Masker Ramah Tunarungu

TRANSINDONESIA.co | Seorang ibu di Cali, Kolombia, memproduksi masker untuk penyandang disabilitas pendengaran yang memungkinkan mereka berkomunikasi dengan mudah dengan orang lain yang bisa membaca gerak bibir.

Putri Nany Garzon yang memiliki gangguan pendengaran yang disebut sensorineural bilateral dapat berkomunikasi dengan lebih mudah berkat masker yang dibuat oleh ibunya. Putrinya yang bernama Maria Jose itu perlu membaca gerak bibir untuk dapat berkomunikasi.

Bagian transparan dari masker yang membuat bibir terlihat membantu Maria Jose berkomunikasi dengan orang yang tidak menggunakan bahasa isyarat tetapi bisa membaca gerak bibir.

Pada Hari Penyandang Disabilitas Internasional, Garzon menunjukkan bahwa masker wajah buatannya telah memungkinkan penyandang disabilitas pendengaran atau tunarungu menjalani kehidupan yang sama seperti sebelum pandemi.

“Masker wajah khusus ini dibuat karena di Kolombia sekitar 550.000 keluarga yang memiliki anggota yang tunarungu, di mana masker wajah konvensional menjadi penghalang karena banyak dari mereka mengandalkan membaca gerak bibir untuk dapat berkomunikasi,” jelasnya.

Garzon memulai proyek ini sekitar satu setengah tahun yang lalu setelah pandemi melanda dunia. Ibu yang inovatif itu juga mengatakan masker transparannya membuat banyak perubahan dalam kehidupan putrinya, seperti berkomunikasi dengan guru dan teman, dan bahkan mengembalikan senyum mereka.

“Sejak tahun lalu, kami telah mengajukan kepada komisi ketujuh Senat proposal kami untuk memakai masker sebagai undang-undang di negara ini dan untungnya pada 2 Juli tahun ini sudah menjadi undang-undang no. 2096 tahun 2021,” imbuh Garzon.

Garzon menyumbangkan 20 persen dari keuntungan penjualan masker-masker ini langsung ke Institut Anak Tunanetra dan Tunarungu Cali. “Kami mengajak semua orang untuk berempati. Masker wajah tanpa penghalang mengutarakan bahasa universal, yakni bahasa cinta. Orang-orang cacat memiliki kemampuan luar biasa. Kita tidak berbicara tentang ketidakmampuan mereka, melainkan tentang kemampuan luar biasa mereka dalam keadaan cacat apapun,” terangnya.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari lima persen populasi dunia memiliki gangguan pendengaran. Membaca gerak bibir dan melihat ekspresi wajah sangat penting bagi sebagian dari mereka untuk bisa berkomunikasi. [ab/uh]

Sumber Voaindonesia

Share
Leave a comment