Menyoal Dokter Layanan Primer (1): Merusak Sistem!

TRANSINDONESIA.CO – Berseragam  jaket  hijau  khas  Ikatan Dokter Indonesia (IDI),  dipimpin  Ketua Umum IDI Prof.Dr. Ilham O. Marsis, Sp.OG dan jajaran pengurus IDI pusat dan daerah menemui anggota badan legislasi (baleg) DPR.   Hajatnya meminta Baleg DPR mengamandemen UU No. 20 Tahun 2013 tentag Pendidikan Kedokteran (“UU Dikdok”) yang menormakan “kelas baru” dokter layanan primer.   Diwartakan,  pimpinan Baleg DPR mengatakan seluruh pimpinan fraksi DPR menyetujui revisi UU Dikdok, khususnya mengenai pengaturan  dokter layanan primer.

Selama ini publik hanya mengenal istilah dokter dan dokter spesialis. Apa pula dokter layanan primer (DLP) itu? Seakan kelas baru, DLP  yang  dibentuk dengan UU Dikdok itu diklaim   hadir untuk melayani pasien pada layanan primer di garda depan. Apakah dokter (umum) yang  di luar negeri disebut  General Practitioner (GP) tak mampu melakukan layanan  primer?  Bukankah  layanan primer itu adalah sistem layanan kesehatan saja?

Jika dengan UU Dikdok  layanan primer dilakukan dengan mewajibkan pendidikan DLP yang setara spesialis namun bukan spesialis, bukankah  itu berarti  menghambat pelayanan yang dilakukan dokter umum?  Sebab,  dengan UU Dikdok untuk menjadi DLP  maka lulusan pendidikan profesi dokter mesti kuliah lagi pendidikan DLP yang justru berbiaya tidak murah dan mengikuti pendidikan DLP dengan mekanisme pasar pendidikan dokter yang tidak mensubsidi mahasiswa DLP itu sendiri.

Muhammad Joni
Muhammad Joni

Padahal nantinya lulusan DLP yang  diproyeksi  menjadi DLP sebagai garda  terdepan  program Jaminan  Kesehatan Nasional (JKN), namun  dengan keputusan sepihak  hanya dibayar sesuai “tarif sosial” versi kebijakan JKN.

Akibat dari pendidikan DLP dan kelas baru DLP itu, maka terhambat akses pelayanan kesehatan masyarakat oleh dokter (umum) atau GP yang mestinya sudah bisa bekerja dan memiliki kompetensi melayani pasien di garda terdepan.

Kalau dalam UU Praktik Kedokteran (UU Prakdok) maupun UU Tenaga Kesehatan (UU Nakes) hanya mengenal dokter dan dokter spesialis,  namun ajaibnya  seakan mengambil jalan sendiri dan tak terkoneksi  dengan kedua UU  utama dalam praktik kedokteran itu.  Justru UU Dikdok  soor sendiri  tanpa justifikasi organisasi profesi kedokteran  membuat sendiri kelas baru DLP.

Akibatnya, pendidikan profesi dokter pun semakin panjang  dan  pelayanan kepada pasien  di garda depan alias layanan primer terhambat atau tertunda dengan adanya syarat  mesti mengikuti pendidikan DLP. Sebab, UU Dikdok dibuat tanpa memperhatikan  UU Prakdok dan UU Nakes, yang semestinya mengacu sempurna kepada sistem yang dikembangkan kedua UU  itu,  bukan justru menegasikannya.

Tersebab itu,  pembentukan  DLP bukan hanya  tidak valid dan menciptakan  kekacauan tatanan hukum praktik kedokteran,  namun juga tidak kompatibel  dengan  sistem registrasi dokter yang dilakukan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Menurut UU Prakdok,  defenisi profesi dokter adalah dokter dan dokter spesialis. Sama sekali tidak dikenal DLP.  Setiap dokter dan dokter spesialis, demikian pula dokter gigi dan dokter gigi spesialis wajib memperoleh STR (Surat Tanda Registrasi) yang diterbitkan KKI. Lantas dimanakah letaknya registrasi DLP?

Coba periksa,   sistem registrasi dokter dan dokter gigi pada KKI  sama sekali tidak mengakui  dan tidak memiliki  slot STR untuk DLP.  Artinya, DLP  tidak kompatibel  dengan sistem registrasi dokter/dokter gigi di Indonesia yang sudah berjalan ajeg, tertib dan diakui masyarakat internasional.

Konsekwensinya, andaipun dibuat kelas baru DLP dengan UU Dikdok, idemditto  dibentuknya program studi (prodi) DLP di Fakultas Kedokteran,  namun untuk apa dan dibawa ke mana lulusan pendidikan DLP itu hendak didaftarkan (registrasi) kepada otoritas KKI?   Karena sesuai dengan UU Prakdok yang menjadi payung hukum  KKI,  berikut peraturan  KKI sendiri,  sama sekali tidak mengenal DLP.

Secara mandatori sesuai UU Prakdok yang menjadi payung KKI, hanya mengenal dokter dan dokter spesialis, sehingga KKI tidak memiliki alasan hukum menerbitkan STR untuk  lulusan DLP. Kalau KKI tetap hendak dimintakan menerbitkan STR, paling menerbitkan STR sebagai dokter, bukan DLP.  Itupun kalau KKI mengabaikan peraturannya sendiri.

Alhasil,  dokter  yang mengikuti pendidikan DLP itu sendiri yang dirugikan, apalagi pendidikannya dengan biaya sendiri yang  setara spesialis namun bukan spesialis.  Sangat mungkin biaya pendidikan DLP  juga setara spesialis.   Lantas,  untuk  apa  dokter  mengikuti pendidikan  DLP,  namun  lulusan  DLP  tanpa  kepastian  statusnya memperoleh  STR  dari KKI?

Tanpa STR maka dokter tidak bisa menjalankan tugas profesinya,  namun itulah harga  dan resiko  yang  mesti ditanggung sendiri akibat pengaturan DLP dalam UU Dikdok yang merusak sistem praktik kedokteran karena  mengabaikan UU Prakdok dan UU Nakes.

Bukankah hak konstitusional profesi mendapatkan jaminan  kepastian hukum yang dijamin UUD 1945? [Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)]

Share