“ART POLICING” PEMOLISIAN DENGAN PENDEKATAN SENI BUDAYA

TRANSINDONESIA.co | Image Polisi bekerja secara umum, pemolisiannya merupakan penjabaran tindakan : preemtif preventif maupun dengan represif sebagai penegak hukum. Kewenangan upaya paksa yang menonjol, terlebih lagi sering di filmkan sebagai sosok yang antagonis dengan upaya paksa seperti: menangkap pelaku kejahatan, mengungkap perkara, mengatur arus lalu lintas, memberhentikan, menggeledah seseorang yang dicurigai sebagai penjahat atau berkaitan denan kejahatan dan sebagainya.

Model pemolisian seperti itu akan lebih mengedepankan pengunaan kewenangan upaya paksa dan memerangi kejahatan. Kebutuhan keamanan dan rasan aman warga masyarakat sering kali ditandai dengan cara-cara reaktif, konvensional, walaupun di satu sisi mampu membangun citra polisi yang positif, namun di sisi lain dapat pula secara kuratif atau temporer.

Dari berbagai hasil kajian tentang model pemolisian yang ditulis para Pakar Kepolisian seperti pada buku comnunity policing karangan David Bayley (New York, Praeger,1988) dan Police for the future (penerjemah: Kunarto, Jakarta: Cipta Manunggal, 1994) dikatakan bahwa model pemolisian yang reaktif dan mengedepankan penegakkan hukum serta memerangi kejahatan tidak menjamin polisi mampu memberikan pelayanan keamanan dan membuat rasa aman warga yang dilayaninya. Bahkan secara ekstrim dikatakan bahwa polisi tidak melakukan pencegahan (Police for the future, Jakarta: Cipta Manunggal, 1994).
Tugas polisi hakekatnya adalah untuk memanusiakan manusia atau semakin manusiawinya manusia. Mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial dan bagi peradaban.

Di era digital tugas Polisi semakin berkembang dan dinamis mengikuti dinamika perubahan masyarakat yang dilayaninya. Pemolisian yang dilaksanakan oleh Polisi tak sebatas yang aktual tetapi juga secara virtual dalam tugas-tugas sosial bahkan kemanusiaan. Dengan demikian keberadaan Polisi diharapkan dapat menjadi bagian dari masyarakat yang dilayaninya yang diterima dan didukung oleh masyarakat. Polisi menjadi petugas yang profesional yang mampu melindungi, mengayomi, melayani yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Menjaga dan membangun keteraturan sosial, serta mendorong produktifitas sehingga mampu mendukung upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. sejalan dengan pemikiran tersebut, Polisi dapat dikatakan sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban, serta pejuang kemanusiaan. Pekerjaan tersebut memang tidak mudah dan memerlukan suatu kemampuan untuk memahami corak masyarakat dan kebudayaan. Pemolisiannya mampu memanusiakan manusia “Melayani dengan hati”.
Melayani dengan hati inilah core dari pemolisian karena dalam kehidupan sosial kemasyarakatan ada nilai-nilai, etika, norma, moral, seni, dan budaya yang hidup tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat. Upaya Polisi dalam pemolisiannya untuk mendekatkan dan mendapat kepercayaan masyarakat yang dilayaninya dapat dilakukan dengan seni dan budaya. Keduanya menjadi roh dalam kehidupan sosial masyarakat yang keberadaannya bertingkat tingkat berdasarkan strata sosialnya.

Seni merupakan bagian dari hidup dan kehidupan untuk menghibur dan sebagai solusi sosial/ pelipur lara. Seni yang merakyat akan di contoh bahkan diikuti dan menjadi tradisi seperti : (1) dangdut, (2) kesenian tradisional (kliwonan, bukak giling, ledhek, jaipongan,jathilan, cokek, ludruk, sintren, lenong, gambang kromong, dan sebagainya), (3) seni lukis (damar kurung, wayang kardus, lukisan sokaraja, lukisan kaca, dan sebagainya), (4) kerajinan (mainan-mainan anak-anak tradisional), dan (5) berbagai lagu khas daerah (jula-juli, langgam, campur sari, dan sebagainya).

