Era Post Truth, Solidaritas dan Potensi Konflik

TRANSINDONESIA.co | Konflik sosial pada umumnya karena perebutan sumber daya atau perebutan pendistribusian sumber daya. Bisa juga dikarenakan masalah harga diri. Suatu konflik terjadi sebenarnya merupakan puncak gunung es. Permasalahan permasalahan yang sudah menumpuk dan tinggal menunggu ada triger untuk meledaknannya. Permasalahan yang tidak terselesaikan akan menimbulkan kekecewaan hingga kemarahan walaupun masih dapat dipendam. Namun itu di omongkan terus ke mana mana dan bagi orang yang tidak pernah mengalamipun bisa ikut menceriterakan. Dari mulut ke mulut ditambah tambahi dan saling memiliki penafsir berbeda dari faktanya. Ini gosip.

Semakin digosok semakin sip. Gosip ini tatkala berlapis lapis dan terus menerus dilakukan ini akan menjadi labeling. Pemberian label ini bisa untuk perorangan bisa untuk kelompok. Tatkala labeling ini terus dihembuskan seolah olah mjd kebenaran maka akan menjadi kebencian.

Apa yang dilakukan di atas ini sangat mudah memicu konflik sosial tatkala dikaitkan atau dihubung hubungkan dengan primordial. Primordial merupakan hal yang utama dan pertama bisa sara bisa juga komunitas atau kelompok kelompok kategorial. Di dalam primordial emosional, spiritual diutamakan dan kadang mengabaikan rasionalitas. Pokok e atau dengan semangat siap membantu mengeroyok atau balas dendam dan menyerbu. Kelompok primordial tatkala sudah saling melabel saling membenci dari konflik perorangan pun bisa terjadi. Primordial dipilih atau digunakan karena untuk mendapatkan legitimasi walau hanya pada pembenaran bukan kebenaran. Apalagi kebenaran yang tidak berbasis hal hal yang hakiki hanya berdasarkan populasi. Kambing tatkala diteriaki orang banyak sebagai anjing bisa saja semua meyakini itu anjing.

Di dalam masyarakat yang majemuk primordialisme sangat mudah untuk memecah belah atau mengadu domba satu sama lain. Antar suku antar ras antar agama antar kelompok menjadi basis solidaritas pokok e yaang sebenarnya pekok e. Rasionalitasnya koprol dibuang. Yang ada dikepalanya hanyalah hajar serbu hancurkan mereka musuh menghina kita. Spirit premanisme muncul walau kembali dengan keroyokkan dan pengkambinghitaman. Siapa yang lemah disalahkan dan ditumbalkan. Tatkala kelompok primordial ini sudah menjadi crowd maka akan muncul gerakkan anarkisme ealaupun hanya dengan bullshit dikeroyok si a dan si b atau mengarang kejadian seolah teraniaya.

Sifat orang orang yang cengeng mudah di berdayakan untuk membakar amarah. Sikap ksatria rela digantung diganti nalar koprol, mereka saat itu seakan penuh jiwa yang heroik walaupun melakukan hal hal yang di luar nalar. Otaknya seakan dibekukan dicocok hidungnya diseret untuk mengamini anarkisme. Kesadaran kolektif sudah tidak mampu lagi dikendalikan. Seakan orang mabuk ia lupa dengan dirinya dan sadar menyesal dibelakang hari.

Era post truth ini sebenarnya sudah dilakukan sejak jaman dahulu walaupun tidak separah di era digital dengan media sosialnya. Menghasut memecah belah untuk saling membenci. Kita bisa belajar dari pemberontakan mulai dari ken arok, hingga penyerbuan tentara China ke Kediri, pengusiran pasukkan Kubilaikan, pemberontakkan jaman Majapahit, masa kolonialisme, masa pra kemerdekaan hingga masa kini terus saja ada.

Primordialisme menjadi pilihan apalagi kalau sudah mengatasnamakan apa saja apalagi yang berkaitan dengan harga diri ini mudah memicu konflik. Kadang kala pelakunya bisa dari orang gila. Tatkala diperiksa dinyatakan gila. Ini putus mata rantainya. Konflik sosial ini by design walaupun kadang tanpa kesengajaan. Bullshit di era postruth seolah kebenaran walaupun sarat trik intrik pembenaran. Memang ujung ujungnya juga kekuasaan penguasaan pendominasian sumber daya.

