(2) Jangan Jadi Bangsa Brutal !
TRANSINDONESIA.CO – Kemunduran ini dapat dilihat dari banyaknya pertikaian kemanusiaan yang terjadi, mulai peristiwa pembakaran rumah ibadah di Tolikara Papua, Peledakan Bom di Jalan MH Thamrin Sarinah, Jakarta Pusat, yang di lakukan oleh sekelompok orang yang teridentifikasi sebagai teroris, dan baru-baru ini kasus pembakaran pun kembali terjadi di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat (19/1/2016).
Pada Tanggal 19 Januari 2016 telah terjadi pembakaran rumah Penduduk sebanyak sembilan rumah penduduk di bakar karena di anggap sebagai anggota dan eks anggota Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar, organisasi Masyarakat Gafatar ini di anggap sesat oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI), sebanyak 947 penduduk.
Sebagaimana yang terhimpun dalam beberapa media, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) merupakan salah satu organisasi masyarakat yang di deklarasikan pada sabtu 21 Januari 2012, di Gedung JIEXPO Kemayoran Jakarta, organisasi yang bergerak di bidang sosial dan budaya ini di cap sebagai organisasi yang sesat dan menyesatkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), terdapat tiga hal kenapa MUI menyesatkan organisasi masyarakat ini.
Pertama organisasi masyarakat ini dinilai menyebarkan ajaran Islam dan sejumlah agama lain dengan cara menyatukan berbagai agama menjadi satu kepercayaan, kedua Gafatar juga merupakan metamorfosis dari Komunitas Millah Abraham (Komar). Sebelumnya, organisasi tersebut juga merupakan metamorfosis dari organisasi Al-Qiyadah Al-Islamiyah. organisasi tersebut telah dilarang Kejaksaan Agung sejak 2007, ketiga ajaran organisasi Gafatar ini mempercayai Ahmad Moshadeq sebagai Millah Abraham atau pemimpin umat pengganti Nabi Muhammad (Tempo 21/1/2016).
Tiga hal inilah kiranya yang membuat MUI menyesatkan organisasi masyarakat ini, akibat dari penyesatan yang di lakukan oleh MUI ini banyak masyarakat yang tergabung dalam ormas Gafatar ini yang terlantar, berdasarkan pendataan pemerintah Kabupaten Mempawah, jumlah anggota Gafatar di kabupaten itu mencapai 749 orang.
Melihat serentetan peristiwa tersebut, apakah sikap MUI itu bijak? Dan sejauh mama peran negara dalam menjalankan amanat UUD, dan dimana letak kesalahan organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar)?
Sebagai negara hukum seharusnya pemerintah dapat menyelesaikan persoalan kemanusiaan ini dengan jeli dan cermat, tanpa merugikan salah satu pihak, dan seharusnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam hal ini harus lebih bijak dalam menetapkan persoalan hukum, MUI dalam hal ini harus bisa menjadi pemangku hukum yang baik dan bijak, bukan malah sebaliknya, jika kita merenungkan makna agama secara filosofis.
Justifikasi sesat dan menyesatkan yang di limpahkan kepada ormas Gafatar ini sejatinya harus di kaji ulang secara mendalam, MUI dalam hal ini tidak memiliki hak untuk mengklaim sesat dan menyesatkan kepada agama lain maupun ormas lain, bagaimana pun ukuran kebenaran di muka bumi ini sangatlah bersifat relatif.
Selama ormas Gefatar tidak melakukan kekerasan dan tidak merugikan masyarakat seharusnya Majlis Ulama Indonesia, janganlah terburu-buru mengambil satu kesimpulan, karena bagaimana pun kehadiran Gafatar di Indonesia tidaklah bertentangan dengan hukum negara, begitu pun negara dalam hal ini harus menjadi wadah sekaligus fasilitator bagi masyarakat yang saat ini terlantar karena hukum rimba yang di lakukan oleh masyarakat yang tidak sepakat dengan ormas Gafatar di Indonesia.
Negara harus tegas dalam mewujudkan amanat Undang-undang, karena bagaimana pun pijakan hukum di negeri ini bukanlah huku Agama, terutama Alquran dan Hadits melainkam Pancasila dan UUD 1945. Jangan sampai kehadiran kaum mayoritas Umat Islam di Indonesia menindas kaum minoritas, karena bagaimana pun dan dalam ajaran agama manapun tidak ada ajaran agama yang membenarkan umatnya bersikap sewenang-wenang, menindas, menyakiti, bahkan juga merugikan umat yang lain.
Kiranya pemerintah kita di Indonesia bisa lebih tegas dan jeli lagi melihat fenomena ini, selain itu Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga keagamaan di Indonesia harus bisa lebih bijak sebagai pemangku Hukum Agama di Indonesia, selain itu bangsa Indonesia harus memiliki cara berpikir yang lebih inkusif (terbuka) Plural dan Toleran, semoga bangsa kita bisa belajar, dari kejadian ini dan taat hukum.
Oleh: Deni Iskandar (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Jurusan Perbandingan Agama, Dewan Pembina Koalisi Mahasiswa UIN, Kader HMI Komisariat Ushuluddin dan Filsafat Cabang Ciputat).
Oleh: Deni Iskandar (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Jurusan Perbandingan Agama, Dewan Pembina Koalisi Mahasiswa UIN, Kader HMI Komisariat Ushuluddin dan Filsafat Cabang Ciputat).