Dari Masjid Azizi Tanjungpura [3]: Kota dan Hukum yang (Tak) Rabun Jauh Sejarah

Masjid Azizi Tanjungpura

TRANSINDONESIA.COMenengok Jauh Setting Syariat

Melayu adalah tempatnya berlaku dan kepatuhan syariat Islam, hal itu frasa yang tentu memiliki fundamen kuat dalam pikiran dan sejarah. Melayu adalah transmisi dan tumbuhnya syariat Islam, menjelaskan berlakunya syariat kepada masyarakat bangsanya, sebagai hukum yang dipatuhi (living laws). Dimana negeri dipimpin sulthan, di situlah syariat Islam tegak.  Itu bukti bahwa syariat lebih dahulu eksis, diakui dan dipatuhi, sebelum datang  importasi sistem hukum Eropah.

Mencermati itu tentu dengan mengubak helai demi helai sejarah dan tentu kitab-kitab monografi yang menjelaskannya, yang berusia lebih lama dari kedatangan takat kedatangan bangsa Eropah. Menarik untuk menelusuri lagi kitab-kitab yang menjadi rujukan kesulthanan, seperti Bustan as Salatin (taman para sulthan) karya Nuruddin Ar Raniri, asal Ranir (India), yang  mendapat perintah dari Iskandar Thani, seperti dilaporkan  Denys Lombard, 2014, dalam buku “Kerajaan Aceh”.

Kitab monografi agama, sejarah, dan kaidah pemerintahan itu isinya lengkap, mulai dari bab kejadian langit dan bumi, bab rasul-rasul dan raja-raja, bab raja-raja yang ‘adil dan pmbesar-pembesar yang cakap, sampai kepada bab akal dan ilmu. Kitab Bustan as Salatin  itu meluas dan berpengaruh kepada kebudayaan Melayu.   Kitab Bustan as Salatin itu banyak merujuk sumber lebih tua yakni Taj as Salatin (Mahkota Sulthan) yang berisi nilai keagamaan, pedoman raja memerintah, dan kaidah ketatanegaraan. Pengarangnya Bokhari al Jauhari.

Taj as Salatin terdiri 24 pasal, diantaranya pasal  5 menulis ikhwal kebesaran atau kemuliaan seorang raja, kekuasaan dan kedaulatan kerajaanya. Dikemukakan  syarat syarat menjadi raja, diantara syaratnya raja adalah  pemimpin  memiliki ilmu pengetahuan yang memadai mengenai masalah etika, pemerintahan politik, dan agama.

Dalam Pasal  ke-9, menceritakan raja-raja yang zalim dan kepada orang-orang yang menambahkan peraturan yang telah ditentukan. Nabi Muhammad tidak akan memberikan syafaat, perlindungan, pertama kepada raja-raja yang lalim dan kepada orang-orang yang menambah-nambah akan peraturan yang telah ditentukan. Pasal  ke-15 menerangkan tentang pemimpin yang bijaksana.yang terpenting dalam pasal ini ialah pendidikan ketinggian budi yang menuju kepada kepuasan batin. Pasal ke-20 tentang hubungan rakyat yang beragama Islam dengan dengan raja. Pasal ke-21  hubungan rakyat yang tidak beragama Islam dengan raja. Pasal ke-22  mengenai kedermawanan dan kemurahan hati. Pasal  ke-23  tentang menepati janji dan perjanjian. Yang sangat terpuji adalah raja yang dapat memenuhi janjinya. Maka rakyatnya pun akan tetap terikat dan pertjaja kepadanya (Sejarah dan Isi Kitab Taj As Salatin).

Kitab Taj as Salatin  diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda olleh Roosda van Eijisinga dan ke dalam bahasa Prancis oleh A, Marre untuk pembaca Eropah. Begitu kuat pengaruh Taj as Salatin yang meluas kepada sulthan-sulthan Melayu. Seperti kata Rafless, pada zamannya sulthan Singapura memerintah dengan terus terang mengacu kepada  kitab Taj as Salatin  (Danys Lombar, 2014).

Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, sekretaris Rafless, sangat menyanjung Taj as Salatin (Amin Sweeney, “Karya lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Jilid 2,  2006). Dia mengaku memahami jalan berfikir alias watak (politik) Raffles dengan asas-asas ilmu filsafati yang ditemukannya dalam kitab Taj as Salatin (Danys Lombar, 2014).   Pada abad ke-19, adaptasi-adaptasi masih dibaca di kraton Yogyakarta dan Surakarta dalam versi Jawa yang disebut Serat Tajus Salatin.

Narasi di atas hanya sebuah setting syariat pada saat itu yang diperkirakan turut mempengaruhi kepatuhan hukum yang berlaku di negeri Melayu.

[Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute,  Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]

Share
Leave a comment