Polisi dalam pemolisiannya yang berbasis pada pendekatan seni budaya, polisi dapat mengikis model yang antagonis yang dapat menjadi protagonis. Polisi dalam pemolisiannya menjadi bagian dari kehidupan warga masyarakat yang dilayaninya, yang mampu dan diharapkan menjadi penyejuk hati dan pelipur lara. Polisi dalam pemolisiannya, berbasis seni budaya mampu untuk membangun budaya tertib walau dalam kondisi apa adanya dan tidak mengada-ada, bahkan dalam kondisi berdesak-desakan sambil kerudungan sarungpun rasa berbahagia dan berbangga hati dapat di hayati.

Art policing juga dapat menjadi wadah/ ruang bagi Polisi dan masyarakat untuk bersama-sama menangani konflik yang dapat diterima semua pihak. Hubungan seni budaya dengan pemolisian bukanlah seperti minyak dengan air melainkan bagian yang menyatu dan saling mempengaruhi. Pemolisian yang dalam implementasinya berbasis seni dan budaya akan lebih memanusiakan manusia.

Disamping itu juga mendorong upaya untuk membangun peradaban, dan menjaga kehidupan. Bagaimana bisa memanusiakan manusia kalau tidak memahami hal-hal yang humanis? Bagaimana mau membangun peradaban kalau polisinya juga tidak memahami kebudayaan? Bagaimana bisa menjaga kehidupan kalau tidak memahami makna dan isi kehidupan masyarakat yang dilayaninya? Dengan pemahaman seni dan budaya ini pekerjaan-pekerjaan polisi akan semakin humanis. Polisi akan lebih peka dan peduli terhadap hidup dan kehidupan manusia.

Upaya-upaya dalam Polmas (Community Policing) sebagai model pemolisian yang kontemporer menjadi acuan art policing pada tindakan pencegahan, proaktif dan problem solving yang kesemuanya memerlukan komunikasi dan pemahaman akan corak masyarakat dan kebudayaanya.

Tindakan mencegah bukan hanya dengan menampilkan model petugas berseragam dengan bersenjata lengkap di pos atau di daerah rawan. Mencegah adalah tindakan berpikir baik secara manajemen maupun operasional untuk menemukan akar masalah dan solusinya sekaligus.
Implementasi art policing dapat mengacu model community policing yang dapat berbasis wilayah atau area juga dilakukan pada kelompok-kelompok kategorial atau komunitas maupun yang berbasis dampak masalah. Pada kelompok ini polisi bisa masuk dan memahami mereka dari aspek seni dan budaya. Melalui art policing, ungkapan dan simbol-simbol kebudayaan, bahkan uneg-uneg masyarakat dapat dipahami dan di tindak lanjuti oleh Polisi. seringkali digunakan sebagai sebagai sarana propaganda atau dapat ditunggangi dengan berbagai kepentingan, menjadi simbol perlawanan atau bahkan sebagai bentuk civil disobidience (pembangkangan sipil). Sebagai contoh, ludruk adalah kesenian rakyat yang menghibur para pejuang sekaligus simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda. Pemain ludruk hampir semuanya laki-laki. Untuk memerankan tokoh perempuan, mereka rela berganti kostum walau dengan suara yang tetapi menggelegar dan berat. Tokoh Sakerah, pahlawan pujaan mereka, memang sederhana hidupnya walaupun diwarnai dengan minum-minum keras, senang dengan penari-penari tandak (samirah). Akan tetapi, ia dicintai sebagai tokok masyarakat karena membela kejujuran dan kebenaran. Ia tak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda karena menyengsarakan rakyat. Jangan sampai simbol-simbol tadi menjadi bahan ledekan atau perlawanan terhadap aparat yang kejam atau yang tidak humanis karena dianggap menyengsarakan rakyat. Dalam cerita disimbolkan, saat Sakerah dikhianati oleh bangsanya sendiri dan ditangkap Belanda hingga di gantung di alun-alun, dia berteriak, ”Biar satu Sakerah mati. Nanti akan tumbuh sakerah-sakerah yang lain.”

