Elan Dokter dan Advokat: Rekan-Sejawat yang Dipertautkan Rakyat

TRANSINDONESIA.co | Hampir segenap penjuru dunia, dan inci demi inci sejarah bangsa, ada bauran dua profesi mulia (officium nobile) ini: dokter dan advokat. Keduanya didekatkan sejarah pun elan berkiprah.

Dokter dan advokat adalah profesi. Perhimpunannya bukan serikat pekerja (Trade Union). Analog seperti kaidah hukum konstitusi dari putusan MK RI, yang menjawab kehendak oknum yang memerosokkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai Trade Union (TU). Namun, pengusung TU kandas di forum MK RI, jangan diutak atik gagasan usang, lagi.

Sebagai dua profesi mulia yang relatif tua, ikutilah cara kedua profesi membedakan  pekerjaan biasa dengan  pekerjaan berbasis profesi, yakni faktor kapasitas ilmu pengetahuan (knowledge), yang bertemali dengan keahlian (skills) dan watak (attitude)  –yang menjadi acuan dan rujukan bagi kompetensinya.

Sejalan pula dengan 3 (tiga) hal penting tadi yang melekat pada kompetensi,  maka penting dan menarik mengulas pendapat Tuan Dietrich Rueschemeyer  dalam tulisannya yang berjudul  ‘Lawyer and Doctors: A Comparison of Two Professions’,  yang tidak hanya menitikberatkan pada kompetensi namun mengetengahkan posisi profesi lawyer dan dokter dalam masyarakatnya,  yang menghendaki pelayanan  profesi yang relevan dengan pusat nilai-nilai dari masyarakatnya. Pendapat  itu menjadi alibi bahwa profesi dokter dan advokat berada dalam kuadran pro populis. Perjuangannya, aksinya, pun ikhtiar ‘civil disobidience’ kaum dokter pun advokat adalah kompatibel perlindungan rakyat (protecting the peopples).

Kompetensi profesi tidak berdiri sendiri. Namun berkaitan erat dengan nilai-nilai  yang diakui dalam masyarakat, sehingga profesi advokat itu melekat dengan kompetensi dan nilai-nilai (competecy and values).

Sehingga menjadi tantangan dan subyek kajian menarik dalam hal pelayanan kesehatan ataupun jasa  hukum yang melulu hendak di arak berbasis teknologi cerdas (technology intelligence) belaka, yang hendak  “bebas” dari nilai-nilai sosial masyarakat dan tidak mengerti humanisme dalam menerapkan kode etik profesi.  Di sinilah  arti pentingnya mempertahankan legitimasi domestic lawyer dan membatasi rambahan lawyer asing.

Jika merujuk Dietrich Rueschemeyer: “The current, predominantly functionalist theory of the professions stresses two carracteristics as strategic for the explanation of their positition and fungtioning in society. The professions are conceived of as service occupations that (1) apply a systematic body of knowledge to problem which (2) are highly relevant to central values of the society” .

Pembaca. Di tengah keadaan organisasi profesi advokat yang tidak tunggal –yang malah cenderung banyak–  dengan kebebasan melakukan rekrutmen: pendidikan profesi advokat dan ujian profesi advokat serta pengangkatan advokat secara sendiri-sendiri, alahai bukan tidak memiliki  resiko bagi kapasitas dan kualitas layanan advokat dalam hal standardisasi kompetensi (competency),  ketrampilan  serta –malah hal terpenting– watak  profesi advokat. Selain pentingnya menjaga otentisitas sumber kebenaran tunggal profesi, kaidah kompetensi, dan nilai-nilai profesional.

Walaupun secara sistem kenegaraan, keberadaan advokat dan organisasi advokat tidak lagi di bawah pengaruh pemerintah dan tidak dianggap oleh pemerintah seperti era sebelum Undang-undang Advokat,  namun penting menjaga apa yang penulis sebut dengan kedudukan moral dan institusi (moral-institutional standing) organisasi advokat (OA),  selain kedudukan hukum (legal standing) OA.

Sebab itu, OA absah, valid, dan relevan menyuarakan keadilan hukum, juncto keadilan kesehatan, juga kedaulatan rakyat juncto kesehatan rakyat, yang bersalutkan kebenaran otoritatif, keadilan substantif dan ikhtiar lawyering yang menghidup-hidupkan konstitusionalisme, serta bertaut pada satu tujuan mulia: pemihakan/ pro rakyat. Demi perlindungan rakyat, yang tak boleh nihil dari setiap varian hukum pun rancangan undang-undang. Sejak dari perencanaan sampai kepada keputusan dan bahkan pelibatan partisipasi bermakna.

Sebagai epilog, RUU Kesehatan pun demikian Daftar Isian Masalah (DIM)-nya  –yang tak bisa dinafikan bukan sebagai tindakan pemerintahan, karena itu tidak sahih dan menyalah jika DIM RUU Kesehatan dianggap hanya otoritas total  pemerintah.Menihilkan konstitusi sebagai hukum pembuat hukum (law of making laws). Keliru skala berat jika Menteri  beranggapan bahwa:  goverment to govern. Keliru dari pemikiran, menjalar kepada DIM  yang diajukan, pun penjelasannya.  Yang benar, bahwa: goverment consent by constitution.  Tabik.

(Advokat Muhammad Joni, Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia).

Share
Leave a comment