Program Sejuta Rumah, Bukan Hanya Rumah

TRANSINDONESIA.CO – Kalau anda pernah mendengar adagium Nachtwatcherstaat/Negara Penjaga Malam (NPM), jangan tergopoh menilainya sebagai kekolotan. Jangan-jangan NPM masih tersisa sampai sekarang.

NPM itu menyindir kelakuan negara yang mementingkan keamanan semata. Kontrasnya, timbul Negara Kesejahteraan (welfare state) yang dikenal juga dengan Negara Pengurus (Verzorgingsstaat), yakni negara yang mengurusi kesejahteraan rakyat.

Negara pengurus melayani dengan dimensi pelayanan publik. Bukan hanya capaian produksi kuantitatif  yang alpa hak kesejahteraan sosial. Apalagi hanya dianggap program atau malah proyek.

Akankah PSR hanya membangun rumah? Rumah bertemali isu kesejahteraan lahir dan batin, lihatlah Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, UU No.1/2011, pun demikian hak ekonomi, sosial budaya (ecosoc rights) dan Suistainable Development Goals (SDGs). Program Sejuta Rumah (PSR) bukan sekadar pabrikasi rumah sebagai barang konsumsi.

Penulis, Muhammad Joni.[DOK]
Penulis, Muhammad Joni.[DOK]
Tatkala tahun tutup tahun 2016,  diwartakan Program Sejuta Rumah (PSR)  telah menyediakan total realisasi  mencapai angka 805.169 unit. Rinciannya: rumah MBR  569.382 unit. Sedangkan rumah non MBR terbangun sebanyak 235.787 unit rumah.

Dari data itu, realisasi rumah MBR (71%) dan rumah non MBR (29%). Tidak seluruhnya rumah MBR yang secara juridis-formal justru menjadi kewajiban Pemerintah versi Pasal 54 ayat (1) UU No.1/2011.

Karenanya perlu didefenisikan kelompok sasaran PSR, apakah konsisten  kepada MBR? Atau naik ke atas mencakup  non MBR, atau turun ke bawah menyentuh  warga miskin?  Namun, UU No.1/2011 tegas menyebutkan Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Bukan yang non MBR dan warga miskin.

Memasukkan non MBR dalam PSR, bisa jadi hanya strategi mendorong gairah partisipasi pelaku pembangunan dalam PSR. Mestinya, relaksasi aturan hunian berimbang juga diterapkan sebagai strategi PSR. Pemerintah mesti dibantu menjawab  tantangan  apa defenisi MBR dan dimana letaknya?  Apakah MBR alias low income group itu dari sisi pendapatan atau pembelanjaan? UU No.1/2011   menyebut MBR sebagai “keterbatasan daya beli”.Gagasan HUD Institute menginisiasi “MBR Poll”, termasuk redefenisi MBR, patut didorong agar PSR makin tepat sasaran.

Masih ada  pertanyaan lain. Apakah capaian PSR 2016 untuk MBR sudah setepatnya sasaran? Bukankah fasilitas  likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) menjangkau hanya MBR formal? FLPP perlu dilengkapi dengan pembiayaan  mikro perumahan MBR non formal dan pendapatan tidak tetap (non fixed income).

Erica Soeroto menawarkan perlunya memperluas jumlah dan jenis lembaga keuangan penyalur KPR terutama  non bank financial institution (NBFI) yang khusus  melayani MBR, termasuk yang berpenghasilan tidak tetap.

Soal lain,  mari  telaah data pembangunan rumah dari Kementerian/Lembaga sebanyak 16.923 unit, Pemda 120.180 unit, pengembang perumahan sebanyak 298.333 unit rumah bersubsidi yang terdiri dari skim subsidi KPR FLPP (120.059 unit), KPR Syariah (7.311 unit), Subsidi Selisih Bunga (SSB) sebanyak 65.902 unit dan kredit konstruksi 105.061 unit.