Pendidikan atau pembelajaran pemahaman seni dan budaya kepada calon polisi merupakan upaya transformasi pembinaan dan pengasuhan dalam bidang seni dan budaya akan mengasah hati, pikiran, perkataan dan perbuatannya sebagai petugas polisi . Polisi sering disibukan oleh hal-hal rutin dan seremonial. Pejabat-pejabatnya pun pada berbagai strata sering mengatakan tidak ada waktu, tidak bisa belajar lagi, tidak sempat menulis, dan sebagainya. Sikap ini sebenarnya merupakan refleksi dari budaya organisasi yang memerlukan adanya transformasi menjadi institusi pembelajar.

Tatkala model pemolisiannya konvensional dapat di mungkinkan jauh dari cita rasa humanis dan antagonis. Dengan pola pemolisian yang demikian, maka sebenarnya polisi akan membangun gap antara polisi dengan masyarakat yang dilayaninya semakin jauh.

Seni dan budaya merupakan passion untuk membuka dan mengasah hati nurani, empati, kepedulian, bahkan solidaritas sosial yang humanis.
Polisi dalam pemolisiannya merupakan suatu seni dalam menata keteraturan sosial. Dengan demikian polisi dalam mengimplementasikan pemolisiannya adalah sebagai seniman. Polisi sebagai petugas mampu menjadi sosok pekerja yang terus berkarya untuk semakin manusiawinya manusia. Polisi dan pemolisiannya merupakan bagian dari peradaban karena mendukung masyarakatnya bertahan hidup, tumbuh dan berkembang.
Seni dan budaya hidup, tumbuh dan berkembang merupakan peradaban yang merupakan bagian dari politik. Konteks ini dapat dimaknai bahwa dalam menguasai dan modernisasi seni dan budaya merupakan bagian penting dan mendasar dalam menunjang pembangunan peradaban. Di negara-negara maju, karya seni diapresiasi setinggi-tingginya, dimaknai, dikemas, dibahas dimana-mana, di publikasikan dan dimarketingkan bahkan politikusnya pun aktif berkesenian atau mengikuti berbagai kegiatan kebudayaan.

Art policing dapat di implementasikan dengan memanfaatkan ruang-ruang publik untuk memamerkan, mengekspresikan program-programnya atau produk-produk kebijakannya.
Art policing diharapkan dapat menjadi ikon dan pilar persahabatan dan kedekatan dengan masyarakat. Naluri artistik dan estetik polisi dalam pemolisiannya akan lebih mantap di dalam menata keteraturan sosial.
“Sudahlah apa yang sudah ada ikuti saja, daripada kita disalahkan jangan sampai IMB (Inisatif Membawa Bencana). Polisi itu tidak perlu nyeni. Seni itu bukan ranah kepolisian. Polisi ya polisi titik, tidak perlu ini dan itu, apalagi kok pakai yang seni-seni, tidak perlu itu.”
Sering kita mendengar ungkapan semacam itu, sedihlah hati kita ini, apalagi terucap dari orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi yang berpendidikan dan berpengalaman di dalam maupun di luar negeri.

Polisi merupakan institusi yang dibangun dengan model semi militer. Disiplin, hirarki, penghormatan, loyalitas, kesetiakawanan, baris berbaris, pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan penampilan dan kekuatan fisik, penggunaan upaya paksa, penggunaan senjata api dan bahan peledak, spirit kepahlawanan menjadi pilar-pilar karakternya. Kepolisian sering juga kaku dan seram dengan petugas-petugas yang bertampang angker. Membuat orang yang dipanggil polisi akan sering menjadi “greng”(ada rasa bagaimana …atau bahkan ada rasa ketakutan). Anak-anak kecil yang rewel pun sering diancam atau ditakut-takuti orang tuanya : “awas ada polisi”. Polisi masih hidup saja sudah diasumsikan sebagai hantu bagaimana kalau sudah mati bisa-bisa diasumsikan sebagi hantu belau.

Pekerjaan polisi memang ambigu, di satu sisi melindungi, mengayomi dan melayani. Di sisi lain mengatur, melarang, menangkap. Pekerjaan polisi sering diidentikkan dengan menangkap maling. Orang yang kedatangan polisi berpakaian dinas biasanya akan berpikiran negatif :” saya salah apa?, polisi ini mau nangkap siapa?”. Terlebih lagi dari citra polisi yang negatif di mata masyarakat, apapun yang dilakukan oleh polisi sering dianggap tidak betul atau mereka sudah meragukannya.

Seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman, polisi kadang masih seperti yang dulu, kuno, kumel, petugas yang serem, sikap petugas yang arogan tidak ramah. Inilah bagian dari indikator dari citra buruk polisi di mata masyarakat. Ironis memang, tatkala masyarakat yang dilayani sudah maju, modern tetap polisinya masih konvensional, apalagi dengan gaya-gaya feodal. Cepat atau lambat akan tidak dianggap bahkan akan ditinggalkan.

Tatkala petugas polisinya juga tidak cerdas maka masyarakatpun enggan bertanya, apalagi curhat dengan polisinya. Masyarakat bisa saja memandang sebelah mata, atau meremehkan atau bahkan malah menyalah-nyalahkan. Polisi sering disudutkan dan dipojokkan, yang kadang tanpa mampu memberikan penjelasan atau argumentasi. Mencari pembela pun sepertinya sulit sekali.

Jadi, hubungan seni budaya dengan pemolisian tatkala mampu di implementasikan walau keduanya tampak berbeda, polisi akan lebih humanis. Polisi akan lebih peka dan peduli terhadap kehidupan manusia.
Penyelesaian masalah dengan model Community Policing dapat dimplementasikan dalam satu prinsip seribu gaya. Cara ini disesuaikan dengan corak dan kebudayaan masyarakat yang dilayaninya dan lebih ditekankan pada tindakan pencegahan.

Art Policing merupakan passion bagi Polisi. Passion Pemolisian dalam mencerdaskan kehidupan bangsa adalah membangun masyarakat sadar wisata. Para aparaturnya mampu “Mengemas, Memberi makna dan Memarketingkan”, sebagai bentuk pemberdayaan hidup dan memberikan kehidupan.
Mengemas merupakan suatu kemampuan untuk: (a) membungkus, (b) memprogram, (c) menyajikan, (d) menata, (f) memperindah, sebagai upaya meningkatkan kualitas yang lebih baik/lebih indah dari aslinya. Kata plesetan dapat memaknai kata mengemas sebagai upaya menjadikan emas. Maknanya adalah menjadikan sesuatu sebagai barang berharga. Sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Menjadikan emas memerlukan kompetensi dan rasa.

Kompetensi sebagai standar-standar kemampuan untuk memberdayakan/menjadikan sesuatu lebih baik dan makna rasa adalah seni yang menjadikan lebih indah, lebih menarik dan sebagainya. Mampu mengangkat craft menjadi art. Dua hal antara kompetensi dan rasa ini yang semestinya dimiliki setiap pemimpin di semua lini. Untk mengemas sesuatu yang biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang luar biasa. Tatkala tidak mampu mengemas maka barang bagus yang bermutu sekalipun bisa rusak bahkan hancur.

Sebagai contoh saja makanan-makanan tradisional yang mempunyai rasa sedap dikemas secara biasa-biasa saja dijual di bawah pohon, harga jualnya menjadi biasa-biasa saja. Dijual mahal misalnya, akan dikomplain banyak orang. Lain halnya dikemas dengan bahan-bahan yang lebih kuat, lebih menarik diberi logo dan dijual di mal, harganya bisa berlipat-lipat tanpa dikomplain orang. Suatu masyarakat kalau mampu mengemasnya akan meningkat kualitasnya.

