TAJUK: Jurus Tak Ada Niat, Maaf-Air Mata-Keluarga Angkat
TRANSINDONESIA.CO – Tak selamanya air mata menuai simpati. Bisa pula sebaliknya. Cerita anak angkat tak selamanya menuai pilu, malah bisa menggelikan.
Ada yang menarik dan sekaligus ironis dalam sesi eksepsi Ahok di hadapan PN Jakarta Utara yang mengadilinya sebagai terdakwa penistaan agama. Yakni ikhwal pengakuannya memiliki keluarga angkat orang pribumi muslim. Entah benar atau tidak. Namun kentara sistematis dipakai untuk menguncah perasaan publik bahwa dia adalah kita.
Jurus eksepsi dengan cerita keluarga angkat muslim itu kental dramatisasi. Faktor itu bukan alasan pemaaf atau alasan pembenar yang bisa melepaskan dari delik. Mengapa itu dipakai, kalau tidak hendak mengaduk perasaan publik?
Agaknya lakon permohonan maaf, air mata dan keluarga angkat bagian tak terpisahkan dari ikhtiar bahwa Ahok tak punya niat menistakan agama Islam. Padahal, jurus itu telah terbantah dalam tingkat penyidikan dan penuntutan namun dicoba lagi dalam persidangan. Walaupun kontroversial, ironisnya jurus tak ada niat itu manjur dalam kasus sumber waras di KPK dan mementahkan temuan BPK.
Rumusan delik Pasal 156a KUHP mengandung anasir “dengan sengaja”. Apakah semua sarjana hukum lupa bahwa yang diancam pidana adalah perbuatan nyata Pasal 156a KUHP. Pun demikian, tiori kesalahan psikologis dipatahkan dengan ajaran kesengajaan.
Sengaja (opzet) sama dengan “dikehendaki dan diketahui” (willens en wetens). Merujuk pendapat jumhur pakar hukum pidana, “sengaja” itu pengertian yang tidak berwarna. Artinya, tidak perlu pelaku mengetahui perbuatan itu dilarang oleh undang-undang. Tidak perlu dibuktikan bahwa pelaku mengetahui perbuatan itu dapat dipidana, ataupun dilarang atau tidak bermoral.
Niat adalah kesengajaan itu sendiri. Kesengajaan itu bisa dibuktikan dengan perbuatan pelaku bahkan perbuatan pendahuluan. Mari kita membatin, apakah begitu mudah mengajak lupa pada ajaran kesengajaan?
Terbaca sudah skenario utama Ahok dengan jurus tidak ada niat, yang dibangun dengan lakon maaf, air mata dan cerita relasi keluarga angkat pribumi Muslim.
Bagi yang paham hukum pengangkatan anak, mudah mengerti bahwa tak ada lembaga pengangkatan anak dalam hukum Islam, karena tidak menyambungkan nasab atau hubungan nasab. Nasab alias hubungan darah tak bisa diperjanjikan seperti kontrak perdata. Merujuk hukum positif versi UU No. 23 Tahun 2002 mewajibkan pengangatan anak dengan syarat seagama dan tidak memutuskan nasab.
Kupasan soal air mata dan keluarga angkat ini bukan nyinyir yang berlebihan. Tetapi hendak menyigi betapa dramatisasi eksepsi tetap dihadirkan. Namun, anasir air mata yang biasanya berkonotasi penyesalan dan disempurnakan dengan permohonan maaf, tidak konsisten dengan eksepsinya yang menyerang balik.
Untuk apa Ahok menyesal dan minta maaf jika balik menuduh? Menuding politisi dibalik perkara. Dan, menyebut tekanan massa menaikkan perkaranya. Padahal, petinggi polisi maupun kejaksaan mengaku bekerja profesional dan menampik adanya tekanan.
Ketahuilah, Aksi Bela Islam 411 dan 212 adalah ungkapan tulus dan super damai ikhwal perasaan keadilan masyarakat. Hakim justru wajib menggali perasaan keadilan masyarakat itu. Keliru paradigmatik menganggapnya sebagai tekanan, apalagi dengan bayaran murah pula. Perasaan keadilan yang tulus itu diungkapkan dengan teriakan “Merdeka” dan “Allahu Akbar”. [Muhammad Joni]