DP Nol, Bisa!

TRANSINDONESIA.CO – Pembaca yang bersemangat, tatkala digemakan jurus DP Rp0,000,- (Nol), sontak saya akur dan mendorongnya menyediakan rumah terjangkau.Walaupun terminologi lebih lengkap tidak cuma rumah terjangkau (affordable) tapi rumah yang layak, dan untuk semua (for all).

Dalam kebudayaan manapun, tak ada orang yang tak bertempat tinggal alias bermukim, karenanya hemat saya, selain makhluk sosial dan makhuk ekonomi, manusia adalah ‘makhuk bermukim’.

Dalam konteks pemenuhan hak bertempat tinggal versi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP), saya lebih suka istilah perumahan rakyat bukan properti.

Sebab perumahan rakyat (Pera) lebih kuat konsep dan pemihakannya. Lagi pula hingga kini belum ada UU Properti namun UU PKP dan dan UU Rumah Susun, bukan UU Apartemen.

Konteks pemenuhan hak bertempat tinggal, tidak melulu sebagai pemilikan rumah namun penghunian yang terjangkau, layak dan untuk semua. Karenanya sangat tepat jika ada Pera yang dimiliki dan dikelola Pemerintah/Pemda untuk low income group, seperti konsepsi rusunawa, rumah boro, sewa beli, dan inovasi lain.

Pera jenis ini dikenali dengan perumahan publik (public housing) karena berbasis penghunian bukan melulu kepemilikan.

Ilustrasi

Seperti halnya angkutan publik, rumah sakit umum, dan fasilitas publik lain yang dimiliki pemerintah. Dari sisi angka defisit rumah alias backlog, kua tiori memang dibedakan antara backlog kepemilikan dengan backlog penghunian. Untuk Pera bagi low income group alias MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) mesti mendekatinya dengan prinsip paramount consideration, pertimbangan puncaknya untuk MBR bukan yang lain.

Apalagi Pera adalah hak dasar dari 3 (tiga) serangkai pangan, papan, sandang. Dalam terminologi hak asasi manusia (HAM) khususnya hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob), pemenuhannya dengan progresively and full achievement.

Di sinilah justifikasi jurus DP Nol itu. Hemat saya program DP Nol tidak berdiri sendiri, tapi bertemali dengan apa yang oleh Zulfi Syarif Koto, Ketua HUD (Housing and Urban Development (HUD) Institute disebut dengan 5 KDHB

(Komponen Dasar Hak Bermukim): tata ruang, penyediaan tanah, insfrastruktur dasar, pembiayaan, bangunan rumah itu sendiri. Tersebab itu, DP Nol menjadi titik temu yang efektif untuk menggeliatkan anasir lain terkait Pera yang bersimpul dalam 5 KDHB.

Pun demikian, DP Nol itu faktual, historis, pro MBR dan memiliki dasar juridis formil. Juga sangat mungkin mengatasi 3 (tiga) masalah perumahan dan permukiman: backlog, kawasan kumuh, rumah tidak layak huni (RTLH).

Apalagi, saat ini PSR (program sejuta rumah) yang digiatkan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan skim pembiayaan yang kita sebut saja “pola 5-4-1”. Yakni bunga KPR FLPP 5% (dari sebelumnya 7,25% atau diturunkan 2,5%), cash bantuan uang muka Rp4 juta dan uang muka 1% sudah berjalan dengan segala dinamikanya.

Jika dengan PSR, bunga FLPP bisa turun jadi 5%, maka rasional jika dilanjutkan sampai dengan DP Nol.

Selain itu, PSR sudah pula mengiatkan program BUM (Bantuan Uang Muka), bantuan PSU (prasarana, sarana dan utilitas) yang dasarnya dan praktiknya sudah ada. Pembiayaan Pera dengan skim “pola 5-4-1”, pun-demikian DP Nol, inilah yang saya kenali sebagai inovasi pembiayaan (innovative financing) bagi low income group alias MBR.

Namun, defenisi MBR perlu diperjelas dan dipertajam, apakah berbasis pendapatan atau pengeluaran. Pengelompokan MBR juga perlu agar tidak menyisakan perbedaan hak.

Ringkasnya, mesti berbeda antara MBR level bawah (berpendapatan kurang 2 jutaan) dengan MBR kelas tengah (berpendapatan 2 sampai 4 jutaan) dengan MBR atas (berpendapatan di atas 4 jutaan).

Apalagi digarap untuk target MBR non formal/non fixed income dengan skim multy finance berbasis tabungan alias tak melulu pembiayaan versi KPR formal dengan kelembagaan pembiayaan ala perbankan saja.

Sejawat senior saya di HUD Institute, Dr.Erica Soeroto, pakar pembiayaan perumahan menawarkan tesis memperluas jumlah dan jenis lembaga keuangan penyalur KPR utamanya non bank financial institution (dahulu lembaga keuangan bukan bank/LKBB) untuk melayani MBR.

