Pemkab Simalungun Putus Beasiswa Mahasiswi IPB Mualaf, Ini Cerita Ibu Arnita

Kenapa aku dikeluarkan. Apa karena aku masuk Islam. Mamak kan tahu aku masuk Islam juga permisi. Jadi aku bukan radikal. Tolong mamak bantu aku

Institut Pertanian Bogor

TRANSINDONESIA.CO | MEDAN – Arnita Rodelina Turnip, mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) menuntut keadilan. Beasiswa Utusan Daerah (BUD) yang diterimanya diputus sejak 2016 silam tanpa alasan yang jelas.

Lisnawati Manik pun terus memperjuangkan dan kejelasan hak anaknya. Hari ini, Selasa 31 Juli 2018, dia datang ke kantor Ombudsman Perwakilan Sumut di Medan.

“Saya sudah ke Dinas Pendidikan tapi tidak ada jawaban. Stres dia karena pingin kuliah lagi,” kata Lisnawati saat ditemui awak media.

Arnita dan Lisnawati merupakan warga desa Bangun Raya, kecamatan Raya Kahean, kabupaten Simalungun, Sumut. Bersama 27 mahasiswa asal Simalungun lain, mereka mendapatkan BUD di IPB pada 2015.

Arnita pun berkuliah di IPB sejak 2015. Namun, dia hanya bisa mengikuti kuliah satu semester. “Semester 2 tahun 2016, dia tidak terima dana lagi, dia dikeluarkan dari BUD Simalungun. Dia langsung depresi,” ujar Lisnawati.

Tidak mendapat dana dari Pemkab, Arnita mencoba menutupi biaya kuliah dan hidupnya dengan bekerja. Mulai dari menjual donat, mengajar les siswa SD dan SMA, membuka usaha laundry, hingga berjualan online dia lakoni.

Namun, semua biaya tetap tidak tertutupi. Dia akhirnya dinonaktifkan sebagai mahasiswi IPB. Gadis itu pun tidak memberitahukan kondisinya kepada orangtuanya di kampung.

Puncaknya, ketika Lisnawati menelepon anak sulungnya itu. Arnita menjerit-jerit di ujung telepon. Dia mengaku stres.”Kenapa aku dikeluarkan. Apa karena aku masuk Islam. Mamak kan tahu aku masuk Islam juga permisi. Jadi aku bukan radikal. Tolong mamak bantu aku,” ujar Lisnawati menirukan anaknya.

Arnita memang mualaf. Dia berpindah keyakinan dan masuk Islam pada September 2015. Tahun 2016, beasiswanya dihentikan. Dia dikeluarkan sebagai penerima BUD. Arnita dan keluarganya pun tak pernah mendapatkan peringatan sebelumnya.

Padahal, Pemkab Simalungun menjanjikan beasiswa penuh hingga lulus S1 atau Indeks Prestasi (IP) minimal 2,50. Nilai akademik Arnita juga tergolong baik. Gadis itu pun tak pernah melanggar aturan.

Hal inilah yang membuat dia dan keluarganya berpikiran jika penghentiannya sebagai penerima BUD lantaran Arnita berpindah keyakinan. Anggapan ini diperkuat dengan berbagai cerita dari orang yang mereka dengar. “Saya sudah tanyakan ke Dinas Pendidikan. Mereka bilang masalahnya etika. Kalau memang masalahnya anggaran, kenapa yang lain cair. Apa memang soal pindah agama, bapak itu nggak bisa jawab,” kata Lisnawati.

Tidak puas ke Dinas Pendidikan Simalungun, Lisnawati pun langsung berangkat ke Bogor. Dia mengaku sudah bertemu pihak rektorat IPB untuk mempertanyakan status anaknya itu. “IPB masih memberikan kesempatan untuk anak saya. Supaya anak saya masuk dengan membayar UKT (uang kuliah tunggal) yang semester 2 sampai 6. Totalnya, Rp 44 juta,” ujar Lisnawati.

Masih ada harapan untuk kembali berkuliah, Lisnawati dan suaminya berupaya mencari dana. Bekerja sebagai petani, keduanya tidak memiliki uang sebanyak itu. Mereka lalu meminta bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) agar Pemkab Simalungun memberi kejelasan. Namun, Pemkab bergeming.

Lisnawati akhirnya mengadu ke Ombudsman RI di Jakarta. Ombudsman RI Perwakilan Sumut lalu menindaklanjutinya dengan memanggil Lisnawati beserta Kepala Dinas Pendidikan Simalungun hari ini. Lisnawati pun berharap akan segera mendapat kejelasan dan anaknya dapat segera kembali kuliah di IPB. “Akan saya lakukan apapun untuk anak saya ini,” ujar dia.[]

 

Sumber: Republika

Share
Leave a comment