Seni sebagai Catatan Hidup dan Tanda Kehidupan

TRANSINDONESIA.CO | Di dalam kehidupan di situ ada seni. Tatkala ada seni maka dapat dimengerti bahwa ada manusia yang hidup di situ. Apa yang dipikirkan dirasakan dialami atau berbagai keinginan harapan atau apa saja yang dilakukan manusia dalam hidup dan kehidupannya akan menjadi sesuatu yang menjadi imajinasi.

Dari imajinasi ini seni dapat dikategorikan, dimaknai, dijadikan model, dipahami maknanya bahkan dikonseptualkan atau diabstraksikan bahkan dilihat dari sudut atau angle mana dilihat atau diperlakukan. Dari situlah seni dapat menjadi katarsis. Bisa saja sebagai obat waras pelepas beban jiwa atas kepenatan dan kesusahan hidup. Seni bisa saja dikatakan sebagai ” byuk” menumpahkan isi pikiran atau jiwa.

Kejadian yang membahagiakan sampai yang mencekam mengancam bahkan mematikan kehidupan dapat dijadikan suatu karya seni. Entah dalam kata, nada, suara, rupa, gerak ataupun penggabungan semua itu menjadi pertunjukkan.

Tatkala seni mendapat ruang diterima dan dijadikan kebutuhan adab maka akan dijadikan tradisi yang terus dijaga dilestarikan bahkan ditumbuhkembangkan. Seni akan menjadi catatan kehidupan. Tanda akan hidup dan kehidupan bahkan peradaban. Seni itu akan dikembangkan sesuai dengan corak masyarakat dan budayanya. Namun juga dapat dilakukan oleh orang orang yang belajar atau bernyali melakukan sesuatu yang ia pikirkan inginkan rasakan atau teriakkan sehingga seni akan bervariasi.

Seni kadang bagi kaum mapan seperti sesuatu yang lucu hingga menjijikkan. Ada yang senang bisa menikmati. Sebaliknya ada yang terusik atau marah karena ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman atau terganggu kemapanannya. Seni dalam hidup dan kehidupan itu tanda kewarasan. Tanda mendekatkan menara gading dengan fenomena yang nyata. Seni juga membuka tabir halimun yang dibuat kaum penjilat atau kaum mapan dan nyaman yg membutakan. Tatkala seni diatur bagai barisan dengan aba aba:” siap grak berseni grak”, maka sebenarnya pembungkaman suara jiwa, pendunguan dan pembuntuan jalur dan komunikasi sosial sedang terjadi. Ini membahayakan bagi keteraturan sosial dan membuat ruang bagi kaum preman menguasai dengan berbagai dalih primordialnya.

Seni lagi lagi menjadi jembatan hati pembuka atas jendela pengap kehidupan sosial. Tanpa sadar seni mewaraskan sekaligus memberi ruang nalar dan budi berkembang. Kebutuhan adab terpenuhi. Walau ada grundelan, plesetan, satir namun di situlah catatan dan tanda kehidupan ada. Peradaban mulai disangga pilar pilar yang kokoh dan menjadi tradisi. Remuk redamnya suatu peradaban tatkala semua ingin dikembarkan diseragamkan dibelenggu kebebasannya. Ditakut takuti, diancam dari penjara hingga neraka. Logika tumpul sikap masa bodoh bermunculan lagi lagi hidup kering kehausan tanpa ada sesuatu yg mencerahkan menyejukkan dan memberi harapan.*

Sunset di Tengah Pemukiman 280821
Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment