Menimbang Hunian Berimbang [10-Selesai]: Regulasi yang Labil

TRANSINDONESIA.CO – Sudah “takdir“ Pemerintah menjalankan peran memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Itu amanat konstitusi dan pasal 54 ayat (1) UU PKP.  Apalagi saat ini masih  tingginya defisit pasokan rumah (backlog) dan mahalnya harga tanah.

Untuk mengatasi itu, konsep Hunian Berimbang  untuk  meragamkan tipe/kelas  persediaan rumah. Hunian Berimbang  jurus bijak dan cerdas membumikan asas Kebersamaan dan Keragaman (Pasal 2 huruf h UU PKP) yang menjadi modal sosial untuk harmoni pembangunan perumahan.

Tak cuma itu, Hunian Berimbang efektif mengatasi backlog dan menambah pasokan  sedian rumah umum dan rumah susun umum bagi MBR.  Patut jika Pemerintah memebuat regulasi Hunian Berimbang yang logis,  luwes  dan dapat mengatrol capaian  Program Sejuta Rumah (PSR).

Kali ini TRANSINDONESIA.CO menurunkan seri opini Muhammad Joni,    Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI).

Tertumpang harap, sumbang pikir ini berguna menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan melanjutkan PSR tahun kedua.

Ilustrasi
Ilustrasi

Regulasi yang Labil

Pengaturan Hunian Berimbang acap berubah dan tidak konsisten. Perubahan ini mengganggu kepastian sistem hukum Hunian Berimbang. Dapat dikatakan, aturan Hunian Berimbang masih labil dan belum memiliki pola normatif operasional yang pasti.

Untuk melaksanakan ketentuan Hunian Berimbang dalam Pasal 34 s.d Pasal 37 UU PKP, diterbitkanlah  Peraturan Menteri  Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2012 (“Permenpera No. 10/2012”).

Dengan ketentuan itu,  ada perubahan kewajiban hunian berimbang yang semula 1:3:6 menjadi 1:2:3, yang berarti mengurangi pembangunan rumah umum dari 6 menjadi 3 untuk setiap membangun 1 rumah mewah.

Mengoreksi sebagaian Permenpera No. 10/2012, diterbitkan pula Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2013 (“Permenpera No. 7/2013”).  Disitu diatur pula batas unit pembangunan Hunian Berimbang. Ada pengurangan batas mulai diterapkan Hunian Berimbang yang semula 50 unit rumah menjadi 15 unit rumah saja [Pasal 6 ayat (3) huruf a Permenpera No. 7/2013].

Tak hanya itu, Pemenpera No. 7/2013 memberikan wewenang baru kepada Menteri Perumahan Rakyat melakukan pengendalian pelaksanaan Hunian Berimbang [Pasal 14 ayat (1.a)].

Padahal pemerintah pusat tidak mempunyai rentang kendali wewenang langsung di daerah, karena urusan perumahan rakyat secara yuridis sudah diserahkan tuntas kepada pemerintah daerah, sebagaimana PP  Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (“PP No. 38/2007”).

Ajaibnya, dengan Permenpera No. 7/2013,  dibuat sanksi pidana terhadap hunian berimbang [Pasal 15B ayat (1)]  yang tidak pernah ada dalam Permenpera No. 10/2012.

Padahal, perbuatan melanggar Hunian Berimbang yang diatur Pasal 34 ayat (1), (2) dan Pasal 36 ayat (1), (2) UU PKP  sama sekali tidak ada sanksi pidana sebagaimana ditentukan  Pasal 150 UU PKP.

Bahkan dalam Peraturan Menteri manapun, tidak pernah ada sanksi pidana, karena jika mengacu Pasal 15 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  menentukan bahwa  Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam (a) Undang-Undang (b) Peraturan Daerah Provinsi; (c) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Walaupun kemudian, Kepala Biro Hukum dan Kepegawaian Kementerian Perumahan Rakyat sudah mengoreksinya  bahwa sanksi pidana hanya untuk rumah susun, dan tidak untuk rumah tapak  bila tidak dilaksanakan Hunian Berimbang.     “Kalau untuk rusun ada aturan pidananya. Kalau aturan yang 1:2:3 tidak masuk dalam sanksi pidana, tapi sanksi administrasi”. [vide Harian Bisnis Indonesia, “Hunian Berimbang – Sanksi Pidana Hanya Atur Rusun”, 24 Juli 2014, hal.31].

