Realisasi Penuh Hak-Hak Anak: Itu Kewajiban Negara atau Hadiah Harapan? (2)

TRANSINDONESIA.CO – Hak anak (child rights) adalah hak asasi manusia (human rights). Meraka bukan manuia “kelas dua” sehingga tak tepat  urusan perlindungan hak anak  dinomorduakan atau seakan dianggap  “HAM Kelas Dua”.

Walaupun dalam  teks hukum  dijamin hak-hak anak atas   hidup dan  kelangsungan hidup,  tumbuh kembang,  perlindungan, dan  partisipasi,  namun, ironisnya masih kasat mata dan vulgar anak-anak dihantam kekerasan, dihisap eksploitasi (ekonomi dan seksual),  berkonflik hukum,  dan berbagai situasi darurat.

Semenjak 1990 Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak dan memiliki tahun 2002 disahkan UU Perlindungan Anak, tetapi mengapa derita anak sang “putra putri kehidupan” itu  masih  kentara  di negeri ini.

Akankah teks hukum yang lunglai atau perkakas Negara tidak efektif bekerja? Dalam suasana  Hari HAM 10 Desember dan Hari Anak Universal 20 November, TRANSINDONESIA.CO menurunkan serial tulisan bertitel “Realisasi Penuh Hak-hak Anak: Itu Kewajiban Negara atau Hadiah Harapan?” yang disiapkan Muhammad Joni,  yang berprofesi advokat dan aktif dalam ikhtiar perlindungan anak di Indonesia.

Ilustrasi
Ilustrasi

Mengapa Konvensi Hak Anak?

“Anak-anak belakangan (makan)”, demikian kira-kira ungkapan  yang dianggap biasa dalam bahasa lokal. Itukah mengindikasikan penomorduaan hak anak?  Harus diperiksa, masih banyak  bentuk-bentuk lokal-tradisional pengabaian hak anak yang justru dianggap normal, bahkan bisa tersembunyi dalam hukum domestik. Lantas mengapa Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak?

Tentu ada sebab yang kuat, dan argumentasi yang universal diterima, mengapa perlu mengadopsi instrumen hukum internasional yang bertitel Konvensi Hak Anak.  Itulah norma universal yang diakuai bangsa-bangsa beradab (civilized nations).  Tentu, semaju apapun sebuah negara,  tak bisa diharap dari anak muda belia, bahkan bayi dan balita yang masih belum bisa berbuat melindungi diri sendiri, seperti orang dewasa. Selain anak-anak nihil dari kekuasaan dan otoritas membuat norma dan kebijakan.

Anak-anak yang masih tergantung dengan orang lain  atau belum mandiri, sudah barang tentu berbeda dengan orang dewasa.  Berbeda dengan orang dewasa,  tak seindah dan searif penempatan anak dalam pemikiran bjak trandisional itu, ternyata pada  dunia  kenyataan anak-anak kerap menjadi sasaran dan korban  kekerasan dengan dampak yang panjang dan permanen.

Share
Leave a comment