Teknologi Kepolisian

TRANSINDONESIA.CO – Teknologi informasi merupakan suatu kebutuhan dan keharusan di era digital, tentu saja hal ini juga berlaku bagi kepolisian di dalam pemolisiannya. Pemolisian secara garis besar dapat dilihat dalam ranah kerja birokrasi maupun dalam masyarakat sebagai usaha atau upaya kepolisian pada tingkat manajemen maupun operasional, dengan atau tanpa upaya paksa untuk mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial.

Dengan demikian tatkala membahas teknologi kepolisian maka model teknologinya adalah untuk mendukung pekerjaan kepolisian di ranah birokrasi dan ranah masyarakat untuk mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial.

Sistem teknologi kepolisian merupakan suatu rangkaian atau model untuk menyatukan back office, application dan network yang berbasis artificial intellegence dan internet of things.

Yang dioperasionalkan dari ranah birokrasi maupun masyarakat untuk:

1. Memetakan atau mengkategorikan apa yang menjadi variabel atas pekerjaan kepolisian.

2. Dari sistem pemetaan tersebut maka dibangun sistem sistem inputing data atau sistem sistem recognize.

3. Point 1 dan 2 dapat dihubungkan secara holisitik untuk membuat model model yang dibutuhkan sehingga dapat menjawab model model sistem pelayanan teknologi yang berupa prediksi antisipasi maupun solusi dalam bentuk algoritma.

4. Dari algoritma yang ada dapat menjadi landasan atau acuan pemgambilan keputusan untuk sistem pelayanan kepolisian; a. Pelayanan keamanan, b. Pelayanan keselamatan, c. Pelayanan hukum, d. Pelayanan administrasi, e. Pelayanan informasi, dan f. Pelayanan kemanusiaan.

5. Pelayanan pelayanan pada point 4a sampai 4f dapat diimplementasikan pada komunitas maupun lalu lintas.

6. Point 1 s 5 dapat dibangun big data system dengan one gate service system.

7. Sistem teknologi kepolisian jenisnya dapat beragam sesuai dengan fungsi kepolisian atau sesuai dengan wilayahnya juga atas dampak masalah yang mengganggu atau merusak keteraturan sosial.

8. Teknologi kepolisian secara manajerial maupun operasional kesemuanya dikaikan dengan adanya digital record yang dapat dikaitkan pada program merit system.

9. Implementasi atas teknologi kepolisian ini dilakukan pada sistem E-Policing.

E-Policing atau electronic policing merupakan model pemolisian di era digital yang berbasis pada back office aplication dan network. Dengan berbasis pada artificial intellegence dan internet of things dan sistem sistem yang ada pada point 1 sampai 8 merupakan basis landasannya.

E-Policing model sistem pemolisian secara virtual yang dapat melayani 1 x 24 jam dan 7 hari seminggu secara terus menerus tanpa terputus dengan standar pelayanan yang prima. Yaitu pelayanan kepolisian yang berstandar cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel informatif dan mudah diakses. Model W-Policing dapat dikategorikan dalam komunitas (harmoni pemeliharaan keamanan yang modern dan manusiawi) dan lalu lintas (it for road safety).

Mengimplementasikan Harmoni maupun it for road safety prinsipnya adalah dengan membangun back office, aplication dan network. Back office berfungsi sebagai operation room atau ruang kontrol pusat K3i (komando kendali koordinasi dan informasi) sebagai pusat data dan analisis. Aplication dalam konteks E-Policing merupakan sistem sistem inputing data analisa data dalam berbagai indikator yang nantinya dapat menghasilkan sistem data yang on time dan real time dalam bentuk info grafis dalam wujud indeks keamanan.

Adapun network di sini adalah pada model jejaring yang menghubungkan antar aplikasi dengan back office. Sistem operasional harmoni maupun INTAN akan di jabarkan melalui sistem pembangunan big data dengan berbasis geografi dalam sistem pemetaan wilayah sistem sistem informasi wilayah masaalah dan berbagai kepentingan maupun dari dampak masalah.

Sistem big data merupakan pilar one gate service. Pd semua sistem on line atau elektronik yang dibangun mampu menyajikan informasi yang akurat dan cepat secara on time dan real time dalam wujud info grafis. Hasil analisa data yang dihubung hubungkan sesuai indikator masing-masing sub bagian akan memghasilkan indeks keamanan dan keselamatan (road safety) yang mampu memprediksi mengantisipasi dan membwrikan solusi yang tepat dan dapat diterima semua pihak yang diyakini sebagai upaya-upaya pencegahan langkah-langkah proaktif dan problem solving sehingga dapat mengurangi ketakutan masyarakat akan adanya ATHG serta dapat terwujudnya keamanan dan rasa aman yang mendukung produktifitas masyarkat.

Keteraturan sosial baik di dalam komunitas maupun lalu lintas merupakan bagian dari ketahanan Nasional. Karena daya tahan suatu bangsa merupakan kemampuan berdaya tahan suatu bangsa terhadap berbagai hal yang kontra produktif pada semua aspek kehidupan dari luar maupun dari dalam yang dapat menggerus nasionalisme kebangsaan.