Dari data itu, ada gap antara jumlah penerima FLPP dengan SSB. Artinya, FLPP dan SSB tidak satu paket bagi MBR. Paket kebijakan pembiayaan  “pola 5-4-1”  bukan terintegrasi pada tiap MBR tetapi terpisah dengan SSB.  Ada yang terima FLPP (rate 5%), tapi tidak menerima SSB dan Bantuan Uang Muka (BUM), begitu pula sebaliknya. Lagi, Pemerintah mesti pastikan pembiayaan “pola 5-4-1” dinikmati setiap MBR, bukan parsial.

Pertanyaan lain yang diajukan terkait indikator kepenghunian, apakah rumah tersebut sudah selesai dibangun? Atau hanya realisasi  skim pembiayaan? Kalaupun sudah dibangun, apakah sudah pasti ditempati MBR? Sudahkah tersedia anasir utama seperti listrik dan air bersih, yang termasuk indikator PSU (prasarana, sarana dan utilitas) versi Pasal 54 ayat (3) UU No.1/2011. Patut disayangkan, mengapa angka PSU menurun setakat PSR jadi proyek strategis nasional?

Rumah sebagai kebutuhan dasar mensyaratkan indikator lingkungan yang sehat dan aman dengan tersedianya PSU untuk menyelenggarakan kehidupan penduduk dalam keluarga. Jika merujuk Permenpera No. 22/2008, ada 6 indikator PSU:  jalan, sanitasi, drainase dan pengendalian banjir, persampahan, air minum, listrik. Idemditto SDGs yang mencakup air bersih dan sanitasi  (clean water and sanitation) dan  kota berkelanjutan (suistainable cities).UU No.1/2011 juga menyebutkan perumahan itu dilengkapi PSU agar rumah layak huni.

Pertanyaan apakah rumah yang dibangun sudah dihuni sungguh  relevan, sebab  kebutuhan  rumah bagi MBR (maupun non MBR) bukan sebagai pabrikasi  bangunan rumah, namun  rumah yang terjangkau dan layak huni  dengan  lingkungan sehat dan aman  berikut tersedianya PSU. Jika merujuk  indikator pelayanan dasar dalam standar pelayanan minimum (SPM), rumah terjangkau dan layak huni dengan lingkungan sehat dan aman dengan nilai indikator 100%.

Tersebab itu, mengatasi soal sambungan listrik dan air bersih, Presiden mesti perintahkan perusahaan listrik negara (PLN) dan perusahaan air minum daerah dalam optimalisasi PSR. Karenanya PSR mesti dijadikan program  strategis nasional bukan hanya proyek strategis nasional  (Perpres No.3/2016). Penulis membayangkan PSR sebagai  program strategis nasional  yang meluas, seperti dulu  gerakan nasional keluarga berencana (KB) yang melibatkat potensi semua. Inikah inisiatif creating shared value (CSV) untuk perumahan MBR?

Kembali ke soal PSR dan Negara Pengurus. Tentu saja penyediaan perumahan MBR,  tidak sebatas pabrikasi rumah, namun dengan memastikan indikator rumah terjangkau dan layak huni,  dan indikator lingkungan yang sehat dan aman dengan PSU.  Sebab,  rumah bukan hanya barang  konsumsi biasa, namun tempat keluarga membangun kehidupan sosialnya membenihkan  kesejahteraan lahir batin.

Dari ajaran Negara Pengurus, maka pembangunan  bukan hanya pabrikasi rumah yang terjangkau,  namun rumah yang layak huni mencakup lingkungan yang sehat dan aman dengan PSU untuk membina keluarga.  Pembangunan rumah MBR yang terjangkau dan layak huni dengan pembiayaan “pola 5-4-1”,  tak terpisahkan dari pelayanan dasar  atas lingkungan yang sehat dan aman dengan didukung PSU.

Karenanya, PSR bukan hanya  pengadaan rumah yang terjangkau  namun rumah  yang layak huni berikut lingkungan sehat dan aman. Tepat jika optimalisasi penyediaan rumah MBR dalam PSR setarikan nafas dengan peningkatan bantuan PSU. Pembaca yang bersemangat:  jika PSR 2017 hendak ditingkatkan, mengapa PSU cenderung terus turun menukik cunam?

[Muhammad Joni – Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]

Share
Leave a comment