Masyarakat majemuk memerlukan adanya suatu pencerdasan hingga nalar atau logikanya tidak mudah dikoprolkan. Paradigma multikulturalisme ini mungkin mampu merasukkan kebanggaan akan kebhinekaan. Patriotisme cinta bangga akan bangsa dan negara tatkala bukan pd solidaritas semu apalagi dg berbagai hal yang menjurus kepada premanisme. Kekuatan massa khususnya bagi masyarakat suatu bangsa dan negara layak untuk dijaga atau ditumbuh kembangkan kekayaan seni budayanya dalam konteks karakter bangsa bagi hidup tumbuh dan berkembangnya.

Multikulturalisme ini menjadi kekuatan bagi pelestarian kebhinekaan dan mencerdaskan untuk memberdayakan melestarikan salah satunya melalui masyarakat sadar wisata. Kesadaran akan wilayahnya orang orangnya suku bangsa bahasa dan seni budayanya menjadi aumber daya baru. Penanaman cinta bangsa bukan lagi doktrin namun penumbuhkembangam nalar dan daya logika waras. Lagi lagi ujung nya memang politik sehat waras lah yang mampu menjaga dan membawa suatu bangsa maju dan sejahtera

Di era digital seakan media menjadi arena baru pada dunia virtual yang menjadi disrupsi. Tatkala tidak siap bermedia maka dslam memanfaatkan media berdampak pada COI (conflick of interest ). Memberdayakan media yang semestunya mendukung produktifitas dan meningkatkan kualitas hidup bisa bisa menjadi sesuatu yang kontra produktif.

Apalagi ini di era post truth, media seakan menjadi market place yang dapat digunakan sebagai ajang untuk mempengaruhi bahkan membangun opini publik melalui berita hoax yang memviralkan pembenaran agar dianggap sebagai kebenaran. Saling hujat saling serang seakan dunia virtual tidak membutuhkan keteraturan. Netizen pun semestinya dibangun bagi kemajuan suatu peradaban.

Rekayasa sosial dalam ranah virtual secara by design dapat digunakan dslam kepentingan apa saja. Boleh dikatakan kaum milenial paham dan menggunakan media sosial. Apa yang di sampaikan bisa langsung di share ke berbagai penjuru dunia atau secara global dalam hitungan detik. Dunia tanpa batas ruang dan waktu. Apa saja kapan saja dsn siapa saja bisa. Media menjadi power on hand yang dapat membantu atau sebaliknya dalam berbagai aktivitas manusia dalam berbagai gatra kehidupan. Idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan, hukum, pertahanan.

Berbagai isu mudah dan cepat dihembuskan. Media sosial banyak menggeser tatanan kehidupan dari cara konvensional bergeser ke arah yang kekinian. Tatkala konten yang didesign untuk kepentingan tertentu atau kelompok tertentu maka akan menjadi potensi konflik dan kontra produktif.

Pilar dengan berbagai sendi kehidupansebagai simbol kedaulatan dan peradaban bangsa dapat digerus . Sehingga, sumber daya utama dan penting bagi kedaulatan dan daya tahan bangsa dapat diganggu hingga diambil alih.  Oleh sebab itu di dalam memanage media setidaknya dilakukan untuk:

1. Memberitakan yang baik dan benar
2. Sesuai dengan fakta tidak mengada ada dan tidak direkayasa
3. Memberikan jaminan dan perlindungan HAM
4. Berpihak pada kemanusiaan supremasi hukum transparan akuntabel, informatif komunikatif dan mudah diakses
5. Menginspirasi, memotivasi dan memberi solusi serta mengedukasi
6. Membuat counter issue secara akademis dan yuridis atas sesuatu yang menjadi dampak era post truth terutama yang berkaitan dengan hoax
7. Menghibur, fun dan tetap pada norma norma etika dan moralitas, dsb.

Era post truth era yang memberdayakan data dan informasi sebagai sarana yang membuat opini publik, emosi massa terombang ambing dengan berbagai hoaxnya. Data dan informasi saling diaduk aduk antara fakta dengan pembenaran dan kebohongan diolah sedemikian rupa seolah olah merupakan kebenaran yang terus diviralkan sehingga membuat orang lainbterpengaruh emosibatau opininya bahkan yang membuat dan yang menyebarkannyapun meyakini sebagai kebenaran.

Hal itu terjadi karena terus menerus disampaikan seolah olah sesuatu yg salahpun menjadi benar. Apa yang terjadi bukanlah tiba tiba melainkan ada maksud dan tujuan tertentu. Paling tidak ada kepentingan kepentingan terutama politik atau untuk penguasaan sumber daya.