Tak cukup koreksi lewat media,  sanksi pidana dalam Permenpera No.7/2013   semestinya  dinyatakan tidak berlaku. Heran juga aturan ganjil ini  diloloskan Menteri Hukum dan HAM.

Dengan Permenpera No. 7/2013,  ada pula pemberian wewenang baru kepada Menteri Perumahan Rakyat melakukan pengawasan  pelaksanaan Hunian Berimbang, dengan melakukan pemantauan, evaluasi, dan koreksi [Pasal 15 ayat (1.a)].

Berikutnya dibuat pula ketentuan  yang memberikan wewenang baru kepada Menteri Perumahan Rakyat  membentuk Tim Pelaksana Pengawasan yang dapat melibatkan Konsultan Profesional, Pemerintah Daerah,  Kejaksaan dan atau  Kepolisian [Pasal 15 ayat (3)].

Sangat tidak lazim pengawasan Hunian Berimbang dengan melibatkan Konsultan Profesional, Kejaksaan dan Kepolisian. Mengapa? Karena dalam UU PKP  tidak ada sanksi pidana dalam perbuatan Hunian Berimbang. Koreksi juga tidak dikenal dalam UU PKP.

Lazimnya, UU memberikan wewenang kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan membentuk pengawas pemerintahan seperti pengawas ketenagakerjaan (labour inspector).

Aneh jika pengawasan Hunian Berimbang   dengan  Konsultan Profesional, karena urusan pengendalian dan pengawasan perumahan adalah urusan pemerintahan atau tindak pangreh, bukan perbuatan perdata biasa.

UU PKP hanya mengatur mengenai pengendalian, baik pengendalian perumahan (Pasal 53) maupun pengendalaian pembangunan kawasan permukiman (Pasal 84-85).  Ikhwal pengendalian itu diperintahkan kemudian membuat Peraturan Pemerintah (PP).

Pengendalian pembangunan kawasan permukiman dilakukan dengan pemantauan, evaluasi dan pelaporan (Pasal 84 ayat 3 UU PKP). Dibuka juga peran masyarakat melakukan pemantauan (Pasal 84 ayat 4 UU PKP). Sama sekali tidak ada menyebutkan Konsultan Profesional, kejaksaan dan kepolisian.

Bahkan pelaporan yang dimaksudkan bukan membuat laporan proses pro justisia namun pelaporan hasil evaluasi yakni atas penilaian pencapaian penyelenggaraan pembangunan kawasan permukiman (Pasal 84 ayat 4 dan 5 UU PKP).

Bagaimana dengan RPP PKP? Jatah Hunian Berimbang dalam  RPP PKP  hanya dengan 3 pasal saja, itupun 1 pasal mengenai perintah membuat Peraturan Menteri. Pengaturan Hunian berimbang dalam RPP PKP  hanya duplikasi separo hati,  memindahkan (translasi) norma UU PKP secara terbatas dan tidak utuh.

Bahkan  RPP PKP mengalami defisit normatif, karena tidak mengisi kekosongan hukum yang mesti dijawab dengan PP, misalnya pengaturan perumahan skala besar, tugas dan fungsi pemerintah daerah (pemda) terkait bantuan dan kemudahan, termasuk insentif yang disebut Pasal 34 ayat 4 UU PKP.

Sehingga tidak memadai jika RPP PKP hanya  memberikan wewenang perizinan satu kesatuan  kepada pemda ikhwal Hunian Berimbang tidak satu hamparan (Pasal 121 ayat 3 RPP PKP).

Padahal, pemda memiliki tugas dan fungsi dalam mendorong Hunian Berimbang sebagai skema mengatasi backlog dengan kemudahan, bantuan dan insentif. Termasuk  membuat regulasi yang sesuai kebutuhan lokal.  Misalnya  membolehkan Hunian berimbang tidak satu hamparan namun dalam daerah kabupaten/kota  yang berbeda namun  masih berbatasan dengan cara membuat kerjasama antar daerah kabupaten/kota berbatasan.

Tersebab itu, pengaturan Hunian Berimbang masih labil dan tidak pasti, sehingga menimbulkan efek bagi kepastian hukum dan tentu saja kepastian berusaha.

Yang Terhormat Bapak Presiden, ini saatnya menimbang ulang Hunian Berimbang untuk optimalisasi PSR. Demi visi Nawacita.

Oleh:  Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)

Share
Leave a comment