Demikian halnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tatkala dikemas dengan baik dan benar maka akan maju, dan mendapat kepercayaan dan dukungan dari mana-mana. Namun sebaliknya tatkala tidak mampu, bahkan gagal mengemas, jangankan maju mempertahankan hidup saja sudah setengah mati. Kemampuan untuk mengemas diperlukan:

1. Kepemimpinan. Pemimpin yang mampu mengemas dengan baik adalah pemimpin yang mampu mengangkat harkat martabat dan derajat yang dipimpinnya. Contoh: Rafles pemimpin yang mempunyai visi dan seni tinggi, Lee Kwan Yew berhasil memodernisasi Singapura, Ignasius Jonan mampu mengangkat derajat PT KAI, Tririsma Harini mampu menunjukkan potensi-potensi Surabaya sebagai kota yang lebih berkualitas dan sebagainya. Para pemimpin seperti ini mampu membangun ikon dengan kemampuan mengemas.
2. Ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu menjadikan dan menunjukkan sesuatu dengan cara-cara modern artinya menjadikan sesuatu di era digital tetapi bertahan dan digemari atau disukai karena selalu up to date dan dapat mengikuti perkembangan zaman yang tak lekang ruang dan waktu. Karena bisa diperolehnya dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informtif dan mudah diakses.
3. Seni. Seni membuat sesuatu menjadi lebih indah, lebih menarik, memiliki karakter dan menunjukkan suatu cita rasa yang tinggi. Seni menjadikan sesuatu menjadi lebih berharga dan bercita rasa.

Berhasil dalam mengemas ditentukan dari orangnya, sistemnya yang dijalankan dengan standar kompetensi dan seni. Tatkala pemimpin-pemimpin di semua lini mampu mengemas apa saja dengan standar-standar kompetensi dan seni maka produk kemasan akan berhasil karena bercita rasa seni yang tinggi dan memiliki karakter serta diminati.Setiap pemimpin semestinya memiliki kompetensi dan seni untuk mengemas.
Kesemua itu adalah talenta yang harus terus diasah, bukan sebatas belajar di kertas atau di dalam kelas, melainkan juga praktek di alam. Talenta memimpin dengan manajemen proaktif merupkan proses belajar :

1. Memanage yang berarti mampu merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengawasi dan mengendalikan untuk mencapai sasaran/ tujuan. Selain itu mampu untuk mengatasi berbagai masalah dan mampu diunggulkan/ menjadikan unggul.
2. Mengemas. Mengemas adalah sebuah talenta untuk meningkatkan kualitas, untuk menghidupkan, mengangkat harkat dan martabat. Dengan kata lain mengemas ini adalah membuat sesuatu menjadi lebih baik.
3. Memaknai. Memaknai dalam bahasa jawa bisa diplesetkan sebagai tindakan ngububi (ngompor-ngompori dalam hal yang positif). Memaknai sebagai talenta yang merupakan bagian dari pencerahan dan menginspirasi. Memaknai ini juga mengangkat dan menghidupkan.
4. Memarketingkan. Memarketingkan adalah memasarkan. Makna yang lebih luas adalah membuat sesuatu menjadi berkat dan bermanfaat bagi banyak orang. Dengan demikian memarketingkan adalah talenta untuk meyakinkan dan menjadikan banyak orang tahu dan bisa memanfaatkan.
5. Membangun jejaring. Membangun jejaring ini merupakan talenta untuk menumbuhkembangkan dalam berbagai lini yang tidak terikat batas ruang dan waktu yang harapannya adalah akan menjadi mitra.

Semua ini merupakan talenta yang semestinya dimiliki pemimpin. Melalui transformasi budaya dengan manajemen yang proaktif seorang pemimpin akan mampu menemukan dan mengembalikan passion yang hilang dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu dengan melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki bila terjadi kesalahan, mencegah terjadinya penyimpangan, meningkatkan kualitas, membangun hal baru sebagai terobosan-terobosan kreatifnya dan tentu juga mampu menjadikan unggul pada institusi yang dipimpinnya.
Pekerjaan polisi merupakan seni dalam mewujudkan organisasi yang pembelajar, humanis, dan profesional. Dalam konteks ini, polisi dituntut untuk dapat melakukan penyadaran, bukan karena ketakutan atau paksaan. Tentu saja polisi tidak boleh bermain-main dengan hal-hal yang ilegal.

