Realisasi Penuh Hak-Hak Anak: Itu Kewajiban Negara atau Hadiah Harapan? (3)

TRANSINDONESIA.CO – Hak anak (child rights) adalah hak asasi manusia (human rights). Meraka bukan manuia “kelas dua” sehingga tak tepat  urusan perlindungan hak anak  dinomorduakan atau seakan dianggap  “HAM Kelas Dua”.

Walaupun dalam  teks hukum  dijamin hak-hak anak atas   hidup dan  kelangsungan hidup,  tumbuh kembang,  perlindungan, dan  partisipasi,  namun, ironisnya masih kasat mata dan vulgar anak-anak dihantam kekerasan, dihisap eksploitasi (ekonomi dan seksual),  berkonflik hukum,  dan berbagai situasi darurat.

Semenjak 1990 Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak dan memiliki tahun 2002 disahkan UU Perlindungan Anak, tetapi mengapa derita anak sang “putra putri kehidupan” itu  masih  kentara  di negeri ini. Akankah teks hukum yang lunglai atau perkakas Negara tidak efektif bekerja?

Dalam suasana  Hari HAM 10 Desember dan Hari Anak Universal 20 November, TRANSINDONESIA.CO menurunkan serial tulisan bertitel “Realisasi Penuh Hak-hak Anak: Itu Kewajiban Negara atau Hadiah Harapan?” yang disiapkan Muhammad Joni,  yang berprofesi advokat dan aktif dalam ikhtiar perlindungan anak di Indonesia.

Muhammad Joni
Muhammad Joni

Mengapa Hak Anak itu Universal?

Adakah yang tak menyukai anak di hamparan muka bumi ini? Akankah ada yang tak memasuki zona bahagia menemui anak-anak? Haqqul yaqin, tidak ada. Tersebab itu, dengan cara sederhana bisa menerima bahwa perlindungan anak itu universal. Pun demikian hak-hak anak.

Konvensi Hak Anak (KHA) sebai suatu konvensi HAM internasional bukan lahir secara mendadak. KHA yang secara formal disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan Resolusi 44/25pada tanggal 20 November 1989,  mulai mempunyai kekuatan memaksa  (entered in to force ) pada tanggal 2 September 1990, yakni setelah diratifikasi oleh 20 negara peserta dengan menyerahkan instrument of ratification. Hal ini mengacu kepada ketentuan paal 49 ayat (1) KHA.

Pemerintah Amerika Serikat memainkan peran aktif dalam penyusunan KHA dan sudah menandatanganinya (signatory) pada 16 Februari 1995, tetapi belum meratifikasinya.  Penolakan terhadap Konvensi ini sebagian disebabkan oleh apa yang dilihat sebagai potensi konflik dengan Konstitusi dan karena oposisi oleh beberapa politik dan keagamaan yang konservatif.

The Heritage Foundation melihat konflik sebagai masalah kontrol nasional atas kebijakan domestik.  Presiden USA Barack Obama menggambarkan kegagalan untuk meratifikasi Konvensi sebagai ‘memalukan’ dan telah berjanji untuk meninjau hal ini (http://en.wikipedia.org/wiki/Convention_on_the_Rights_of_the_Child).

Share
Leave a comment