yang mumpuni untuk menjalankan kewajibannya.

Pada peringatan hari guru ini, semoga ada kesadaran nasional baik dari wali murid, guru, kepala sekolah, pengawas dan lembaga kementrian Pendidikan Nasional untuk serius meningkatkan kualitas proses Pendidikan tidak hanya pada kuantitas semua yang tidak pernah secara serius meningkatkan kualitas SDM Nasional.

Pendidikan adalah “Build Personal Performance” yaitu proses membangun performansi individu pelajar dan ini semua butuh keseriusan serta tauladan dari semua fihak terutama penyelenggara Pendidikan.

Selamat hari guru, dan banggalah dengan status “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.

[DR. Daduk Merdika Mansur – Praktisi dan Konsultan Pendidikan]

Share