Sebab, masih menurut Erica, pembiayaan perumahan relatif tidak berkembang (tidak inovatif?), karena KPR didominasi perbankan, sebagian besar melayani masyatakat atas dan menengah.

Hemat saya DP Nol adalah satu jejak dari inovasi pembiayaan yang berdasar, yang menjadi pintu besar untuk menggerakkan KDHB lainnya sehingga mesti didukung karena dirancang demi MBR.

Sangat tepat jika Pemprov DKI dengan Anies-Sandi sebagai pemimpin baru Jakarta didorong melakukan perubahan kebijakan agar hak bermukim tuntas di Jakarta. Ini 5 usul saya:

Pertama, memastikan realisasi tata ruang bagi Pera. Selain untuk kepastian ruang juga menghindari ‘penyingkiran’ warga dari akarnya.

Kedua, segera membentuk lembaga bank tanah (land bank) untuk perumahan rakyat. Dengan mengoptimalkan tanah terlantar dan bahkan mengefektifkan kewajiban pengembang menyediakan rusun. Menurut Kepgub DKI Jakarta No.540/1990, pemohon diwajibkan membiayai dan membangun rumah susun murah beserta fasilitasnya seluas 20% dari areal manfaat secara komersil.

Menurut data, masih 2.545 pengembang belum memenuhi kewajiban (kompas.com, 24-08-2014). Setarikan nafas jurus penggusuran yang berdalil sebagai Penataan dan Peningkatan Kualitas Kawasan Kumuh (sebut saja “PPKKK”) mesti dikoreksi. Jangan sampai PPKKK justru vis a vis dengan pemenuhan hak bermukim.

Andaipun PPKK , mestinya dengan pendekatan yang humanis, dialogis dan mengoptimalkan Konsolidasi tanah (Land Consolidation/LC).

Jangan sampai demi PPKKK menjadi konflik perebutan ruang yang tajam ke bawah. Karenanya, urusan pemerintah daerah ikhwal PPKKK dalam lampiran UU Pemda perlu dimaknai lebih pro MBR dan optimalkan LC.

Ketiga, membuat lebih banyak dan variatif skim pembiayaan inovatif Pera bagi MBR non formal/non fixed income berbasis komunitas.

Keempat, Urban Renewal untuk permukiman dan berbasis kawasan dengan mengerakkan keswadayaan alias penguatan perumahan swadaya plus pemberdayaan masyarakat.

Patut mengembangkan program bantuan stimuan perumahan swadaya yang berbasis komunitas, karena tidak semua kebutuhan rumah hanya diatasi dengan rumah formal yang dibeli di pasar formal.

Arah kebijakan Pera yang cenderung perumahan formal, termasuk dengan terbitnya PP No. 64/2016, perlu diimbangi dengan perumahan swadaya seperti halnya Urban Renewal (UR), karena di sanalah masa depan perumahan rakyat karena ada potensi besar yang siap bergeliat dengan UR.

Majalah Slum of Hope mencuplik kisah film Slumdog Millionaire, dengan latar sosial kota gubuk (shantytowns) Mumbai, tak hanya menceritakan pahlawan datang dari bawah, tetapi juga belajar dari kumuh.

Bukan hanya dari sekolah dan ketersediaan modal. Pun, warga miskin kota disegani sang Hernando de Soto karena potensi kapitalnya, walaupun masih banyak mengendap sebagai “kapital mati” (death capital).

Kelima, bantuan pembangunan infrastruktur permukiman dan kawasan dengan melibatkan peran serta ataupun creating share values (CSV) dari pelaku usaha. Tersebab itu otoritas kota berlakon sebagai pemberdaya dan menjadikan kota yang memberdayakan warganya menjadi “good citizen”. Otoritas kota bukan justru mengeluh, memvonis dan menuding warga sendiri namun memberdayakannya menjadi good citizen.

Pun demikian kota dibangun inklusif menjadi Kota Inklusif bukan sekadar “beutifikasi” kota. Otoritas kota semesti menghindari penyingkiran struktural warga tak beruntung, yang dalam Suistainable Development Goals (SDG) dikenal prinsip “Leaving No One Behind” tidak seorangpun tertinggal.

Kembali ke soal DP Nol, hemat saya jurus itu legal formalnya kuat, historis, pro MBR dan relevan dengan mengacu UU 1/2011 Pasal 54 ayat 1, 2, 3 dan PP 14/2016 Pasal 37 ayat 1, 2, 3 berikut sejumlah kerangka regulasi.

DP Nol menjadi triger program Pera layak terjangkau menjadi Progam Strategis Nasional bukan hanya proyek strategis nasional (vide Perpres 3/2016).

Konklusinya? Demi MBR untuk memenuhi hak bermukim dengan inovative financing dan leadership yang memberdayakan warga, saya Muhammad Joni, haqqul yaqin: DP Nol Bisa!

[Muhammad Joni – Ketua MKI/Masyarakat Konstitusi Indonesia]

Share
Leave a comment