Sistem Informasi Manajemen Aset Tanah dan Bangunan Berbasiskan Spasial

TRANSINDONESIA.CO – Dengan di undangkannya Undang-Undanng Nomor 32 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, merupakan landasan perubahan sistem pemerintahan daerah termasuk perimbangan keuangan negara pusat dan daerah yang mengarah kepada desentralisasi atau otonomi daerah yang luas nyata dan bertanggungjawab.

Dampak dari pemberlakukan UU ini maka daerah diberikan kewenangan yang besar untuk melakukan pengelolaan sumber dananya termasuk dalam hal mengoptimalisasikan dan memanfaatkan aset yang dimilikinya dengan cara menetapkan manajemen aset sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Aset Pemerintah Daerah memiliki beragam karakteristik serta berada dalam posisi geografis yang tersebar, sehingga pendekatan keruangan (spatial) dalam pengelolaan aset menjadi sangat penting. Beberapa jenis aset tertentu bersifat sensitif terhadap variabel ruang, yaitu aset tanah (land) dan bangunan. Kedua jenis aset ini memiliki nilai yang sangat signifikan dibandingkan aset-aset lainnya, serta mengandung potensi ekonomis yang sangat besar. Keberadaan aset harus terinventarisasi dengan baik, sehingga bisa terhindar dari tindakan-tindakan penyalahgunaan seperti penggelapan, penghilangan dan pengrusakan, karena aset  memiliki nilai ekonomi (economic value), nilai komersial (commercial value), dan nilai tukar (exchange value).

Dengan demikian, maka diperlukan  manajemen aset untuk tanah dan bangunan dilingkungan pemerintah daerah. Manajemen Aset pada dasarnya adalah suatu tindakan pengelolaan aset, agar aset tersebut bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil mungkin dan aset tersebut jangan sampai punah, kecuali memang sebaiknya harus dimusnahkan atau dihapuskan. Katagori aset daerah adalah semua harta kekayaan milik daerah baik barang berwujud maupun barang tak berwujud.

Salah satu bentuk pengelolaan aset adalah konsep real property, yaitu suatu hak perorangan atau badan hukum untuk memiliki dalam arti menguasai tanah dengan suatu hak atas tanah, misalnya hak milik atau hak guna bangunan berikut bangunan (permanen) yang didirikan diatasnya atau tanpa bangunan.

Pengertian penguasaan di atas perlu dibedakan antara penguasaannya secara fisik atas tanah dan/atau bangunan yang disebut real estate. Sedangkan real property merupakan kepemilikan sebagai konsep hukum (penguasaan secara yuridis) yang dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah (Siregar,2019).

Aset yang berupa tanah,bangunan, jalan,irigasi selain dapat disajikan secara tabel tetapi juga bisa disajikan secara spasial, karena aset-aset tersebut memiliki nilai spasial yang berupa koordinat. Sehingga akan memudahkan untuk melakukan monitoring dan pengawasan di dalam penggunaannya. Aset-aset bisa ditampilkan dengan informasi-informasi lainnya sesuai keperluan. Sebaran aset akan cepat disajikan,konsep pemetaan sebaran aset secara analog seharusnya sudah ditinggalkan. Aset-aset tersebut tidak cukup hanya diinventarisasi tetapi juga dari sisi yuridis harus legal, sehingga bisa terhindar dari penggugatan pihak lain. Letak Aset-aset harus memiliki keterkaitan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sehingga aset yang dimiliki akan memberikan nilai ekonomi yang tinggi.

Pemda sebagai penguasa tunggal di daerah harus menjadi regulator di dalam penguasaan tanah dan bangunan. Pemda akan memperoleh pendapatan atas pengelolaan aset terutama tanah dengan pola sewa dalam jangka panjang, menengah dan pendek dengan investor. Pengadaan aset yang sporadis tidak memberikan dampak nilai ekonomi aset yang maksimum.

Kondisi yang terjadi saat ini pengelolaan aset hanya sampai kepada inventarisasi dalam bentuk dokumen catatan secara analog, sehingga akan sulit untuk melakukan pemantauan aset. Menurut Siregar (2004) tahapan dalam manajemen aset ada 5 (lima) yakni (1) inventarisasi aset; (2) legal audit; (3) penilaian aset; (4) optimalisasi aset, dan (5) pengawasan dan pengendalian (sistem informasi manajemen aset).

Dengan adanya teknologi di bidang pemetaan secara digital,maka aset-aset dapat dipetakan karena setiap aset tanah dan bangunan memiliki nilai koordinat. Sistem informasi geografis (SIG) dengan menggunakan perangkat lunak tertentu mampu melakukan pengolahan aset berbasiskan spasial atau keruangan, sehingga dapat diketahui sebarannya, letaknya secara topografis, dan jenis vegetasinya misalnya berupa tanah kosong,kebun, sawah dan lain-lain termasuk dokumentasi berupa foto. Dengan maka akan memudahkan untuk melakukan pengawasan terhadap aset-aset tersebut.

Dampak yang terjadi akibat pengelolaan aset tanah dan bangunan yang buruk akan menimbulkan dampak hukum berupa hilangnya aset, penyalahgunaan, mengaburkan dan persengketaan. Akibatnya banyak Pemerintah Daerah yang mendapatkan penilaian buruk dari Badan Pemeriksaan Keuangan yaitu penilaian WDP (wajar dengan perkecualian). Sistem pengadaan aset tanah dan bangunan dan sumber perolehannya seperti pada gambar 1 dibawah ini:

Gambar 1: Skema Pengadaan Aset Tanah dan Bangunan

Konsep penginventarisasian aset secara analog dalam bentuk tabular tampa memilik nilai koordinat maka tidak akan dapat di petakan posisi sebarannya termasuk kondisi letak aset secara adminstratif atau kewilayahan, kondisi topografi dan vegetasinya.Pengelolaan aset secara spasial yaitu pengabungan antara data tabular (atribute) dengan peta yang sudah memiliki sistem koordinat yang baik dan benar. Secara konseptual pengelolaan aset dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis seperti pada gambar 2  dibawah ini:

Gambar 2: Kerangka Konseptual.

Penulis : Ir. Endang,M.Pd  [Mahasiswa MPWK, Universitas Pakuan Bogor – Widyaiswara Badan Informasi Geospasial (BIG),Assesor Bidang IG dan Kadastral]

Share
Leave a comment