Sahabat-Sahabat yang Menghidup-hidupkan Nyala Api Konstitusi

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Muhammad Joni 

Diinterupsi libur hari raya Aidil Fitri, aktifitas akal bertitel Amicus Curiae (sahabat pengadilan; friends of court) tidak libur mengalir. Let the mind flow like water. Bagai air yang tak terbendung, arus Amicus Curiae membesar. Gemuruhnya bergairah mendatangi institusi ini: Mahkamah Konstitusi (MK), episentrum hukum tertinggi.

Diksi ‘fitri’ memiliki dua makna: suci, dan berbuka. Amicus Curiae (AC) melesat bak meteor dalam diskursus hukum, melewati batasan prosedural-formal sengketa Perhitungan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK.

Ibu Megawati Soekarnoputri mengajukan AC yang dibawa langsung Sekjen PDIP Hasto Kristiyano. Belum berhenti pada pengajuan bu Mega, mengalir pula AC yang diajukan Habib Rizik Shihab, Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia, Indonesian American lawyers Assosiation, dan sederas puluhan pengaju sahabat pengadilan.

“Terbanyak sepanjang sejarah MK, Amicus Curiae PHPU Presiden tahun 2024”. ujar Fajar Laksono, Juru Bicara MK pada situs mkri. Walau batas waktu berakhir, pengajuan AC masih mengalir. Kepaniteraan MK terbuka menerima sahabat pengadilan, yang sampai akhir pekan: 19 April 2024, MK menerima 47 pengajuan Amicus Curiae.

“Ini menunjukkan atensi publik dan masyarakat luas yang ikut memonitor perkara yang ditangani oleh MK”, lanjut Fajar.

Alhasil, atensi pengajuan AC yang melesat begitu berwarna, beredar tak tertahankan bak sang fajar diambang datangnya sinar terang matahari pagi di hari baru.

Jangan sakwasangka AC seakan menjadi pihak dalam sokong-menyokong kepentingan politik mengatasnamakan sahabat pengadilan, buktinya MK tak menolak menerima, walau tenggat waktu terlewat sudah.

Memang, juru bicara MK tak menyebutkan pasti dipertimbangkan, dan bukan pula otoritas juru bicara. Namun AC, menurut Fajar, sejumlah 14 AC diedarkan dan didalami Hakim Konstitusi, pun demikian informasi itu mengonfirmasi bahwa substansi Amicus Brief-nya sudah sampai ke alam pikiran Hakim Konstitusi.

Itu memberi informasi, kesan dan harapan betapa atensi sahabat-sahabat pengadilan juncto mahkamah dalam sengketa PHPU dalam yurisdiksi MK itu tidak sia-sia.

Itu ikhtiar yang wajar, tulus, fitri, dan rekapitulasinya fenomenal. Jika literasi ikhwal AC meluas lebih terbuka lebar lebih meluas lagi, AC itu menjadi fenomena berhukum yang bisa lebih menyala lagi. Fenomena berkonstitusi yang menitipkan asa merawat demokrasi konstitusional (constitutional democracy) dan negara hukum demokratis (democratische rechstaat) kepada MK.

Atensi sahabat-sahabat pengadilan yang menyala, pertanda nyala api demokratisasi milik kita semakin diperkuat lapisan masyarakat sipil (civil society) dan memperkaya edukasi-literasi juncto budaya berkonstitusi dengan pengajuan puluhan AC. Yang berwarna banyak karena diajukan subyek orang dan institusi/ badan hukum yang latarnya beragam. Yang tak lain hendak dipahami menyokong konstitusi dan konstitusionalisme.

Walau AC itu sendiri tidak dikenali dalam hukum acara MK, namun kiranya AC itu ikhtiar yang fitri kepada demokrasi konstitusional. Terbukanya momentum merawat konstitusionalisme. MK-nya satu, namun AC-nya banyak.

Kua-teoritis, masyarakat sipil adalah analog setara negara state). Rakyat itu sendiri adalah pemegang constituen power.