Data dan informasi mudah menjadi sasaran para designer jahat apabila tidak ada standar pengamanan. Di era digital data dan informasi menjadi kekuatan siapa lengkap siapa cepat dialah yang menguasai. Pembenaran yang terus diulang ulang dengan berbagai kemasan kebohongannya akan menjadi inspirasi yang negatif dalam otak bahkan hati nurani. Bagi siapa saja yang membacanya hingga rela memviralkannya ke jejaringnya mempercepat laju penyebaran issue yang dibuat. Tanpa berpikir panjang apalagi sudah ada unsur labeling dan kebencian ini akan semakin cepat penyebarannya.

Era post truth merupakan, penumpulan daya nalar yang memancing emosi dan memperuncing kebencian. Logika tidak lagi diutamakan yang diutamakan dan dikedepankan masalah emosional spiritual. Kemasan primordial akan menjadi gelora membara.

Tanpa pikir panjang peradilan sosial sudah dilakukan. Saling menuduh saling menyalahkan saling menghina saling mengobok obok jiwa hingga harga diri. Tanpa sebutir peluru keluar dari moncong laras senjata perang dapat dimulai. Hal hal yang kontra produktif dan berbagai pembodohan menggelora di mana mana. Sesal tiada guna. Biasanya sadar  setelah hancur berantakkan. Hal ini tanpa sadar setiap saat trs melanda.

Literasi dan berbagai upaya melalui coaching menjadi pilihan untuk menanamkan spirit kemanusiaan pencerdasan kehidupan bangsa dan tetap menjaga kewarasan daya nalar dengan lebih mudah dan lebih murah. Standar data dan informasi dibangun untuk adanya data centre yang dapat dijadikan acuan masyarakat, sehingga setiap informasi dan data yang diperoleh tidak asal telan atau asal share. Harapannya masyarakat mau membaca mau mencari standar media yang mjd rujukkan. Informasi yang ditabur biasanya bertahap bahkan dikemas seakan ilmiah bahkan mengatasnamakan tokoh tokoh yang menjadi ikon atau role model. Dari literasi dan standar media data dan informasi akan mjd salah satu pilar bagi acuan data dan informasi hoax.

Selain itu counter issue juga  dilakukan. Gerakan intelejen membuat cerdas dan memotivasi publik di semua lini dengan berbagai kemasannya untuk mencerdaskan dan menjaga keteraturan sosial ubtuk tetap waras dalam berbagai gerusan dan gempuran nalar.

Era digital, era media.  Media menguasai jalur jalur komunikasi dan informasi. Komunikasi dan informasi melalui media ada distorsi entah besar atau kecil. Distorsi ini yang dimanfaatkan  untuk berbagai kepentingan, pada umumnya yang berkaitan dengan sumber daya. Apalagi budaya dalam birokrasi masih kental model primordial dan pemdekatan personal.

Apa yang terjadi? Lagi lagi broker dan pemanfaatan era post truth untuk memggoreng, membully bahkan membranding. Isu dan kabar burung dalam pergosipan akan marak terjadi. Pembenaran pembenaran akan semakin kental bahkan mampu menggerus kebenaran.  Masalah kekuasaan dan penguasaan sumberdaya akan semakin marak dan proxy war menjadi pilihan.  Siapa berbuat apa hingga punya apa menjadi ajang saling serang.

Dunia virtual kini menjadi ruang yang memiliki warganet ( netizen). Mereka hidup dalam sistem sistem virtual dalam pendukung aktivitas aktual sehari harinya. Dalam sistem sistem pendukung menggantungkan applikasi yang berbasis pada AI (artificial intelligence) dan Iot (internet of thing). Warga net sibuk atau disibukan berbagai aktifitas dalam dunia virtual. Smart phone / gadget seakan tidak boleh lepas dari kehidupannya dari bangun tidur hingga saat akan tidur. Era digital menggeser banyak kebiasaan lama memasuki tataran baru.

Di dalam birokrasi kehadiran AI melalui dunia virtual mulai merambah dan merubah banyak bidang pekerjaan. Secara aktual isu primordialisme masih kuat dan rasionalisme  dikalahkan. Pendekatan personal dijembatani makelar  broker atau vendor yang mampu membahagiakan ndoro ndoro. Mereka memanfaatkan peluang mediasi.

Di era digital para broker akan memanfaatkan melalui netizen membangun buzer, membangun jejaring dan memanfaatkan data maupun fakta untuk pembenaran. Siapa yang dianggap menjadi penghalang atau duri dalam daging akan dilumat. Isu yang ditabur memang menarik bahkan seakan penuh pencerahan walau faktanya penyesatan.**

Chrysnanda Dwilaksana
Km 55  280422

Share
Leave a comment