Guyon Maton Pramono, Pena Pers Terbang Bergigi

“Pers sebagai pena terbang bergigi pada ujungnya di tungganggi kepentingan mengejar seolah akan memakan atau memberangus kebebasan Pers”

TRANSINDONESIA.CO – Pramono Pramoedjo, maestro karikatur Indonesia yang cerdas lugas menangkap situasi kehidupan sosial yang tidak sebagaimana mestinya. Lalu melakukan kritik dengan teknik gambar yang piawai penuh rasa humor yang tinggi namun tetap santun.

Pramomo sejak usia muda hingga saat ini sudah mulai memasuki usia senja tetap kritis kreatif inspiratif bagi siapa saja. Goresan penanya menunjukkan bahwa dirinya profesional. Konten dari gambar yang sarat dengan simbol menunjukkan kecerdasannya. Simbol simbol yang digunakan agar ada imajinasi permenungan dan dialog. Tentu saja tidak frontal, tidak sarkas atau kasar, dan ketajaman kritiknya dilembutkan dg gaya humor.

Apa yang dilakukan pramono merupakan guyon maton, bercanda namun ada pesan moral atau kritik yang disampaikan dalam visual yang lebih mudah ditangkap oleh publik. Pramono paham bahwa mengkritik itu bukan suatu kebencian atau ingin membunuh karakter atau fitnah melainkan suatu bentuk kepekaan kepedulian dan bela rasa bagi kemanusiaan. Pembelaan Pramono pada kaum yang termarjinalkan nampak di sotu spirit dan kualitas daya nalar dan kelembutan hatinya.

Kritik terhadap kemacetan lalu lintas jakarta pramono menggambarkan dalam jalan yamg bagai tumpukan atau lilitan kain di tugu monas yangvsedang diurai dengan banyak pendapat dari tambah terowongan, jembatan layang, jalan toll, hingga bedol kota. Semua digambarkan dengan jenaka.

Tentang pers sendiri digambarkan sebagai pena terbang bergigi pada ujung penanya yang di tungganggi kepentingan mengejar dan seolah akan memakan atau memberangus kebebasan pers.
Tentang Demokrasi yang digambarkan sebuah pohon yang di dedaunnannya ada ular sedangkan di bawahnya ada seorang ibu ibu yang menggambarkan sebagai rakyat sambil berkata; “Daun mulu kapan buahnya”, sambil menadahkan wadah mengharap ada buah jatuh.

Masih banyak lagi karya karya yang dibuatnya secara piawai, lugas, jleb dan jenaka, namun tetap santun. Kartun memang bukan obat dewa namun itu sebagai pelipur lara.

Kemaestroan pramono tidak diragukan lagi ribuan karyanya telah puluhan tahun memghiasi halaman media. Kecintaan dan kebanggaan akan dunia kartun ia tekuni puluhan tahun hingga di usia senjanya. Hatinya penuh kegembiraan dan hidupnya bersahaja.

Pramono patut diteladani bukan sebatas sebagai maestro saja namun sebagai kepala keluargapun ia menjadi suami dan ayah yang luarbiasa. Kecintaan kepada istrinyapun ia tunjukkan hingga detik ini dg seusia lebih dari 70 tahun masih merawat istrinya yg sedang sakit.

Mungkin dirinyapun sudah mulai renta, namun hati dan jiwanya bergembira. Ia buktikan kesetiaannya dan cintanya kepada istri dan keluarganya dalam keadaan untung dan malang, susah dan senang, dalam sehat ataupun sakit, dalam hidup dan kehidupannya, seperti apa yang ia ucapkan dalam janji perkawinannya.

Kondisi rumahnya pun mencerminkan rumah yang tertata rapi bersih refleksi juga dari karya karyanya. Hidup dijalaninya sebagai suatu panggilan atau jalan hidup yang mau tidak mau memerlukan kesetiaan ketekunan untuk piawai dalam menapaki dan mengatasi berbagai hambatan tantangan bahkan ancaman.

Menjadi kartunis sarat dengan tekanan di masa Orde Baru, seolah olah kebebasan berekspresinya dikebiri. Dirinyapun pernah dicari cari anggota tentara dan ia berkelit lalu tidak masuk kantor di rumah selama seminggu. Kelucuan hidup sang kartunis seringkali tidak kalah lucu dan karyanya. Kelakar hidup mungkin menjadi bagian kelucuan karya karyanya.

Kartun tidak sebatas membesarkan kepala namun juga memberi nyawa atau meniupkan aura jiwa. Ada salah satu karyanya yang menggambarkan dalang dan wayangnya berwajah raksasa dasa muka dan seolah olah oleh sang dalang raksasa tadi sebagai pahlawan walau menjadi ancaman atau perilakunya kontra produktif.

Gambar ini menunjukkan betapa dalang sangat menentukan dan berkuasa. Dari dalang wayang sampai dalang kerusuhan semua memiliki kekuatan apa yang dimainkan itu refleksi dalangnya.

Wayang tidak mampu berbuat sesuatu tanpa dalang. Dalangnya cakil maka Arjuna pun bisa dikalahkan Buto Cakil. Guyon Maton Pramono menjadi kelakar kehidupan dalam kritik secara karikatural yang akan menyadarkan menyentil bahkan menyengat dengan senyuman.

Semoga yang dikritik tidak marah namun mau berubah.

Jakarta, 12 12 2020

Oleh: Prof. Chrysnanda Dwi Laksana (Pemerhati Seni dan Budaya Indonesia)

Share
Leave a comment