Klop, MK yang saya kenali dan pahami begitu ketat dan terstandar dalam alur proses administrasi dan tercatat dalam setiap jenis dan helai dokumen yang diterimakan dalam perkara konstitusi, maka dapat ditarik takwil sementara bahwa Kepaniteraan MK terbuka dan tidak menolak AC beredar ke dalam “sistem” yurisdiksi MK. Ya.., tentu saja Kepaniteraan MK tidak lepas dari yurisdiksi MK itu sendiri.

Lepas dari apakah menjadi pertimbangan Hakim Konstitusi dan/ atau MK, tentu MK memiliki pertimbangan yang fitri dan terbuka sebagai penafsir final dan “tertinggi” konstitusi, pengawal konstitusi, dan pengawal demokrasi konstitusional itu sediri.

Kiranya, patut merawat gairah atas fenomena menawan AC dan derap misi elegan berkonstitusi subsider bersahabat dengan pengadilan cq. MK.

Apapun asupan gizi dari materi Amicus Brief dalam pengajuan AC itu, kiranya lebih tepat dimaknai ghiroh hendak bersahabat dengan konstitusi. Tentu saja dalam makna konstitusi yang lekat dengan karakter ganda berikut ini: demokrasi konstitusional dan negara hukum demokratis vide Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

Dengan konteks elan konstitusi yang lugas tak hendak bersahabat dengan absolutisme kekuasaan.

Saya kerapkali menambahkan analisa constitutional democracy dan democratisch rechtstaat dalam meracik posita (fundamentum petendi) bahkan menjadikan keduanya batu uji dalam litigasi judicial review ke MK, baik uji formil maupun materil.

Apapun basis tafsirnya, dengan diterimakannya AC ke MK, menjadi asupan bergizi dalam mengaktifasi demokrasi konstitusional, menghidupkan konstitusi, maupun mengembangkan preseden baik mendewasakan hukum acara konstitusi.

Tugas mengawal konstitusi itu berat, biarkan MK mengemban tugas mulia itu demi menghidupkan-hidupkan konstitusi.

Dalam perkembangannya, jamak putusan MK yang menerobos norma UU dan mendewasakan hukum yang hidup (living law), sebut saja ikhwal kebijakan hukum terbuka (open legal policy), Ultra Petitum Partitum, pengujian UU berlaku surut sebelum MK dilahirkan, batas usia tanggungjawab pidana anak, parliamentary treshold 4%, partisipasi bermakna (meaningfull participation). Semuanya, dan lebih banyak lagi, ialah jawaban MK sebagai pengawal konstitusi, pengawal demokrasi, dan penafsir final konstitusi (sole interpreter of constitution) atas cabaran constitutional questions norma UU, termasuk UU Pemilu yang normanya termasuk paling banyak diuji.

Sahabat Konstitusi, Obat Melawan Absolutisme

Di tengah cabaran kepada kelangsungan hidup konstitusi, AC bagaikan sokongan dan atensi kepada MK agar tabah kepada sikapnya yang progresif mengawal konstitusi, menafsir konstitusi, dan –yang tidak kalah pentingnya—menghidup-hidupkan konstitusi itu.

Tentu saja itu dimaksudkan agar konstitusi yang hidup segar bugar, tidak ringkih dan komorbit, bermanfaat bagi rakyat, bangsa, dan negara. Yakni negara yang berkuasa sesuai konstitusi, namun minus absolutisme kekuasaan.

Demi kepentingan utama rakyat sebagai constituent power yang berdaulat, dan demi bangsa yang menjadi konsensualitas dan perekat bersama dalam kontrak sosial bernegara.

Elan konstitusi itu dilahirkan, tumbuh dan berkembang untuk mengatasi kekuasaan yang tidak terbatas (unlimited power). Konstitusi antitesis dari absolutisme. Bukan di ruang hampa dan laboratorium nir-sosial, namun tugas konstitusi bergeliat di ruang kehidupan nyata, yang bergerak, tumbuh dan berkembang menjadi konstitusi yang hidup.

Bahkan di tengah hasrat dan keinginan akrobatik-nir etiks yang hendak membungkam atau membuatnya stagnan.

