Perjuangan dan Keikhlasan Ibu Tiada Tanding

“Sebagaimana rasa cinta Uways Al Qarny tatkala bertanya pada Umar bin Khattab”

TRANSINDONESIA.CO – Ibu…ketika helaan nafas, pertarungan jiwa dan raga tatkala melahirkan kita seakan jadi satu hal yang tak terbayar oleh kita andai ada segunung emas yang berbukit-bukit  kita haturkan padanya sebagai tanda bakti kita.

Sebagaimana rasa cinta Uways Al Qarny tatkala bertanya pada Umar bin Khattab, “Apakah cukup andai aku gendong ibuku dari Yaman menuju Mekah untuk berhaji dan menggendongkan kembali ke Yaman, bisa membalas semua jasa Ibuku yang telah melahirkan aku”.

Umar pun menjawab, “Tak akan pernah engkau bisa menggantikannya”.

Itulah Ibu, dengan keikhlasan dan keridhoannya melahirkan kita, membesarkan dan menghantarkan kita pada kehidupan rumah tangga kita.

Berbahagialah jika kita masih memilikinya, karena di sana pintu surga kita masih terbuka lebar.

Saya punya momen yang sangat saya ingat. Itu terjadi saat Idul Fitri 1989, saat itu saya baru kerja setahun. Hari-hari di lebaran sebelumnya boleh dikata kami lalui dengan kekurangan di tahun itu agak sedikit bernafas, karena Lebaran kali itu, hidangan di meja makan terasa istimewa berkat ayam kampung yang saya pelihara berkat saran mama. Bahkan ada cerita lucu tentang ayam itu.salah satunya saya namakan si Dogol, kakinya pincang dan mama tahu saya jago ngurut akhirnya mama pun meminta saya tuk mengurut kaki di dogol itu juga. Alhamdulilah, dia berjalan lancar lagi, hingga membesar dan di momen jelang Ied itu dia dipotong, jadi hidangan lezat kami.

Namun itulah mama, meski kita kekurangan dan momen lebaran adalah saat dimana kita harus menghaturkan sembah pada orang tua kita maka saat itu mama mengajak saya tuk mengunjungi Mbah Putri di kediamannya di Jl. Salak. Mbah saat itu senang sekali dikunjungi meski hanya kami berdua. Mama, meski dalam keadaan kurang ok, tapi sanggup menyembunyikan kondisinya.

Kemudian, ketika bertahun-tahun kemudian, kami setelah ada beberapa diantara kami punya kendaraan, berkunjung ke rumah Mbah dengan bersama-sama namun seiring perjalanan waktu kita berangkat dari rumah masing-masing.

Satu yang saya kenang saat di simbah, Tapi ketannya super lezat. Kita saat itu ngepelin dikit buat simbah. Mama, senang, bahwa anak-anaknya bisa ikut ngopeni ibunya itu.

Dari peristiwa itu mama seakan mengajarkan, selemah apapun kita , seterpuruk kita, ketika harus mengunjungi orang tua maka kunjungilah, meski dengan langkah yang terkadang harus merangkak pelan.

Selamat hari ibu, ma. Mama, ibu yang super tangguh, yang menjaga kami sendiri sejak 1980, saat papa pergi dari sisi kami semua. Berjuang dengan sekuat tenaga dengan strongly wonderwomennya.*

[Mirza Ichwanuddin]

Share
Leave a comment