Membahas ketahanan Nasional dapat dianalogikan sebagai tubuh manusia yang tidak hanya fisik tetapi juga filosofi, pandangan hidup dan berbagai upaya menata keteraturan dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara (gatra, setidaknya ada 8 gatra ditambah dari hukum, teknologi).

Gerusan terhadap gatra kehidupan berbagsa dan bernegara di era digital yang mampu menembus ruang dan waktu bukan lagi dengan cara-cara fisik semata melainkan dari cara-cara virtual dpt memecah belah menggerus nasionalisme.

Di dalam pemanfaatan teknologi 4.0 inilah manusia bisa menjadi budak teknologi. Gempuran sistem sistem on line pada berbagai pelayanan publik akan menimbulkan gesekan baru. Dunia virtual akan menguasai dunia aktual. Konflik benturan peradaban pun dapat terjadi yang berdampak luas.

Dalam negara yang modern dan demokratis ketahanan nasional merupakan suatu dasar untuk dapat hidup tumbuh dan berkembang. Maka diperlukan adanya produktifitas dalam semua aspek dan lini kehidupan. Namun faktanya di dalam proses produktifitas ada ancaman tantangan hambatan dan gangguan (ATHG) yang dapat merusak bahkan mematikan produktifitas.

Di sinilah fungsi negara hadir untuk menata keteraturan sosial mendukung produktifitas dan mengatasi ATHG dengan menjamin keamanan dan rasa aman seluruh rakyat sebagai anak bangsa. Yaitu dengan adanya hukum yang kuat adanya aparatur dan para pemangku kepentingan lainya yang bersinergi sehingga ATHG dari luar maupun dalam dapat diatasi bahkan dapat memberdayakan menjadi kekuatan atau potensi potensi yang mendukung produktifitas.

ATHG dr dalam maupun luar yang berdampak tergerusnya nasionalisme dan ketahanan nasionalp antara lain:

1. Pembodohan melalui sistem sistem pendidikan yang menanamkan nilai-nilai anti Pancasila anti Kebhinekaan dalm berbagai doktrin yang merusak idiologi dan nasionalisme bangsa,

2. Teknologi yang mencandui warga dalam memangkas sistem sistem sosial yang ada.

3. Pengadu dombaan antar anak bangsa dengan pemanfaatan primordialisme
4. Perdagangan narkotika
5. Perusakan sistem birokrasi melalui korupsi
6. Sistem monopoli, sistem bisnis dan perdagangan, dsb.

Tatkala hal tersebut tidak mqmpu diatasi atau cara-cara penanganan masih sebatas cara yang manual parsial konvensional maka kemampuan berdaya tahan akan lemah, tentu saja tidak mampu berdaya saing dengan bangsa lain.

Dalam membangun ketahanan suatu bangsa dari sisi gatra keamanan dapat menjadi pilar penyangga bagi gatra lainnya. Keamanan yang berdaya tahan terhadap gerusan secara internal maupun eksternal adalah membangun sistem good and clean government sehingga premanisme atau mafia birokrasi atau peluang-peluang terjadinya penyimpangan penyalahgunaan kewenangan dapat di atasi dengan membangun E-Government. Dukungan bagi terbangunnya E-Government adalah dengan membangun sistem E-Policing dan E-Banking. Konteks membangun keamanan dengan teknologi 4.0 yaitu dengan adanya back office, aplication dan network untuk adanya sistem big data.

Dukungan bagi terwujudnya E-Government dengan pendekatan keamanan adalah melalui pemolisian yang proaktif dan problem solving. Kemitraan yang mengutamakan pencegahan serta mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat, model pemolisian tersebut yang dikenal dengan community policing. Sistem yang dibangun pada community policing berbasis wilayah, berbasis fungsi dan berbasis dampak masalah.

Dalam mengimplementasikan community policing ada dua ranah kerja polisi yaitu pada ranah birokrasi dan ranah masyarakat. Keberadaan polisi dapat diterima oleh masyarakat yang dilayaninya bahkan dapat menjadi ikon kedekatan jarak polisi dengan masyarakat hanya 3 digit melalui call centre dapat dihubungi nomor 110 atau 911. Ikon kecepatan merespon aduan atau laporan atau saat ada kejadian yang mengganggu keteraturan sosial. Dan menjadi ikon persahabatan antara polisi dengan komuniti yang dilayani saling memahami, saling mendukung dan menjadi mitra dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman warga masyarakat.

Di era digital dengan teknologi 4.0 implementasi community policing tidak hanya secara faktual namun juga diimbangi pemolisian secara virtual melalui E-Policing.

E-Policing merupakan model pemolisian di era digital sebagai implementasi community policing secara virtual yang dapat melayani masyarakat 1 x 24 jam sehari dan 7 hari seminggu secara terus menerus. Dalam E-Policing sistem keamanan yang mampu mendukung ke tahanan nasional dapat dilakukan secara prima yaitu, pelayanan keamanan, keselamatan, hukum, administrasi informasi dan kemanusiaan dapat dilayani secara prima yaitu, pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan akuntabel informatif dan mudah diakses.**

Brigadir Jenderal Polisi Prof. Chrysnanda Dwi Laksana, PhD, adalah Direktur Keamanan dan Keselamatan Korlantas Polri

Share
Leave a comment