Sebagaimana hukum untuk manusia yang hidup layak dan bermartabat, bukan hukum hanya untuk hukum, apalagi berisi hukum yang komorbit, ringkih, menua dan menunggu masa menjadi fosil tak berguna.

Konstitusi jangan biarkan stagnan, hanya dokumen aspirasional yang mati, namun konstitusi yang bernyawa, afiat dan bertumbuh lebat yang dedaunnya menaungi warga dengan oksigen dan kesejukan yang diringkaskan dengan metafora living tree constitution.

Banyak perumpamaan untuk mendefenisikan konstitusi, yang muncul sebagai jawaban tirani yang menyingkirkan hak-hak warga yang membenarkan absolutisme dan kekuasaan tidak terbatas (unlimited power).

C.F. Strong mengumpamakan konstitusi dengan organ tubuh manusia yang terdiri dari organ yang berfungi harmonis pada tubuh sehat. Kedudukan konstitusi merupakan hukum tertinggi, yang dalam literatur disebut sebagai supreme law of the land.

Mengikuti ajaran George Jellinek yang acap disajikan dalam kuliah ilmu negara, seumpama tubuh manusia tanpa organ-organnya adalah bukan manusia, maka negara tanpa konstitusi bukan negara melainkan rezim anarki.

Menghidupkan konstitusi sama defenisinya dengan menihilkan anarki kekuasaan. Walau hampir semua negara mempergunakan konstitusi –sebagai hukum tertinggi (constitutie is de hoogste wet; grondwet; grundgesetz) dalam ketatanegaraan—namun menurut Laica Marzuki konstitusi belum tentu konstitusionalisme.

Formalistas negara berkonstitusi belum tentu konkordan dengan konstitusi yang tegak, hidup dan segara bugar dalam persua-an kenyataan sosial politiknya.

Mengambil tamsil organ manusia –sebagai sistem yang sempurna, konstitusi adalah jantung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menentukan kelangsungannya. Jantung sakit, negara pun komorbid dan beresiko tinggi kematian.

Bagir Manan menyebut konteks konstitusi yang hidup itu dengan istilah konstitusi bagaikan otobiografi nasional suatu bangsa berserta cita-cita yang hendak dicapai dan belum terselesaikan.

Mencakup pula keinginan memulai perubahan segar yang hendak dicapai yang disebut K.C Wheare dengan ‘desire to make a fresh start’ sebagai alasan mengapa memerlukan konstitusi.

Bahkan terus menerus menghidupkan dan menyegarkan fungsi keberadaannya sebagai perkembangan hak konstitusional (constitutional rights) dan meninggikan peradaban (civilization).

Untuk konstitusi yang hidup-matinya demi menjaga tidak adanya absolutisme kekuasaan yang berjodohkan anarkhi kekuasaan, diusunglah paham konstitusionalisme. Isme yang menjadikan konstitusi bisa hidup dan tumbuh berkembang (living constitution).

Sehingga konstitusi dan konsitusionalisme sanggup, diandalkan dan patut diperjuangkan untuk membatasi kekuasaan (limited of power). Ya.., sebagai antitesis dari absolutisme dan sekaligus menjamin negara hukum, demokrasi dan hak asasi manusia (human rights), yang berefek pada kesejahteraan rakyat.

Pada segenap faktor, suasana, pun konteks itulah MK berperan menghidup-hidupkan konstitusi.

Sebagai makhluk beradab, manusia mempunyai kebutuhan dasar yang melekat dengan kodratnya sehingga merupakan kebutuhan dasar yang manusiawi yang dijamin konstitusi sebagai hak asasi manusia (HAM).

Dalam perkembangannya, evolusi ataupun perubahan norma konstitusi Indonesia dalam 4 (empat) tahap perubahan (amandemen) telah berkembangnya norma konstitusi mengenai hak asasi manusia yang dirumuskan ke dalam dokumen perubahan kedua UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai BAB XA untuk memenuhi kehendak rakyat yang K.C Wheare dengan ‘desire to make a fresh start’.