Seni dalam pemolisian dapat dipahami pertama sebagai bagian dari inovasi dan kreatifitas. Fungsinya merupakan sarana kontak antara polisi dan masyarakat, bukan semata-semata hubungan formal, normatif, tetapi hubungan yang saling mendukung, saling terkait, dan saling mempengaruhi.
Kedua, seni dalam pemolisian sebagai bagian dari penataan dan perlindungan terhadap lingkungan dan sumber daya alam. Pelestarian lingkungan hidup merupakan bagian dari keteraturan sosial yang juga wajib dipahami oleh petugas polisi dengan harapan para petugas polisi tidak lagi terlibat dengan hal-hal yang bersifat illegal. Ketiga, sebagai penjaga kehidupan, tentu dalam berbagai pelayanannya, kepolisian dirasakan aman, nyaman, asri, dan humanis.

Semua itu mencerminkan upaya untuk kemanusiaan dan memanusiakan sesama. Keempat sebagai pembangunan peradaban pemolisian dapat disandingkan dengan produk kebudayaan berupa karya seni baik, lisan,suara, gerak,tulisan,lukis, pahat, dan tata ruang.

Pemahaman dan pendidikan tentang seni dan kesenian bagi petugas polisi merupakan frame work dalam menggunakan otak, otot, dan hati nuraninya. Dengan demikian, tugas-tugas polisi akan menjd inspiratif, informatif, dan menghibur. Contoh, berbagai novel, cerita komik, cerita anak, film layar lebar, film keluarga, dan sebagainya banyak menggambarkan kehebatan dan keberhasilan tugas polisi sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban, dan pejuang kemanusiaan.

Seni akan membantu polisi mengangkat citra, membangun kepercayaan, membangun jejaring, membangun kemitraan, dan menjadikan ikon kecepatan, kedekatan, dan persahabatan.

Seni, Tradisi, hobby, komuniti dan teknologi sebagai Refleksi Akal Budi
Seni bukan monopoli para seniman sekolahan atau ahli-ahli menjabarkan seni dalam berbagai sudut pendekatan dan teori. Seni milik setiap insan manusia.

Seni adalah refleksi akal budi. Menjelaskan dan mengajarkan seni secara formal seringkali sebatas tahu dan menghafal orang yang terkenal. Apa yang ada di depannya atau di sekelilingnya atau apa yang pernah dibuat dan dilakukannya hilang menguap.

Karena yang ada di lingkungannya tidak mampu diapresiasi dan dinikmati, maka kagumlah akan kata banyak orang tentang seni terutama yang berbau luar negeri. Kalau sudah yang mengatakan orang asing, langsung di cap benar. Hanya orang asing yang sudah datang itulah yang dianggap sebagai turis. Yann lokalan dianggap kampret. Kalau menjelaskan dengan pendapat-pendapat orang asing langsung diamini dan dikagumi.

Jujur, kalau mau dipahami apa yang ada di negeri ini sangat luar biasa. Apa saja ada, apakah kita tidak mampu menata dan memberdayakanya? Mungkin saja begitu.

Tatkala para pemimpin, pejabatnya tergila-gila luar negeri, maka kebijakan-kebijakannya akan mengabaikan negerinya sendiri. Apa yang dibuat didahului studi banding, belanja, piknik, dsb, semua serba luar negeri.
Hingga seniman-senimannyapun kalau gak ngambus atau diambus luar negeri dianggap jelek, kampungan, kelas bawah, murahan. Seni yang kampungan, murahan ini sebenarnya karakternya tinggi karena karyanya untuk hidup di dunia sampai dengan menghantar arwahnya ke alam baka.
Lihat saja, seni suku-suku bangsa yang sering dikatakan tribal art. Adakah apresiasi dari pengamat anak negeri atau penguasa jagat bangsa ini? Hampir tidak ada, semua dikoleksi dan dibukukan oleh orang asing. Nanti diakui atau diambil orang asing baru nyak nyak-an, seakan pahlawan kesiangan yang mulai teriak kiri kanan.

Seni refleksi akal budi sayang penempatan pemaknaan dan apresiasinya setengah hati. Membuat seni tradisi terkikis gerusan globalisasi semoga patriot seni tidak lagi terbelenggu, sadar dan berani meneriakan kebenaran untuk lestarinya peradaban bangsa ini.

Membangun pariwisata seringkali hanya disentuh hal hal yang benda/tangible, sedangkan yang tak benda atau intangible tidak di sentuh bahkan dilupakan. Yang intangible inilah esensi yang mendasar dan menjadi pilar bagi pariwisata untuk selalu ada kebaruan yang mencerahkan, menyenangkan, mententeramkan dan membuat sesuatu baru dan ada rasa kerinduan.
Tahun 2020, dapat menjadi momentum membangkitkan pariwisata yang berkaitan dengan hal spirit dan menyentuh hal hal yang intangible dengan menggerakkan berbagai aktifitas literasi seni budaya melalui gerakan moral dan gerakan mencerdaskan kehidupan atau membangun rekayasa sosial, dan sebagainya.

Tema tema yang diangkat dapat dibuat secara tematik sehingga dapat tergambarkan apresiasi kepada leluhur nenek moyang seniman, budayawan, para tokoh dan pejuang pejuang seni budaya dan kemanusiaan.
Membangun masyarakat sadar wisata yang benda maupun tak benda bukan semata mata untung rugi atau sebatas wujud home stay atau cafe atau yang lain, walau bisnis itu yang nampak dan paling mudah dilakukan (walaupun faktanya juga sulit)
Membangun literasi seni budaya melalui sentuhan yang tak benda dapat dianalogikan mentransformasikan isi buku yang mampu mencerahkan dan mencerdaskan. Tatkala warga masyarakat telah memiliki kesadaran maka mereka dapat menjaga dan mengapresiasi apa saja termasuk perjuangan perjuangan yang telah, sedang dan akan kerjakan dalam religi seni tradisi bahkan teknologi.

Hal yang mendasar termasuk juga pemikiran pemikiran bagaimana membangun dan memperjuangkan hidup tumbuh dan berkembangnya wadah dan gerakan moral kemasyarakatan agar art policing juga mendukung literasi seni budaya yang tangible atau kebendaan dan intangible/tak benda dapat dikembangkan sebagai berikut : 1. Pelestari seni tradisi di era kontemporer, 2. Membangun ikonik seni tradisi dan religi dlm bentuk ikonik seperti wayang komik kartun dan kepahlawanan, 3. Sanggar seni dan budaya, 4. Aktifitas penyeimbang alam dan kehidupan melalui berbagai gerakan moral dalam social engineering, 5. Pustaka religi seni dan tradisi, 6. Galeri karya karya seni, patung, ukir, dan lukis, 7. Wadah kegiatan komunitas komunitas melalui panggung tradisi seni dan religi, 8. Home stay, 9. Cafe atau restaurant dan 10. Art shop and galery, serta lainnya.

Apresiasi terhadap pergerakkan komunitas komunitas untuk membangun dan menggerakkan spirit membangkitkan nilai nilai kemanusiaan melalui berbagai kegiatan, religi, seni, tradisi, komuniti, hobi, dan teknologi yang memberi efek luas ke masyarakat dalam menghidupkan berbagai destinasi pariwisata.

Cipta karsa karya dalam hal tangible maupun intangible memerlukan kurator yang handal sehingga mampu mengemas memaknai dan memarketingkannya. Berbagai aktifitas, religi, seni, tradisi, hobbi, komuniti, dan teknologi dalam berbagai kemasan acara dan kegiatan dibangun dalam bentuk festival.
Disinilah art policing dapat dibangun dari sinergitas pemerintah, akademisi, pengusaha atau sektor bisnis media dan masyarakat untuk bermitra sehingga ada kekuatan baru, dan masyarakat mengerti, memahami dan mampu mengapresiasi atau berusaha akan yang tangible dan intangible.

Beberapa hal yang dapat dibuat dalam mendukung art policing yang merupakan bagian dari literasi seni budaya adalah sebagai berikut: 1. Buku buku seni budaya tradisi dan religi, 2. Film panjang maupun dalam durasi singkat, 3. Performance art, 4. Booklet atau leaflet, 5. Sosialisasi, 6. Membangun pilot project, 7. Pameran, 8. Lokakarya dan 9. Membuat perpustakaan dan musium atau pusat studi yang berkaitan dengan religi, seni, tradisi, hobi, dan sebagainya.**

 

Chrysnanda Dwilaksana

Fajar Tegal Parang 310323

Share
Leave a comment