Kenyataan perubahan norma konstitusi ini dikenali dengan reformasi konstitusi yang bukan saja dalam statusnya sebagai politico legal document, seperti istilah Maarseveen & Tang.

Namun pergulatan mewujudkan cita-cita bernegara yang tidak lain adalah esensi dari konstitusionalisme. Yang menghormati, menjamin, melindungi dan memenuhi hak-hak konstitusional warga. Yang pergumulannya merupakan antitesis dari absolutisme dan menentang kekuasaan yang arbitrer atau kesewenang-wenangan (arbitrary power). Yang secara bersamaan pembatasan kekuasaan kekuasaan negara (limited power) yang absolut dengan memekarkan berseminya demokrasi, negara hukum, negara kesejahteraan dan hak asasi manusia –termasuk hak konstitusional atas pelaksanaan pemilu yang fitri.

Tanpa demokrasi konstitusional dan negara hukum demokratis maka konstitusionalisme tak bertumbuh, konstitusi hanya dokumen aspirasional dan seremonial saja. Ironis jika konstitusi hanya a piece of paper, bukan paper of power.

Karena itu, mencegah nasib payah konstitusi hanya dokumen seremonial dan aspirasional belaka, maka ikhtiar menghidupkan konstitusi bukan hanya dengan perubahan resmi (formal amendment). Namun dengan menyediakan fasilitas dan kemudahan konstitusionalisme, menjadikannya living tree of constitution.

Adanya pengajuan AC yang melesat dalam suasana dan konteks PHPU –namun tidak otentik dipahami terbatas dan lepas dari konteks konstitusi dan konstitusionalisme—maka opini ini memahami puluhan AC itu sebagai gairah publik dan aktifisme yang lebih dari hal sewajarnya, namun hal ikhwal fenomenal menghidup-hidupkan konstitusi. Apa itu konstitusi? Bukan hanya teks hukum konstitusi (law of constitution), namun menjangkau lebih jauh etika konstituti (ethics of constitution), bahkan budaya konstitusi (culture of constitution).

Pun bagi Hakim Konstitusi, meminjam Pak Dworkin, keren dan menyala jika memahami konstitusi dengan ‘moral reading of constitution.

Dengan sokongan tulus sahabat-sahabat mahkamah. Eureka, tepat jika apresiasi kepada puluhan AC itu melampaui hukum acara konstitusi.

Ikhtiar yang tak hanya sewajarnya namun fenomenal yang mengaktifasi momentum bergizi AC yang tak lain tema besar menghidup-hidupkan konstitusi dan konstitusionalisme. Ya.., konstitusi sebagai hirarki hukum yang tertinggi, pelegitimasi demokrasi konstitusional dan negara hukum demokratis.

Karenanya, kehadiran AC itu bagi saya bukan sekadar peristiwa seremonial dan aspirasional, bukan semata isu hukum acara konstitusi. Namun ijtihat meninggikan marwah dan asa memfitrikan tugas mulia menghidup-hidupkan konstitusi via yurisdiksi MK. Mengokohkan MK sebagai pengawal konstitusi dalam aras kekuasaan kehakiman berdasarkan konstitusi yang hidup dan tumbuh segar bugar. Kalau keadilan substantif (substantive justice) dan “tambang permata” konstitusi substanstif hendak digali, maka puluhan AC –yang diajukan dan diterimakan, maka tersalurkannya Amicus Brief sampai ke Hakim Konstitusi— menyumbang insentif kepada konstitusi substantif.

Sejarah, literatur, dan bahkan preseden konstitusi pun mengenal baik keberlakuan dan validitas dari hukum konstitusi, etik konstitusi, bahkan budaya konstitusi, termasuk MK dalam kiprah kekuasaan kehakiman. Bukan sekadar menafsirkan kata-kata, frasa, dan gramatika konstitusi negara. Dengan membiarkan publik bergairah merawat konstitusionalisme, dengan cara yang fitri menjadi sahabat-sahabat baik yang menghidup-hidupkan konstitusi yang baik. Tabik.

 

(*) Muhammad Joni, S.H., M.H., Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI).

Share
Leave a comment